Beragama
Bukan untuk Bikin Stres
Kalis Mardiasih ; Menyelesaikan
S1 di Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sebelas Maret (UNS); Pernah jadi
santri di Pondok Pesantren Khozinatul Ulum Blora selama 9 tahun; Kini nyantri
tiap Jumat kliwonan; Kolomnis di beberapa media
|
DETIKNEWS, 26 November
2016
Ada seorang teman bercerita, konon katanya, dia punya masalah
dengan mertuanya gara-gara ribut kubu Ahok dan Anti-Ahok. Anggap saja begini:
Ia dan suaminya adalah golongan yang menganggap Ahok tidak menista Alquran,
sedangkan mertuanya adalah kubu yang menuntut kasus mulut comel Ahok diusut
hingga tuntas.
Dua kubu ini berdebat seru di grup-grup whatsapp serta akun-akun
sosial media mereka perihal alur kasus di Kepulauan Seribu, aksi bela Islam
jilid pertama, jilid kedua hingga jilid-jilid yang akan datang. Lama
kelamaan, tanpa mereka sadari, debat tekstual itu makin panas. Kebetulan,
baik menantu maupun mertua sama-sama terpelajar pula. Mereka berdua merasa
punya sikap beragama yang dilandasi konsekuensi logis dan pijakan perspektif
yang kuat. Saya pun menjawab dengan serius,"Kalau mau berantem itu soal
diskusi mau beli tanah atau debat harga rumah aja kan lebih keren. Berantem
kok gara-gara Ahok…"
Rasa-rasanya, sejak akun sosmed kita jarang adem ayem pasca
pilpres dua tahun lalu, fenomena semacam ini tidak ada habisnya. Coba
diingat-ingat, siapa di antara kita yang belum baikan sama sahabat gara-gara
beda pilihan calon presiden, padahal Jokowi sama Prabowo sendiri sudah kencan
berkali-kali mulai dari nyari kodok hingga naik kuda. Atau, siapa diantara
kita yang sering membatin dalam hatinya semacam ini: "Si A itu
sebetulnya baik sih, dia temanku sejak kecil, dia suka membantu orang
lain…tapi kok sekarang jadi buzzer politik ya…tapi kok sekarang jadi bala
jonru ya… tapi kok sekarang posting di akunnya bego banget ya…". Dih,
hayo, ternyata nggak saya aja!
Yang lagi kekinian, adalah soal tiga anak muda yang akhirnya
datang menemui Gus Mus ke Pondok Raudhatut Thalibien, Leteh, Rembang, sebab
mereka akhirnya kerepotan melihat reaksi linimasa atas ulahnya mengatakan
"Bid'ah Ndasmu!" langsung ke akun twitter Abah Mustofa Bisri. Kalau
mau adil, melontar pisuhan ke orang tua, siapapun itu, mau ulama atau bukan,
ya memang kurang layak menurut adat ketimuran sih. Apalagi, jika pisuhan itu
datangnya tanpa angin tanpa hujan. Gus Mus enak-enak ngetwit dengan
ketinggian ilmunya, lha kok tiba-tiba si bocah emosi sendiri. Akhir-akhir
ini, beragama jadi bikin emosi ya?
Dari hasil kunjungan tiga bocah itu, Gus Mus kemudian memberi
nasihat begini: "Nomerku cateten wae, Le. Suk meneh yen awakmu anyel
trus pengen misuhi aku, langsung wae. Aja sampek wong akeh ngerti."
"Catat saja nomorku, Dik. Kapan-kapan kalau kau marah lalu ingin
mengumpat lagi, langsung saja. Jangan sampai diketahui banyak orang."
Nasihat Gus Mus itu sesungguhnya mengandung filosofi dialektika
Jawa yang tidak sederhana. Istilahnya, sanepan. Sanepan adalah campuran
antara canda, sindiran serta nasihat yang dalam. Memang begitulah orang yang
berilmu memahami bahasa. Beliau tahu bahwa bahasa menyediakan ruang-ruang
toleransi. Di hadapan jiwa yang tulus dalam mendekati bahasa, bahasa dapat
berubah sebagai alat penyalur gagasan dalam berbagai bentuk yang indah,
seperti cerita, dongeng, dan syair puisi.
Lucunya, di linimasa, kasus itu justru belum selesai. Dua kubu
berseberangan yang mengklaim dirinya "Santri" versus "Non
Santri" meneruskan sindir menyindir. Katanya, kaum santri yang nyantai,
toh jadi berlebihan cuma gara-gara twitter. Di sisi lain, saya mengerti betul
jika konsep guru, dalam kitab Ta'limut Taalim bukan sekadar harus dihormati,
lebih jauh dari itu merupakan kunci utama ilmu yang bermanfaat dan hidup yang
barokah.
Padahal, kalimat Gus Mus yang tidak berpanjang-panjang itu
mestinya justru menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk bersama-sama
mengakui ketololan diri masing-masing dan merasa konyol untuk larut dalam
aktivitas sindir menyindir di sosial media karena merasa lebih saleh dan
bertakwa. Ada juga lho yang kadarnya sudah sampai sulit tidur gara-gara hari
ini kalah debat dalil dan kalah argumen ilmiah, dan dalam batin berniat untuk
melanjutkan debat lanjutan di hari esok dengan persiapan dukungan data yang
lebih lengkap. Halo, Ibu-ibu, itu gorengan ikan di dapur gosong sudah
diangkat?
Agama itu kan mestinya sederhana: biar tenang, biar damai, biar
rajin bekerja, biar nambah saudara, biar sayang keluarga, biar saling tolong
menolong dalam kebaikan. Lah, zaman sekarang, kebanyakan cabang dewan debat
aliran agama, udah nggak ada bedanya sama hatersnya Agnes Mo atau fansnya JKT
48. Memang betul sih, di mimbar-mimbar yang mereproduksi agama secara instan,
ia seolah-olah menjadi alat untuk membangun sebuah kerajaan utopis yang
mustahil bagi kehidupan manusia.
Semesta itu berbentuk dunia Islam dalam sempitnya pemikiran
ideologi-ideologi tertentu yang menolak realitas kemanusiaan. Mereka
menghilangkan sifat Ar Rahman Allah yang memayungi seluruh makhluk. Maka,
muncul generasi baru yang suka marah, mengumpat dan menyerang umat lainnya
sebab gagal mewujudkan cita-cita hidup yang seragam itu.
Generasi anti-realitas itu jumlahnya terus berlipat ganda dan
semakin nyata. Banyak dari mereka bahkan sudah tidak lebih percaya dan tidak
menaruh adab pada orang tuanya sendiri. Mereka memasrahkan akal sehatnya pada
guru yang jauh dari kapasitas murabbi ruuh. Demi ideologisasi keseragaman
yang mustahil, mereka rela meninggalkan orang tua, dan pelan-pelan juga
membuat batas pada saudara, sanak keluarga, serta teman-teman dekatnya
sendiri.
Mereka menggunakan hadis seruan jihad (perlawanan) untuk
mendukung keputusannya, sedangkan tugas utama manusia di muka bumi adalah
sebagai khalifah fil ardh, atau penjaga yang baik bagi bumi seisinya.
Gelombang pendakwah kalah yang tidak siap pada berbagai kondisi iman dan
ragam manusia tidak akan mencipta harmoni, melainkan chaos satu ke chaos
lainnya.
Gus Mus, seperti pula Almarhum Gus Dur, memang sosok guru yang
cenderung unik. Keunikan itu dapat kita saksikan lewat hal-hal yang paling
dekat dengan beliau sendiri. Sebagai pribadi yang "nyeni" dan
pandai bergaul dengan semua golongan, mereka justru kerap dianggap aneh dan
diragukan keulamaannya. Gus Mus bertopi ala penyair Pablo Neruda, membuat
sajak dan melukis.
Anak serta menantu beliau pun merdeka untuk berpenampilan
modern, tidak seperti anak-anak kiai pada umumnya, dengan profesi yang
bermacam-macam pula. Plis, nggak perlu debat soal anak-menantu Gus Mus, wong
Gus Mus aja nyantai. Bahkan, di dalam keluarga beliau, ada tradisi memanggil
anak dan menantu untuk berdiskusi secara terhormat perihal sebuah kasus
dengan menyajikan keilmuan dan kitab andalan masing-masing.
Gus Mus mempersonakan sisi manusiawi. Ia sedang meneladankan
sesuatu tanpa mesti berteori. Lagipula, ketika orang-orang kerap
menyalahpahami beliau, beliau tetap mengajar kitab setiap hari di pesantren
sejak subuh hingga sore hari, juga menjadi pemimpin dan pendengar keluh dan
peluh masyarakat yang datang tiap hari. Hampir tak ada waktu untuk dirinya
sendiri.
Kuntowijoyo memang pernah bertanya,"Jika agama tidak boleh
kubawa berpolitik, apa ia mesti disimpan dalam lemari?" Kita tentu boleh
bersepakat dengan Kuntowijoyo, tetapi yang ia maksud dengan kata
"berpolitik" tentu saja bukan sekadar sotoy di sosial media.
Bolehlah menguji nilai Islam mana yang lebih baik untuk membangun sekolah,
bolehlah kita mengadu konsep Islam yang lebih baik dalam mewujudkan ekonomi
berasas keadilan, bolehlah kita berpikir konsep Islam bagian mana yang anti
macet Jakarta dan bisa mengurangi pengangguran. Diskusi yang begitu sih
sepertinya nggak bakalan berisik. Hehehe…
Jadi, kalau hari ini atau besok sedang debat agama trus
ngomel-ngomel sendiri, coba dicek itu agama atau apa kok bikin stres. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar