Guru
dan Pendidikan Karakter
Saratri Wilonoyudho ; Profesor
di Universitas Negeri Semarang;
Field Consultant of Regional
Educational Development and Improvement Project JICA
|
JAWA POS, 25 November
2016
SOAL etika, karakter, dan dunia sains, Erich Fromm pernah
berujar, ’’...Dengan penelitian ilmiah,
manusia menemukan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk hidup dan
menguasai alam. Manusia begitu sukses. Namun, karena terlalu suntuk
memperhatikan materi dan teknik konsumsi lainnya, manusia kehilangan hubungan
dengan diri sendiri dan kehidupan.’’
Proyek mekanisasi manusia lahir justru karena kesuntukan dan
pendewaan kepada dunia sains serta teknologi yang ternyata di ujungnya tidak
diabdikan bagi kemaslahatan umat. Gandhi pernah berujar, bumi menyediakan
pangan yang cukup bagi manusia, namun tidak bagi keserakahan.
Di tengah riuh rendahnya ’’revolusi mental’’, muncul pula ide
tentang pendidikan karakter (yang sampai saat ini tidak jelas konsepnya), khususnya
pendidikan antikorupsi. Pencetus ide itu, tampaknya, lupa bahwa rusaknya
bangsa yang digerogoti para koruptor ini tidak hanya disebabkan kesalahan
sistem pendidikannya, tapi sistem hukum dan pemerintahannya.
Orang juga harus ingat, para koruptor pada zaman Orde Baru dan
zaman kini merupakan produk pendidikan tahun 50-an sampai 70-an yang relatif
masih menikmati ’’murninya’’ sistem pendidikan. Di kala itu, bersekolah di SD
dan sekolah menengah sungguh menyenangkan karena tidak ada beban tugas PR yang
menumpuk serta keteladanan para guru yang memang rata-rata berdedikasi karena
cita-cita mereka sejak awal memang menjadi guru.
Sebagian besar koruptor sekarang lahir pada 1950-an dan 1960-an,
yang kala itu jelas mendapatkan pelajaran budi pekerti, penataran P4,
pendidikan agama, bahkan sampai ke kursus-kursus jabatan tingkat tinggi di
Jakarta dan sebagainya. Dengan demikian, mereka secara teoretis amat paham
bahwa korupsi itu dosa dan menyengsarakan bangsa.
Dari titik ini, tampak nyata bahwa rusaknya para koruptor tidak
berasal dari sistem pendidikan, namun kini mereka masuk dalam sistem negara
yang tidak memiliki sistem hukum yang jelas. Para penegak hukum justru
menjadi biang keladi pusat korupsi karena melayani para oknum penguasaha
jahat, birokrat jahat, dan para koruptor. Para penegak hukum hanya galak
kepada pencuri ayam, copet, atau penjahat kelas teri.
Lihatlah perintah tembak di tempat bagi para penjahat di ibu
kota, sedangkan tidak ada perintah tembak di tempat bagi para koruptor yang
sudah jelas melakukan korupsi. Demikian pula, maling ayam dikatakan
’’penjahat’’, sedangkan koruptor hanya disebut ’’nakal’’, maka muncullah
istilah seperti jaksa nakal, hakim nakal, polisi nakal, dan pengusaha nakal.
Sketsa singkat ini hanya ingin menunjukkan bahwa kurikulum
pendidikan antikorupsi atau pendidikan karakter sehebat apa pun tidak akan
berdaya jika para alumnusnya masuk dalam sistem yang rusak seperti itu.
Pertanyaan selanjutnya, seperti apakah wujud pendidikan karakter atau
pendidikan antikorupsi? Cukupkah dengan sistem hafalan seperti penataran P4
dulu? Pendidikan hafalan tentang agama? Ini adalah pertanyaan krusial yang
harus dijawab.
Demikian pula jika pendidikan karakter atau pendidikan
antikorupsi harus diimbangi dengan keteladanan, pertanyaannya kini, siapa
yang harus diteladani? Harus diakui, dunia pendidikan juga tidak steril dari
kebohongan.
Kasus katrol nilai, KKN dalam penerimaan siswa baru, markup
pembangunan gedung, penyelewengan dana BOS, penyelewengan beasiswa, kasus
pemalsuan angka kredit kenaikan pangkat, sertifikasi, dan sebagainya
menunjukkan bahwa keteladan juga sulit didapat di dunia pendidikan sekalipun.
Singkatnya, wujud pendidikan karakter sangat sulit diungkapkan
dan dilaksanakan di dunia pendidikan. Kalau perkembangan zaman terus
dituruti, anak didik pasti akan kewalahan menerima berbagai mata pelajaran
baru yang kini sudah begitu menyesaki ruang kelas sehingga mereka stres
karena kelebihan beban. Hal yang tidak disadari pemerintah, persoalan bangsa
tidak didiagnosis penyakitnya dan dicari akar masalahnya lebih dahulu, namun
langsung menyodorkan ’’obat’’ seperti pendidikan karakter ini.
Anak-anak kita yang lulus ’’cum laude’’ pendidikan karakter
bangsa, misalnya, ketika dewasa dan terjun dalam kancah politik atau kenegaraan,
pasti mereka akan larut dalam lautan kejahatan korupsi tersebut karena sistem
yang ada tidak memungkinkan mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang baik.
Dengan kata lain, pendidikan karakter bangsa, pendidikan
antikorupsi, pendidikan budi pekerti, atau apa pun namanya hanya akan efektif
jika dibarengi pula dengan revolusi perubahan karakter bangsa. Dalam kaitan
ini, para pejabat negara, para pemimpin bangsa, dan para tokoh masyarakat
harus bekerja keras merombak tatanan negara yang sudah dirusak ini sampai ke
akar-akarnya.
Pendidikan karakter bangsa yang berhasil di negara-negara maju
jelas melalui proses yang panjang dan evolutif. Sebaliknya, bangsa ini sejak
zaman kerajaan dahulu, zaman kolonial, hingga sekarang berada dalam kubangan
sistem yang korup karena tidak mampu menerjemahkan nilai-nilai luhur yang
sudah disusun para bapak bangsa pada permulaan kemerdekaan ini.
Dunia pendidikan juga sudah berada dalam lingkaran setan karena
sadar atau tidak hanya berorientasi pada target kelulusan dengan nilai
tinggi, tanpa bisa mendialektikkan dengan kebudayaan bangsa maupun karakter
bangsa yang terbentuk sejak dahulu kala. Anak-anak kita hanya digenjot dalam
pencapaian kecerdasan kognitif. Bahkan, pendidikan watak yang dikembangkan
terjebak dalam formalitas seperti ini.
Sialnya, di luar sana, dalam panggung perpolitikan maupun
birokrasi negara, tidak ada yang dapat dicontoh oleh anak-anak kita hingga
menghasilkan generasi yang ambivalen. Mereka kaget karena di sekolah diajari
tentang kebaikan, sedangkan dunia realitas mengajari kebohongan.
Nah, para guru kini menghadapi sistem yang sedemikian rumit.
Sehebat apa pun mutu sang guru, mereka akan menghadapi kesulitan yang berat
untuk ’’membenahi’’ sikap mental atau karakater anak bangsa lewat kurikulum
apa pun. Apalagi jika sang guru juga tidak bermutu akibat tidak adanya cetak
biru atau peta jalan bagi pendidikan para calon guru maupun sistem pendidikan
kita, terutama di tingkat dasar dan menengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar