Agama
dan Pancasila
Saifur Rohman ; Pengajar
Program Doktor Ilmu Pendidikan
di Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 24 November
2016
Pada bulan November ini, ada dua peristiwa penting yang
melibatkan ratusan ribu orang di Jakarta. Pertama pada Jumat (4/11) dan kedua
pada Sabtu (19/11). Peristiwa pertama mengangkat isu tentang pentingnya
pemurnian agama dan peristiwa kedua mengenai pentingnya keberagaman.
Di balik peristiwa itu, isu-isu tentang politik uang, auktor
intelektualis, desain pengerahan massa, hingga konteks pemilihan kepala
daerah merupakan faktor-faktor yang tidak bisa dilepaskan dalam perbincangan
publik. Namun, adalah fakta bahwa dua hal itu memberikan sketsa tentang
praktik berbangsa kita hari ini.
Artinya secara sederhana bisa dipertanyakan, apa untungnya bagi
kita? Lebih tepatnya, apa efek dari partisipasi masyarakat bagi pemahaman
publik ke depan?
Manusia ketiga
Jika pemahaman adalah realitas yang tersusun dari proses
penafsiran atas fakta-fakta, pemahaman publik sebetulnya menuntut keruntutan
realitas sosial yang bisa diterima secara luas. Maksudnya, apa yang bisa saya
terima bukanlah apa saja yang menurut saya logis, melainkan juga apakah saya
percaya atau tidak. Sebab, jika penjelasan luaran didasarkan pada
hubungan-hubungan logis-rasional, penjelasan dalaman membutuhkan pemahaman
tentang makna simbolik-intuitif. Itulah kenapa fakta-fakta yang sama bisa
saja menghasilkan nalar dan keyakinan yang berbeda.
Jika dihadapkan pada pemahaman logis-formal, peristiwa tersebut
persis dengan teori yang pernah dijelaskan oleh Ernest Gellner dalam Postmodernism, Reason and Religion
(1992). Dia menyebut dengan istilah fundamentalisme religius dan
fundamentalisme rasional.
Ketika masyarakat mengalami masalah tersebut, dia kemudian
mengusulkan agar melahirkan ”manusia ketiga”. Iniman usia yang mampu
mengembangkan komunikasi secara baik untuk setiap pihak sehingga menemukan
ruang dialog untuk berkompromi (1992:96). Katanya, hasil kompromi haruslah
berupa kesepakatan untuk meningkatkan pelayanan publik.
Solusi tersebut ternyata menemui kesulitan karena tidak ada
jaminan bahwa ruang dialog tersebut bersih dari kekuasaan dan kepentingan. Di
sisi lain, penyerahan masalah kepada institusi publik yang berwenang hanya
akan menghasilkan ”permainan baru” dalam upaya penyelesaian masalah.
Sebagai bukti, hasil dari demonstrasi yang melibatkan ratusan
ribu orang pada 4 November adalah penetapan status tersangka atas Basuki
Tjahaja Purnama, Rabu (16/11/2016). Kendati demikian, penetapan itu dikatakan
oleh pemerintah bukan sebagai ”keputusan yang mudah” karena terjadi
perdebatan antara penyelidik, saksi ahli, dan sejumlah ahli bahasa.
Pemberi
harapan
Berdasarkan kenyataan tersebut, pemahaman logis-formal hanya
akan sampai pada permainan logika bahasa. Jika direfleksikan pada realitas
yang simbolik-tepercaya, kita membutuhkan pemahaman ideologis yang diyakini
sebagai jalan mewujudkan cita-cita bersama. Ada empat fakta sosial ketika
pemahaman logis-formal menjadi kesalahpahaman ideologis.
Pertama, keputusan pemerintah mengandung sejumlah kesalahpahaman
memaknai praktik berbangsa yang partisipatif. Aparat terkesan ”meredam
permasalahan” agar peristiwa satu hari tidak menimbulkan anomi di tengah
masyarakat selama berhari-hari. Hal itu sekurang-kurangnya dapat dilihat dari
lama waktu antara penetapan tersangka (16/11/2016), demonstrasi (4/11/2016),
dan peristiwa di tempat kejadian perkara (29/9/2016).
Kedua, pemerintah melupakan konsep dasar berbangsa sebagaimana
termaktub dalam tujuan pembentukan negara ini, yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa. Negeri ini tidak terombang-ambing antara Pancasila dan agama jika
pemahaman kebangsaan kita didasari kemampuan memperbaiki diri secara terbuka.
Ketika sikap cerdas adalah kemampuan untuk belajar, kehidupan bangsa yang
cerdas adalah kehidupan yang bersedia memperbaiki diri secara
berkesinambungan, memaafkan, dan mengakui kesalahan.
Ketiga, fakta kedua terjadi karena pemerintah tidak pernah
memiliki desain kurikulum ”mencerdaskan kehidupan bangsa” yang dapat
diandalkan. Persoalannya, pembelajaran kehidupan bangsa dengan begitu
bukanlah semata-mata mata pelajaran ideologis. Pendidikan kewarganegaraan
memerlukan sinergi yang efisien dengan mata pelajaran lain, seperti agama dan
ilmu-ilmu sosial.
Pembiasaan
Jika merujuk pada rencana pembelajaran, salah satu keluaran dari
pendidikan kewarganegaraan di sekolah adalah pembiasaan kehidupan yang sesuai
dengan asas-asas ideologi bangsa. Pembiasaan memerlukan situasi, motivasi,
dan keyakinan peserta didik. Karena itu, pendidikan tersebut jelas
membutuhkan daya dukung dari disiplin ilmu lain sehingga memperoleh
legitimasi yang cukup.
Keempat, pemerintah tidak memiliki media yang efektif dalam
pembelajaran menuju kehidupan bangsa yang cerdas. Sebagaimana dimaktub dalam
tujuan pendidikan nasional, keluaran dari pembelajaran terhadap anak bangsa
adalah sebuah perikehidupan yang dilandasi oleh rasio dan religi demi mewujudkan
cita-cita bersama. Hasil itu diejawantahkan dalam desain pembelajaran yang
dikenal dengan istilah standar isi, standar proses, dan standar keluaran.
Karena itu, tidak sulit menyatakan bahwa menghasilkan kehidupan bangsa yang
cerdas berbanding lurus dengan desain pembelajaranyang tepat.
Berdasarkan perspektif itu, fenomena sosial di tengah-tengah
masyarakat jelaslah merupakan satu media pembelajaran yang dapat digunakan
pemerintah sebagai model praktik berbangsa ke depan. Segala daya upaya dapat
diarahkan untuk mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendeknya, kehidupan bangsa adalah sebuah iklim, situasi sosial, pola pikir,
atau sikap bersama.
Dengan kata lain, sikap bersama yang terbuka, toleran sekaligus
religius adalah hasil final dari praktik nyata pembelajaran kehidupan bangsa
yang cerdas. Ketika mekanisme dialog macet dan penegakan hukum berakhir pada
permainan, sebetulnya pemerintah tidak cerdas dan publik tidak pernah
diuntungkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar