Membangun
Kultur Berdemokrasi
Listiyono Santoso ; Pengajar
mata kuliah Etika dan Filsafat
Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Airlangga
|
JAWA POS, 26 November
2016
DISKURSUS politik kebangsaan kita belakangan ini memasuki fase
krusial. Kian mengukuhkan negara bangsa atau melemahkan. Ketidakmampuan
membangun sinergitas positif demokrasi dengan agama dan etnisitas berujung
pada berbagai ’’aktivitas’’ yang justru kontraproduktif.
Hal itu ditandai dengan masih dominannya isu agama dan etnisitas
sebagai alat propaganda untuk kepentingan mobilisasi. Tidak heran, menjelang
Pilkada 2017, isu agama dan etnisitas kian mencuat ke permukaan. Situasi yang
tidak jauh berbeda dengan kondisi menjelang Pilpres 2014. Isunya sama, aktor
yang memainkan peran itu pun tidak jauh berbeda.
Realitas itu menunjukkan bahwa penerimaan kita pada konsep
negara bangsa belum tuntas. Begitupun, penerimaan pada sistem demokrasi masih
setengah hati. Negara bangsa mengasosiasikan betapa negara ini adalah rumah
pelbagai suku bangsa dan demokrasi meniscayakan bahwa setiap etnisitas dan
(umat) beragama memiliki kedudukan yang sama. Karena itu, sistem demokrasi
dipilih agar setiap anak bangsa dapat berpartisipasi dalam setiap proses
politik. Tanpa intervensi dan dominasi dari kelompok mana pun.
Kehidupan demokratis bukan sebuah kondisi yang tiba-tiba ada.
Demokrasi merupakan suatu kondisi yang harus terus-menerus
diperjuangkan.Begitupun, pemerintahan yang demokratis –hampir mustahil–
tercipta ketika warga masyarakatnya tidak memiliki kultur berdemokrasi yang
baik. Kultur berdemokrasi itu ada dalam masyarakat itu sendiri.
Sebuah pemerintahan yang baik bisa tumbuh dan stabil bila
masyarakatnya punya sikap positif dan proaktif terhadap norma-norma dasar
demokrasi (Saiful Mujani, 2002). Tanpa kultur berdemokrasi, niscaya keinginan
melahirkan pemerintahan yang demokratis juga akan sia-sia. Tanpa penghargaan
kepada norma dasar demokrasi, konsepsi negara kebangsaan akan selalu
melahirkan kegaduhan bersumber kepada perbedaan etnisitas dan agama.
Nurcholis Madjid (2000) menyebutkan, ada tujuh (7) norma dasar
yang menjadi pandangan hidup demokratis. Pertama, pentingnya kesadaran akan
pluralitas. Masyarakat berpartisipasi aktif memelihara dan melindungi adanya
keragaman.
Kedua, mengedepankan semangat musyawarah untuk mencapai mufakat.
Adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk tulus menerima setiap bentuk kompromi.
Semangat musyawarah menuntut setiap orang menerima kemungkinan terjadinya
partial finctioning of ideals, yakni pandangan dasar bahwa belum tentu dan
tidak harus seluruh keinginan atau pikiran seseorang/kelompok akan diterima
dan dilaksanakan sepenuhnya. Prinsip musyawarah –jelas– mengindikaskan
ketiadaan intervensi dan pemaksanaan kehendak.
Ketiga, adanya pertimbangan moral. Demokrasi mensyaratkan
ketercapain tujuan yang baik harus sejalan dengan cara yang dilakukan.
Memperjuangkan keadilan harus menggunakan cara yang berkeadilan pula. Politik
menghalalkan segala cara jelas mereduksi nilai-nilai demokrasi. Alih-alih
terbentuk masyarakat politik yang konstruktif, malahan yang lahir kemudian
adalah perilaku berpolitik yang tidak berperadaban yang hanya berorientasi
kepada (perebutan) kekuasaan an sich melalui cara-cara yang cenderung ’’tidak
beradab’’.
Keempat, pemufakatan yang jujur dan sehat. Pemufakatan merupakan
hasil dari seni bermusyawarah yang lahir dari keikhlasan mencari jalan keluar
dari kebuntuan. Pemufakatan menghindarkan diri dari berbagai bentuk rekayasa,
manipulasi, dan ragam konspirasi yang lain. Kelima, pemenuhan segi-segi ekonomi.
Demokrasi meniscayakan terdistribusinya akses ekonomi secara berkeadilan.
Dalam iklim demokratis, penguasaan tunggal akses ekonomi merupakan ancaman
bagi terpenuhinya kesejahteraan sosial yang merata bagi seluruh warga
masyarakat.
Keenam, kerja sama antarwarga masyarakat dan sikap mempercayai
iktikad baik masing-masing. Membangun sikap saling percaya kepada masyarakat
yang lain akan melahirkan pola hubungan kondusif di antara keduanya. Distrust
diyakini merupakan awal dari munculnya petaka yang merusak pola hubungan
tersebut. Kondisi itu penting saat hubungan sosial antar warga belakangan ini
melahirkan sikap curiga satu sama yang lain.
Dan ketujuh, pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur
yang menyatu dengan sistem pendidikan (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003). Sebagai
sebuah nilai yang harus terus- menerus dilahirkan, demokrasi memang menjadi
ruang belajar setiap warga untuk mewujudkan itu dalam praktik hidup berbangsa
dan bernegara.
Mewujudkan kehidupan demokratis hanyalah menjadi mungkin ketika
prinsip dalam tujuh norma dasar berdemokrasi terinternalisasi dalam ruang
kesadaran warga bangsa Indonesia. Namun demikian, melihat gelagat menguatnya
isu agama dan etnisitas, keinginan menciptakan kehidupan demokratis mendapat
tantangan mahaberat. Realitas itu seolah-olah membenarkan tesis Miller bahwa
kehidupan demokratis sulit dibangun dalam masyarakat yang beragama dan
berkeyakinan berbeda.
Gejala menguatnya isu agama dan etnisitas dalam politik
kebangsaan, jika tidak segera diantisipasi, dikhawatirkan menjadi kendala
bagi terbentuknya masyarakat demokratis yang berkeadilan. Masyarakat harus
diberi kesadaran bahwa risiko dalam berdemokrasi adalah setiap warga memiliki
hak dan kewajiban yang sama, yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
Setiap masalah tidak lah harus diselesaikan dengan mobilisasi
massa, tetapi bisa juga diselesaikan melalui tradisi berembuk sebagai bagian
dari kultur berdemokrasi. Percayalah, berembuk itu tradisi kita, bukan
lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar