Di
Balik Penolakan Buruh Terhadap UMP
Bagong Suyanto ; Dosen
Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
|
KORAN SINDO, 22 November
2016
Di balik riuh perbincangan dan demo memprotes dugaan penistaan
agama yang dilakukan Basuki Tjahja Purnama, menjelang akhir tahun ini salah
satu gejolak yang berkembang di berbagai daerah adalah aksi unjuk rasa kaum
buruh yang menolak penetapan upah.
Seperti tahuntahun sebelumnya, pangkal perselisihan yang memicu
aksi demonstrasi buruh adalah penetapan upah minimum provinsi (UMP) yang
selalu di bawah harapan dan kebutuhan layak minuman buruh. Seperti dilaporkan
media massa, untuk tahun 2017, Kementerian Ketenagakerjaan telah menetapkan
persentase kenaikan UMP sebesar 8,25%. Angka ini muncul karena disesuaikan
dengan ketentuan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang
Pengupahan yang menggunakan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam
menetapkan besaran kenaikan UMP.
Dibandingkan kenaikan tahun sebelumnya yang mencapai 11,6%,
kenaikan upah buruh pada 2017 yang di bawah angka 10% tentu wajar jika
memantik reaksi ketidaksetujuan dari buruh dan berbagai organisasi atau
serikat perburuhan di Tanah Air. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS), per 11 Oktober 2016 diketahui besaran inflasi nasional adalah 3,07%,
sedangkan pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,18%. Kalau mengacu pada PP
78/2015, formulasi perhitungan kenaikan UMP adalah dikalkulasi berdasarkan
besaran UMP tahun berjalan dikalikan dengan inflasi nasional ditambah dengan
pertumbuhan ekonomi nasional.
Bagi kaum buruh, penetapan skema penghitungan dan angka kenaikan
upah minimum buruh yang tidak lebih dari 10% di atas jelas dinilai merugikan
dan tidak sesuai dengan hasil penghitungan buruh yang menghendaki kenaikan
sekitar Rp650.000 atau sekurang-kurangnya 10% dari besaran upah tahun
berjalan. Di DKI Jakarta misalnya gubernur telah menetapkan UMPK Jakarta 2017
sebesar Rp3.355.750. Penetapan angka tersebut jelas tidak diterima oleh
serikat pekerja (SP) sebab dalam penghitungan mereka paling-tidak tahun depan
upah buruh akan bisa naik hingga minimal Rp3.800.000.
Di berbagai daerah, dengan kenaikan besaran upah hanya sekitar
Rp100.000-200.000, tentu tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan hidup
sehari-hari yang terus melambung.
Kenapa Demo
Terus Marak?
Keputusan Kementerian Tenaga Kerja RI yang menetapkan kenaikan
upah buruh pada 2017 tidak lebih dari 10% tentu saja melegakan banyak
pengusaha. Di tengah kondisi perekonomian yang masih fluktuatif, besaran
kenaikan upah buruh di atas 10% umumnya akan dinilai bisa berdampak buruk
bagi kelangsungan usaha mereka. Tetapi, bagi kaum buruh, keputusan pemerintah
tentang kenaikan UMP yang tidak lebih dari 10% jelas sangat mengecewakan.
Di sini persoalan substansial di balik demo yang mereka gelar
menentang UMP sesungguhnya tidak hanya formulasi penghitungan dan besaran
kenaikan upah. Lebih dari sekadar besar upah, yang menjadi pemicu aksi unjuk
rasa kaum buruh terus marak dari tahun ke tahun sesungguhnya berkaitan dengan
berbagai hal. Pertama, karena kebanyakan buruh merasa selama ini tidak ada
keterbukaan dari pihak perusahaan tentang keuntungan dan kerugian yang
diderita perusahaan.
Pada saat menjelang penghitungan persentase kenaikan upah buruh,
selalu yang terdengar dari pihak perusahaan adalah gambaran tentang kondisi
perekonomian yang tengah lesu, pasar yang menurun, biaya produksi yang naik,
dan ancaman kerugian yang diderita perusahaan, yang ujungujungnya adalah
tidak mungkin menaikkan upah buruh terlalu tinggi. Kedua, berkaitan dengan
ada rasa ketidakadilan, perasaan diperlakukan semena-mena oleh perusahaan dan
persoalan pembagian kesejahteraan yang dinilai buruh terlampau senjang.
Banyak kasus menunjukkan bahwa di satu sisi pemilik perusahaan
terus melakukan ekspansi memperluas sayap bisnis perusahaannya, tetapi ketika
masa penghitungan kenaikan upah buruh tiba, tiba-tiba para pengusaha seolah
tiarap dan mengaku keuntungan perusahaan turun karena berbagai faktor
eksternal. Sejumlah penelitian memperlihatkan, sering terjadi pihak pemilik
perusahaan lebih “rela” mengeluarkan banyak dana untuk kepentingan birokrasi
dan keamanan daripada memasukkan ke dalam pos kenaikan upah buruh.
Ketiga, karena tidak ada sense of belonging kaum buruh terhadap
perusahaan tempat mereka bekerja karena proses alienasi dan fragmentasi unit
kerja yang tidak memungkinkan, para buruh merasa memiliki produk akhir yang
dihasilkan perusahaan, serta karena ada jarak sosial yang terlalu jauh antara
pemilik dan manajer perusahaan, serta buruh di sisi yang lain. Buruh yang
dalam sehari-hari merasa diperlakukan hanya sebagai bilangan (nomor) dan
tidak merasakan hubungan sosial yang manusiawi dengan pemilik perusahaan,
tentu wajar jika mereka tidak memiliki keterikatan emosi atas perusahaan yang
menjadi tumpuan hidup mereka.
Dalam beberapa kasus bahkan tidak mustahil sejumlah buruh
melakukan pembangkangan terselubung, atau melakukan sabotase kerja yang dapat
mengganggu kelancaran proses produksi, karena mereka memang merasa tidak ada
urusan dengan mati-hidup perusahaan tempat di mana mereka bekerja.
Dilema
Menghadapi aksi unjuk rasa yang terus terjadi dari tahun ke
tahun menuntut kenaikan UMP harus diakui bukanlah hal yang mudah. Bagaimana
pemerintah harus bersikap dan kepada siapa pemerintah harus berpihak adalah
pilihan yang serbasulit. Dilema yang dihadapi pemerintah adalah di satu sisi
jika pemerintah lebih condong memenuhi tuntutan buruh, konsekuensinya bukan
tidak mungkin akan ada perusahaan yang gulung tikar atau hengkang karena
mencari tempat (negara) lain yang dinilai upah buruhnya lebih murah.
i sisi lain, jika pemerintah memperhatikan aspirasi para
pengusaha dan menekan kenaikan upah buruh hingga titik yang minimal, yang
terjadi jelas bahwa aksi buruh akan marak di berbagai tempat, yang imbasnya
juga akan berisiko memengaruhi kelangsungan proses produksi perusahaan. Untuk
menjembatani perbedaan kepentingan dan aspirasi antara buruh dan pengusaha,
serta sekaligus memastikan agar kebijakan yang ditetapkan tidak berdampak
kontraproduktif bagi perekonomian nasional, selain merumuskan formula
penghitungan kenaikan UMP yang objektif, yang tak kalah penting adalah
pendekatan yang mampu mengetuk hati para pengusaha dan buruh agar satu sama
lain saling terbuka.
Membangun sense of belonging kaum buruh adalah salah satu kunci
penting bagi kelangsungan hidup perusahaan. Sikap perusahaan yang
memperlakukan para buruhnya sebagai aset produksi—bukan bagian dari biaya
produksi—dan memastikan ada pembagian keuntungan yang seadil-adilnya kepada
seluruh elemen yang berjasa memajukan perusahaan niscaya akan membuat semua
pihak merasa bertanggung jawab terhadap masa depan perusahaan.
Para pemilik perusahaan yang bersikap jaim, berjarak dengan para
pekerjanya, apalagi mengintimidasi, jangan kaget jika dari tahun ke tahun
harus menghadapi aksi unjuk rasa kaum buruh yang berkepanjangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar