Anggaran
Bantuan Hukum
Donny Ardyanto ; Direktur
Penelitian dan Pengembangan
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia
|
KOMPAS, 21 November
2016
Ada informasi yang beredar di kalangan dunia bantuan hukum di
Indonesia bahwa anggaran bantuan hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara yang selama periode 2014-2016 berjumlah Rp 45 miliar per tahun akan
diturunkan pada 2017 menjadi sekitar Rp 18 miliar.
Bagi program bantuan hukum yang baru dimulai implementasinya
tahun 2014 —sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum— penurunan sebesar 60 persen ini jelas sangat signifikan. Keputusan
Kementerian Keuangan memangkas drastis anggaran bantuan hukum ini diduga
didasarkan pada tingkat penyerapan anggarandua tahun sebelumnya yang hanya 36
persen.
Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), lembaga yang
diberikan mandat menyelenggarakan bantuan hukum nasional, sudah terjadi
peningkatan penyerapan anggaran bantuan hukum dari 36 persen pada 2014
menjadi 54 persen tahun 2015. Pada 2016, BPHN optimistis penyerapan bisa
mendekati 100 persen karena per akhir Oktober 2016, anggaran yang digunakan
sudah mencapai 88 persen. Tahun lalu, program bantuan hukum telah melayani
1.080 kasus rakyat miskin melalui program litigasi serta melakukan 233
aktivitas nonlitigasi, dan per September 2016, layanan kasus litigasi yang
diberikan kepada rakyat miskin sudah mencapai 10.639, sementara aktivitas
nonlitigasi yang dijalankan 2.151 kasus.
Evaluasi
obyektif
Apabila dilihat secara obyektif, tidak selayaknya anggaran
bantuan hukum ini diturunkan. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi
terhadap implementasi UU Bantuan Hukum yang disusun Yayasan Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) pada 2014 dan 2015 terlihat bahwa rendahnya penyerapan
anggaran bantuan hukum ini pada pokoknya disebabkan dua hal.
Pertama, minimnya pengetahuan masyarakat, khususnya kelompok
miskin, yang menjadi sasaran dari program ini terhadap keberadaan program
yang memberikan bantuan hukum cuma-cuma bagi mereka yang berhadapan dengan
hukum di wilayah pidana, perdata, ataupun tata usaha negara (TUN). Hal ini
yang membuat layanan bantuan hukum pada awalnya menjadi ”tidak laku”.
Harus diakui bahwa sosialisasi dari pemerintah tentang bantuan
hukum gratis untuk rakyat miskin masih sangat terbatas. Dari Rp 45 miliar
dana bantuan hukum, sekitar 95 persen dialokasikan untuk aktivitas pemberian
bantuan hukum, baik berupa litigasi maupun nonlitigasi. Artinya, sangat
terbatas alokasi dana untuk sosialisasi. Idealnya, sosialisasi tentang bantuan
hukum gratis ini harus tersebar hingga tingkat perdesaan karena di situ
terdapat banyak populasi masyarakat miskin.
Kedua, lemahnya kapasitas administratif sebagian besar
organisasi bantuan hukum (OBH) dalam proses pencairan (reimbursement) dana bantuan
hukum. Berdasarkan survei yang dilakukan YLBHI, 88 persen OBH mengekspresikan
hal ini dengan menganggap bahwa mekanisme pencairan dana bantuan hukum
terlalu rumit. Sementara, kami juga melihat bahwa pada titik tertentu
”kerumitan” administratif ini tak terhindarkan mengingat bahwa dana bantuan
hukum ini merupakan anggaran negara yang harus dapat dipertanggungjawabkan
penggunaannya. Pada saat yang sama, hampir seluruh OBH juga menganggap
alokasi anggaran Rp 5 juta per kasus untuk bantuan hukum litigasi dan Rp 5
juta per aktivitas untuk bantuan hukum nonlitigasi tak memadai.
Naiknya penyerapan anggaran bantuan hukum tahun ini
menunjukkanbahwa sudah ada peningkatan kapasitas OBH dalam memberikan bantuan
hukum. Ini merupakan output dari kerja sama yang dilakukan BPHN bersama
dengan Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta OBH di seluruh
Indonesia melalui pelatihan khusus terhadap staf OBH yang bertanggung jawab
di bidang administrasi dan keuangan.
BPHN juga sudah berupaya menyederhanakan mekanisme pencairan
dana melalui aplikasi Sistem Informasi Database Bantuan Hukum, serta
memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Kantor Wilayah Hukum dan HAM
sehingga rantai birokrasi menjadi lebih pendek. Di sisi lain, akhir 2015,
BPHN juga sudah melakukan verifikasi dan akreditasi gelombang kedua terhadap
OBH sehingga jumlah OBH terakreditasi di Indonesia meningkat menjadi 405
organisasi dari 310 organisasi tahun 2013.
Di samping hal-hal tersebut di atas, persoalan terbesar bantuan
hukum di Indonesia adalah dalam hal jumlah dan persebaran, serta kualitas OBH
(beserta advokat dan paralegalnya). Dari segi jumlah, apabila dibandingkan
dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 28 juta dengan 405 OBH
yang ada, rata-rata satu OBH memiliki cakupan layanan untuk 69.000 penduduk
miskin. Dari semua OBH itu, terdapat 2.070 advokat bantuan hukum, yang
artinya rasio dengan penduduk miskin 1:13.529.
Dari segi sebaran OBH, sebagian besar OBH (227 atau 56 persen)
berada di ibu kota provinsi. Sebanyak 199 OBH (49 persen) terkonsentrasi di
Pulau Jawa. Dengan asumsi bahwa kapasitas kerja OBH secara geografis adalah
kabupaten/kota, terdapat 347 (68 persen) kabupaten/kota yang tidak memiliki
OBH. Dari sini, apabila kita telusuri lebih lanjut pada tataran desa sebagai
kantong utama kemiskinan, ada54,878 (66 persen) desa/kelurahan dan 13,2 juta
(47,2 persen) penduduk miskin yang tidak terjangkau oleh layanan bantuan
hukum.
Dalam hal kualitas, belum ada kajian empiris ataupun hasil
evaluasi khusus mengenai hal ini. Saat ini BPHN juga sedang menyusun regulasi
mengenai standar minimal layanan bantuan hukum. Dari pemantauan YLBHI, ada
beberapa laporan mengenai pengacara bantuan hukum yang dalam memberikan
layanan bantuan hukum litigasi pidana tak menyusun pleidoi secara tertulis.
Sebagian besar pleidoi disampaikan secara lisan, cenderung seadanya, atau
bahkan sekadar copy paste dari kasus-kasus sebelumnya.
Kebutuhan
anggaran
Dari segi alokasi anggaran, dana bantuan hukum Rp 5 juta per
kasus per kegiatan diakui tidak mencukupi, khususnya di daerah di luar Jawa
dengan infrastruktur transportasi dan komunikasi yang terbatas. Untuk
mengatasi hal ini, BPHN sudah berkoordinasi dengan Kemenkeu untuk merumuskan
standar biaya khusus bagi pelaksanaan program bantuan hukum. Dengan standar
biaya khusus ini, alokasi anggaran bantuan hukum akan disesuaikan per daerah
berdasarkan kondisi wilayahnya.
Apabila dilihat secara umum, dengan dana Rp 45 miliar ini
berarti Pemerintah Indonesia mengalokasikan hanya Rp 1.600 per kapita
penduduk miskin. Jumlah ini sangat jauh dibandingkan dengan program bantuan
hukum Afrika Selatan yang dananya mencapai 1,5 miliar rand (Rp 1,5 triliun)
dengan jumlah penduduk miskin sekitar 22 juta jiwa.
Kesadaran akan perlunya keterlibatan yang lebih luas dari pemerintah
daerah, khususnya dalam hal penganggaran dalam program bantuan hukum, sudah
terlihat dalam UU Bantuan Hukum. Pasal 19 UU Bantuan Hukum menyatakan bahwa
pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan bantuan hukum
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan hal tersebut diatur melalui
peraturan daerah.
Hingga saat ini, baru 13 provinsi dan 23 kabupaten/kota yang
sudah memiliki perda bantuan hukum. Oleh karena itu, keberadaan perda bantuan
hukum harus terus didorong di semua daerah. Di sini sangat diperlukan kerja
sama dan koordinasi antara BPHN beserta Kementerian Hukum dan HAM dengan
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas. Perda bantuan hukum diharapkan juga dapat
menjawab persoalan persebaran OBH yang masih tak merata dengan mengupayakan
terbentuknya OBH di setiap kabupaten, memperbanyak jumlah pengacara, dan
meningkatkan kualitas OBH lewat program pendidikan dan pelatihan.
Indikasi akan adanya kebijakan pemotongan anggaran bantuan
hukum, selain mengabaikan perkembangan program bantuan hukum yang semakin
positif, juga bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk memperluas akses
keadilan. Program akses terhadap keadilan sudah ditetapkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta sudah diturunkan dalam
bentuk dokumen Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan.
Semestinya pemerintah, khususnya Kemenkeu, harus meningkatkan
anggaran bantuan hukum dengan skema standar biaya khusus tersebut di atas
sehingga mencapai di atas Rp 100 miliar. Di samping itu, pemerintah juga
harus aktif mendorong dan memfasilitasi pemerintah daerah yang memiliki
kemauan baik untuk menyelenggarakan bantuan hukum di tingkat lokal melalui
perda dan mengalokasikan anggaran bantuan hukum dalam APBD.
Dengan demikian, akses terhadap keadilan bagi rakyat miskin
semakin terbuka. Belajar dari pengalaman Afrika Selatan, program bantuan
hukum bagi rakyat miskin ini akan
berkontribusi bagi berkurangnya angka kemiskinan dan kesenjangan. Bagi kita
sebagai bangsa, akan semakin dekat dengan tujuan nasional kita: Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar