Deradikalisasi
Pemahaman Ajaran Agama
Nasaruddin Umar ; Imam
Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
18 November 2016
PEMAHAMAN ajaran agama di dalam media-media sosial pada dekade
terakhir cenderung memprihatinkan. Radikalisasi pemahaman makna ajaran agama
yang kita yakin pasti di-posting orang-orang yang belum memahami hakikat dan
kedalaman makna holistis ajaran agama. Ironisnya, isu radikalisasi pemahaman
ajaran agama tidak diimbangi dengan deradikalisasi pemahaman ajaran agama.
Keprihatinan kita bukan hanya terjadi di dalam agama Islam,
melainkan juga pada agama-agama lain. Tidak tertutup kemungkinan ketegangan
antara umat beragama akan semakin dipicu dalil-dalil agama yang sudah dikemas
sedemikian rupa.
Bagaimana mungkin kitab suci yang bersumber dari Tuhan yang sama
bisa dipahami berhadap-hadapan satu sama lain. Kelompok-kelompok moderat atau
religious scholars tiap-tiap agama seolah tidak berdaya mengungkapkan apa
adanya tentang kitab suci karena sudah disandera kelompok minoritas. Kita
sangat menyayangkan.
Mestinya agama tampil sebagai spiritual oase yang menawarkan
pencerahan, tetapi bisa berbalik menjadi pemicu konflik. Nilai-nilai agama
yang seharusnya tampil sebagai faktor sentripetal yang menyatukan, tetapi
bakal menjadi faktor sentrifugal yang memecah belah umat dan warga bangsa.
Meluruskan
makna jihad
Jihad sering kali diperkenalkan sebagai perjuangan yang harus
melahirkan korban, kalau perlu melayangkan nyawa. Padahal, jihad sesungguhnya
bertujuan menghidupkan orang, bukan untuk mematikan.
Jihad ialah kosa kata yang amat mulia dan luhur. Jihad berasal
dari bahasa Arab dari akar kata jahada, berarti bersungguh-sungguh. Akar kata
itu membentuk tiga kata kunci, yakni jihad (perjuangan dengan fisik), ijtihad
(perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani).
Ketiga kata tersebut mengantarkan manusia untuk meraih kemuliaan.
Jihad yang sebenarnya tidak pernah terpisah dengan ijtihad dan
mujahadah. Jihad harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kekuatan
ijtihad dan mujahadah. Jihad tanpa perhitungan matang, apalagi mendatangkan
mudarat lebih besar daripada manfaat, sesungguhnya tidak tepat disebut jihad.
Boleh jadi hanya tindakan nekat yang dilegitimasi dengan ayat atau hadis atau
lebih tepat disebut perbuatan sia-sia, atau bahkan keonaran (al-fasad).
Jihad bertujuan mempertahankan kehidupan manusia yang
bermartabat, bukannya menyengsarakan, apalagi menyebabkan kematian
orang-orang yang tak berdosa. Sinergi antara jihad, ijtihad, dan mujahadah
inilah yang selalu dicontohkan Rasulullah. Jihad Rasulullah selalu berhasil
dengan mengesankan. Di medan perang dan di medan perundingan ia selalu
menang, disegani, dan diperhitungkan kawan dan lawan.
Jihad Rasulullah lebih mengedepankan pendekatan soft of power. Ia
lebih banyak menyelesaikan persoalan dan tantangan dengan pendekatan
nonmiliteristis. Ia selalu mengedepankan cara-cara damai dan manusiawi.
Bentrok fisik selalu menjadi alternatif terakhir. Itu pun
sebatas pembelaan diri. Kalau terpaksa harus melalui perang fisik terbuka,
Nabi selalu mengingatkan pasukannya agar tidak melakukan tiga hal, yaitu
tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tanaman, dan tidak
menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh.
Kalau musuh sudah angkat tangan, apalagi kalau sudah
bersyahadat, mereka tidak boleh lagi diganggu. Rasulullah pernah marah kepada
panglima angkatan perangnya, Usamah, lantaran Usamah membunuh musuh yang
terperangkap lalu mengucapkan syahadat. Nabi bersabda: "Kita hanya
menghukum apa yang tampak dan Allah yang menghukum apa yang tak tampak
(akidah)". Akhlaqul karimah tidak pernah ia tinggalkan, sekali pun di
medan pertempuran.
Keluhuran dan kemuliaan jihad tak perlu diragukan. "Seseorang
yang gugur di medan jihad akan langsung masuk surga, bahkan kalau terpaksa,
tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang melekat di badannya, karena
bagaimana pun yang bersangkutan akan langsung masuk surga", kata
Rasulullah SAW.
Namun, kekuatan ijtihad tidak kalah pentingnya dengan jihad secara
fisik.
Nabi secara arif pernah menyatakan, "Goresan tinta pena
ulama lebih mulia daripada percikan darah para syuhada."
Demikian pula kekuatan mujahadah, Nabi pernah menyatakan seusai
dengan sebuah peperangan hebat, "Kita baru saja kembali dari medan
perang kecil ke medan perang yang lebih besar, yaitu melawan hawa
nafsu." Menaklukkan hawa nafsu bagian dari fungsi mujahadah.
Di antara contoh kegiatan mujahadah ialah amalan-amalan rohaniah
(riyadlah), pembersihan jiwa (tadzkiyah al-nafs), kontemplasi, atau meditasi
(halwat), perenungan terhadap alam ciptaan Tuhan (tadabur alam), dan
memperbanyak frekuensi ibadah mahdlah, seperti salat, puasa, doa, dan zikir.
Di antara upaya untuk mencegah konflik keagamaan ialah
memahamkan kepada masyarakat luas bahwa jihad yang merupakan kewajiban agama
tidak mesti harus menerjunkan diri dalam perjuangan fisik. Jihad bisa
dilakukan melalui pemikiran dan harta atau usaha lain yang bertujuan mencapai
tujuan jihad itu sendiri.
Deliberalisasi
untuk deradikalisasi
Dalam kenyataan, tidak sedikit kelompok garis keras atau sering
disebut radikal melakukan aksi mereka sebagai reaksi dari kecemasan mereka
terhadap gerakan liberalisasi di dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan
bernegara. Meskipun kelompok liberal juga beralasan sama, gerakan liberal
yang dilakukan ialah antitesis terhadap maraknya gerakan radikalisme di dalam
masyarakat. Kedua kelompok itu sama-sama melibatkan agama sebagai salah satu
sasaran dan sekaligus dasar gerakan dan aksi.
Termasuk kategori liberal membiarkan para pelanggar dan penista
agama berkeliaran seolah tampil kebal hukum. Kelompok garis keras khawatir
akan terjadi pendangkalan akidah umat dengan semakin meluasnya gerakan
liberal. Kekhawatiran mereka terlalu jauh membayangkan akan terjadi deislamisasi
jika tidak dilakukan proteksi dalam bentuk gerakan.
Seiring dengan itu, kelompok-kelompok garis keras juga diduga
dipicu dengan maraknya ideologi transnasional. Terlepas ada atau tidak adanya
hubungan ideologi transnasional, perkembangan sains dan teknologi
memungkinkan kelompok garis keras lokal mengidentifikasikan diri dengan
kelompok yang sama yang ada di luar negeri.
Semakin kuat gerakan liberal semakin kuat pula respons kelompok
garis keras melancarkan proteksi. Karena itu, salah satu upaya untuk meredam
semangat dan kekuatan garis keras atau radikal ialah mengatur laju
perkembangan masyarakat tanpa kesan kuat terjadinya liberalisasi. Dengan kata
lain, deliberalisasi bisa menjadi salah satu upaya menekan dan mengeliminasi
kelompok garis keras atau radikalisme di dalam masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia, kedua kelompok ini lebih membebani
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia karena keduanya bukan
merupakan watak dasar bangsa Indonesia. Bahkan, watak dasar budaya Indonesia
ialah menganut sistem kekerabatan dan kekeluargaan. Segala sesuatu dapat
diselesaikan dengan prinsip musyawarah dan mufakat.
Adat-istiadat lokal bangsa Indonesia tidak pernah menoleransi
cara-cara kekerasan di dalam menyelesaikan persoalan. Pada saat bersamaan,
watak dasar bangsa Indonesia yang dikenal menjunjung tinggi etika ketimuran
dalam arti mengedepankan kesantunan publik dan kesantunan sosial.
Liberalisasi gaya hidup dan tidak sejalan dengan watak dan budaya bangsa. Namun, tidak
berarti Indonesia antiperkembangan dan kemodernan. Indonesia berkembang di
antara kedua aliran yang sering berhadap-hadapan ini.
Radikalisme ialah sebuah paham yang berusaha memahami
dalil-dalil dan ajaran agama lebih ketat sehingga melahirkan pandangan dan
perilaku keagamaan yang tegas dan keras (radikal). Sementara itu, liberalisme
ialah sebuah paham yang bersusah memahami dalil-dalil dan ajaran agama lebih
longgar sehingga melahirkan pandangan dan perilaku keagamaan yang sangat
moderat (liberal).
Kedua aliran itu mempunyai kelompok pendukung di dalam
masyarakat.
Bahkan, keduanya memiliki kelompok fanatik yang mengklaim aliran
merekalah yang paling benar dan berusaha merumuskan logika untuk memperkuat
pendapatnya sambil mencari kelemahan kelompok selainnya.
Kelompok radikal, yang biasa juga disebut garis keras atau
fundamentalis, selalu berusaha dan berjuang membentengi umat dengan berbagai
jargon, seperti kembali kepada Quran dan sunah, kelompok pembela Islam, amar
makruf nahi munkar, fisabilillah, kelompok mujahidin, pembela Islam, dan
berbagai jargon keagamaan lainnya. Yel-yelnya juga menggunakan
kalimat-kalimat suci seperti Allahu Akbar, dan yel-yel lainnya.
Sementara itu, kelompok liberal selalu berusaha memperkenalkan
ide-ide di dalam masyarakat bahwa Islam ialah agama kemanusiaan. Islam ialah
agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai logika dan kemanusiaan. Jika
seandainya ada dali-dalil agama yang bertentangan atau tidak sejalan dengan
prinsip-prinsip kemanusiaan, yang harus dimenangkan ialah pemahaman yang
prokemanusiaan.
Sebagai bangsa dan negara religius, Indonesia membutuhkan pola
manajemen tersendiri di dalam mengatasi kemungkinan timbulnya ketegangan
konseptual antara kedua aliran tersebut. Diperlukan peraturan dan
perundang-undangan yang tepat guna mengatasi hubungan antaraliran di dalam
kehidupan bermasyarakat.
Demaskulinisasi
wajah agama
Bagaikan sebuah mata uang, agama memiliki dua sisi yang berbeda,
yaitu wajah maskulin dan wajah feminin. Wajah agama seperti ini mengikuti
'wajah' Tuhan yang juga memiliki dua wajah, oleh kaum spiritual disebut
dengan wajah ketegaran (jamaliyah/yang) dan wajah kelembutan (jamaliyah/yin). Tidak mengherankan
jika umat beragama menampilkan dua wajah, yaitu wajah keras dan wajah lembut.
Idealnya kedua komponen ini sama dan sebangun.
Dalam Islam, keutuhan kedua komponen ini ditampilkan Nabi
Muhammad SAW, yang dilukiskan di dalam Alquran: Asyidda' 'ala al-kuffari
ruhamaau bainahum (Bersikap tegas terhadap kaum kafir dan bersikap lembut
kepada sesama mereka).
Dualitas kualitas Tuhan mempunyai makna yang sangat mendasar
dalam dunia kemanusiaan. Seseorang tidak boleh sembrono di dalam menjalani
kehidupannya karena meskipun Tuhan Mahapengasih lagi Mahapenyayang, tetapi
dalam kualitas-Nya yang lain Tuhan juga Mahapemaksa (al-Qahhar) dan Mahapendendam
(al-Muntaqim).
Wajah dan kualitas maskulin dan feminin pada diri Tuhan ternyata
juga ikut menghiasi kualitas manusia. Secara personal manusia memiliki
dualitas di dalam dirinya, paralel dengan dua wajah Tuhan dan dua wajah agama
tadi. Manusia memiliki kualitas kejantanan dan ketegaran
(masculinity/struggling) dan kualitas kelembutan dan kepengasihan
(femininity/nurturing).
Nama-nama indah Allah SWT yang dikenal dengan al-Asma' al-Husna
yang berjumlah 99, dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu jalaliyyah
dan jamaliyyah. Hanya, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang diperkenalkan
dalam Alquran lebih menonjolkan sifat-sifat jamaliyyah.
Tuhan bukan hanya memiliki sifat-sifat maskulin (The Father of
God), melainkan juga memiliki, bahkan lebih dominan dengan sifat-sifat
feminin (The Mother of God).
Dalam sebuah masyarakat fiqih
oriented seperti sering diatributkan kepada umat Islam Indonesia,
sifat-sifat maskulinitas Tuhan lebih ditonjolkan, seperti Tuhan Mahabesar
(al-Kabir), Mahaperkasa (al-'Aziz), dan Mahapembalas/Pendendam (al-Muntaqim).
Bukannya menonjolkan sifat-sifat feminitas-Nya, seperti Tuhan Mahapenyayang
(al-Rahman), Mahalembut (al-Lathif), dan Mahapemaaf (al-'Afuw), sehingga
Tuhan lebih menonjol untuk ditakuti daripada dicintai.
Efek psikologis yang muncul karenanya, manusia menyembah dan
sekaligus mengidealkan identifikasi diri dengan The Father of God, yang mengambil ciri dominan, kuasa, jauh, dan strugling, bukannya dengan The Mother of God, yang mengambil ciri
berserah diri, kasih, dekat, dan nurturing.
Idealnya, komposisi kualitas maskulin dan feminin menyatu di
dalam diri manusia, sebagaimana halnya keutuhan kedua kualitas itu menyatu di
dalam diri Tuhan, seperti tecermin di dalam al-asmaul husna dan sebagaimana
juga dipraktikkan Rasulullah SAW. Idealnya, manusia yang memiliki kapasitas
sebagai hamba dan khalifah mengadopsi kedua kualitas tersebut secara
proporsional.
Sebagai hamba manusia tidak sepantasnya merasa dan menonjolkan
sifat-sifat maskulin dan kejantanan di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa.
Manusia harus menonjolkan sikap feminin dan kelembutan di
hadapan Tuhan.
Sebagai khalifah, manusia tentu harus memiliki sikap maskulin
dan ketegaran. Sebab bagaimana manusia bisa sukses mengatur alam semesta
tanpa ketegaran.
Dosis penampilan kualitas maskulin tidak pernah boleh
meninggalkan kualitas feminin, sebagaimana Tuhan sendiri mencontohkannya. Dalam
QS Al-fatihah, Tuhan sebagai pribadi ialah Mahapengasih dan Penyayang (Bi ism
Allah al-rahman al-rahim) dan kapasitas diri-Nya sebagai Tuhan juga
Mahapengasih dan Mahapenyayang (Rab al-'alamin, al-rahman al-rahim). Karena
itu, kita harus mencontoh sifat dan karakter Tuhan, lebih dominan menampakkan
wajah feminin ketimbang wajah maskulin-Nya.
Mengkritisi
pola pendidikan agama
Setiap negara menerapkan pola deradikalisasi, tapi tema dan
objek deradikalisasi memiliki persamaan dan perbedaan satu sama lain. Pada
umumnya, tema deradikalisasi berkisar pada pemahaman kembali ajaran-ajaran
dasar agama yang bersifat universal. Di dalam Islam, diupayakan untuk
memahami kembali ayat-ayat dan hadis yang dipahami secara tekstual dan
memutuskan historical background
dan maqashid al-syari'ah.
Sasaran deradikalisasi biasanya kurikulum dan bahan ajar seperti
buku-buku, jurnal, materi-materi ceramah. Tidak terkecuali orang dan lembaga
juga sering menjadi sasaran deradikalisasi seperti yang kita lihat di dalam
sejumlah negara.
Penetapan kurikulum dan bahan bacaan hampir semua negara
melakukan persiapan dengan baik, termasuk Indonesia. Hanya, cara masuknya
berbeda-beda. Ada negara yang menyisir kurikulum dan silabus dengan mendrop
seluruh materi yang berpotensi bisa menimbulkan pemahaman keras. Ada juga
cara-cara memberikan perbandingan pendapat atau pandangan lain meskipun
dalilnya sama. Cara-cara seperti umum dilakukan, termasuk di Indonesia. Materi
perbandingan mazhab (muqaranah al-madzahib) menjadi materi penting di dalam
pembelajaran agama.
Materi pengenalan dasar agama-agama lain juga diperkenalkan atau
diajarkan di dalam jenjang pendidikan tertentu agar peserta didik tidak hanya
mengenal kebaikan agamanya sendiri, tetapi pada agama lain terdapat juga
ajaran kebaikan.
Sumber-sumber bacaan dan terbitan juga dikendalikan dengan cara
menyeleksi bahan-bahan bacaan peserta didik. Tentu dengan cara ini tidak
mudah karena bahan bacaan sekarang tidak hanya dalam bentuk buku yang gampang
diatur pendistribusiannya. Lebih berat ialah dalam bentuk buku elektronik
atau internet, yang bisa menyuguhkan apa pun, termasuk bagaimana cara merakit
bom.
Terbukti sejumlah kasus kejadian bom pelakunya mengaku
belajarnya dari internet. Orang yang berbakat dan memiliki keinginan dan
motivasi kuat bisa saja menemukan ide-ide cerdas melalui internet. Sementara
itu, internet sekarang sudah sangat personal karena melekat di dalam ponsel
yang diakses kapan saja dan di mana saja.
Semua serbamudah dan murah bahkan gratis. Target lain yang
sering dijadikan sasaran ialah orang-orang atau kelompok, yayasan, lembaga
yang dicurigai memiliki jaringan khusus yang berpotensi menggalang kekuatan
untuk menciptakan keresahan dengan melakukan serangkaian kekerasan atau
ancaman kekerasan di dalam masyarakat. Target mereka ialah menimbulkan
kepanikan dan ketakutan publik. Dengan begitu, mereka menganggap separuh
target sudah tercapai.
Karena itu, peran media juga sangat penting. Media bisa
menemukan sarang teroris atau kelompok-kelompok mengkhawatirkan, tetapi
dengan media juga kelompok-kelompok itu menjadi besar karena selalu
dibesar-besarkan dan didramatisasi.
Hal lain yang sering menjadi tema ialah masalah pencegahan,
penindakan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Keempat persoalan ini bukan hanya
menjadi tanggung jawab pihak keamanan atau pemerintah, melainkan juga semua
pihak, termasuk lingkup keluarga sebagai unit masyarakat terkecil.
Pencegahan, penindakan, dan rehabilitasi bisa saja diemban
pemerintah bersama segenap aparat hukum dan keamanan, tetapi masalah
reintegrasi harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat luas.
Di sini sering muncul masalah penting dan amat mendesak karena
rata-rata pelaku teroris itu masih mudah usia sehingga kalau mereka dipenjara lima tahun, misalnya,
mereka masih memiliki usia yang cukup panjang. Jika masyarakat menolak
kehadiran mereka, tidak mustahil mereka akan mencari kembali jaringan lama. Bagaimana
pun mereka manusia biasa yang membutuhkan hak-hak hidup yang standar seperti
makan, minum, berkeluarga, dan bersosialisasi. Jika mereka ditolak
masyarakat, mereka mau ke mana? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar