Deradikalisasi
dan Terorisme
Soleman B Ponto ; Kepala
Badan Intelijen Strategis TNI (2011-2013)
|
KOMPAS, 26 November
2016
Sepanjang tahun 2016, telah terjadi sedikitnya empat kali bom
bunuh diri. Kasus bom dan baku tembak dengan teroris pertama terjadi pada 14
Januari 2016. Kemudian pada 5 Juli 2016, bom diledakkan di Polresta
Surakarta.
Selanjutnyapada 28 Agustus 2016, percobaan bom bunuh diri di
Gereja Katolik Stasi Santo Yoseph, Medan. Dan yang terakhir terjadi pada 13
November 2016, sebuah bom molotov diledakkan di depan Gereja Oikumene Kota
Samarinda, Kalimantan Timur. Empat anak terluka dan satu di antaranya
meninggal.
Pelaku bom Gereja Oikumene Samarinda bukanlah orang baru dalam
peledakan bom. Pelaku merupakan mantan narapidana teror bom Pusat Penelitian
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Tangerang pada 2011.
Menurut Kapolri, pelaku yang bernama Joh alias Juhanda alias Jo
bin Muhammad Aceng Kurnia (32) pernah menjalani hukuman pidana 3,5 tahun pada
2012 dan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi Idul Fitri pada 28 Juli
2014.
Kasus-kasus ini merupakan bukti bahwa program deradikalisasi
yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah
gagal total. Pemerintah sudah seharusnya segera melakukan revitalisasi BNPT.
Deradikalisasi berasal dari kata radikal lalu ditambah awalan de
di depan yang berarti mengurangi atau mereduksi. Sementara kata asasi di
belakang kata radikal berarti proses, cara, atau perbuatan. Kata radikal
berasal dari bahasa Latin radix, radicis yang menurut The Concise Oxford Dictionary (1987) berarti akar, sumber, atau
asal mula.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan
sebagai ’secara menyeluruh’, ’habis-habisan’, ’amat keras menuntut
perubahan’, dan ’maju dalam berpikir atau bertindak’. Jadi, deradikalisasi
bisa diartikan sebagai upaya untuk mereduksi pemikiran-pemikiran,
kegiatan-kegiatan yang berbau radikal atau penuh dengan tindak kekerasan.
Deradikalisasi dibangun atas asumsi bahwa ada ideologi radikal
yang mengeksploitasi berbagai faktor, seperti kemiskinan, keterbelakangan,
marginalisasi, pemerintahan otoriter, dominasi negara super power, dan
globalisasi. Ideologi ini melahirkan spirit perlawanan dan perubahan dengan
tindakan-tindakan teror, ketika jalan damai (kompromi) dianggap tidak
memberikan efek apa pun.
Sangat jelas bahwa deradikalisasi hanya ditujukan untuk
mereduksi ”paham, pikiran atau ideologi” yang menghalalkan penggunaan ”bom”
sebagai alat penekan agar kemauan mereka tercapai. Itulah sebabnya, terkait
isu terorisme, dalam dua tahun terakhir deradikalisasi menjadi istilah yang
cukup populer. Bahkan, BNPT menempatkannya sebagai program utamanya dalam
upaya memberantas terorisme di Indonesia.
Sembilan unsur
terorisme
Sebagai ilustrasi, ketika kita akan membuat api, maka kita akan
menggosok-gosok kayu sampai panas kemudian di tempat yang panas itu kita
letakkan bahan yang mudah terbakar seperti jerami dan meniupnya. Proses itu
sebenarnya mempertemukan panas, hasil dari gosokan kayu, bahan bakar, jerami,
dan oksigen ketika kita meniupnya.
Api akan menyala apabila ada tiga unsur yang bertemu, panas,
bahan bakar, dan oksigen. Sebaliknya apabila akan memadamkan api, yang sering
kita lihat adalah menyiram api itu dengan air. Penyiraman ini pada dasarnya
adalah untuk memisahkan panas dari dua bahan bakar dan oksigen. Apa yang
terjadi pada api terjadi juga pada terorisme. Apabila untuk api ada tiga
unsur pembentuk, maka untuk terorisme ada sembilan unsur pembentuk terorisme.
Sembilan unsur itu adalah pemimpin, tempat latihan, network (jaringan),
dukungan logistik, dukungan keuangan, training atau pelatihan, komando dan
pengendalian, perekrutan, dan terakhir cohesion
force atau daya pemersatu.
Apabila untuk memadamkan api cukup dengan menghilangkan salah
satu dari unsur pembentuk api, demikian juga untuk memadamkan terorisme cukup
dengan menghilangkan salah satu dari unsur pembentuk terorisme. Misalkan
unsur dukungan keuangan uang yang dihilangkan, maka jika tidak ada uang yang
cukup untuk membeli bahan peledak, tidak akan mungkin seorang teroris dapat
melakukan pengeboman.
Apabila deradikalisasi diharapkan nantinya akan dapat digunakan
untuk memberantas terorisme, deradikalisasi harus dapat menghilangkan salah
satu dari sembilan unsur pembentuk terorisme. Untuk itu, perlu diketahui
terlebih dahulu unsur mana dari kesembilan unsur pembentuk terorisme yang
berhubungan langsung dengan deradikalisasi.
Deradikalisasi
vs agama
Cohesion force atau daya pemersatu adalah rasa senasib dan sepenanggungan dari
para anggota organisasi sehingga mereka merasa saling terikat satu dan
lainnya. Rasa keterikatan ini menjadi kuat apabila ada kesamaan cara pandang
di antara anggota organisasi itu.
Semakin kuat daya pemersatu, semakin solid organisasi tersebut.
Sebaliknya, semakin lemah daya pemersatu, semakin lemah pula suatu
organisasi. Dengan demikian, jika ingin menghancurkan suatu organisasi,
hancurkan terlebih dahulu daya pemersatunya.
Ideologi agama dinilai sebagai pemersatu yang paling kuat. Jika
pemerintah saat ini melaksanakan deradikalisasi, pada dasarnya adalah untuk
melemahkan daya pemersatu dengan mengubah perilaku mereka agar dapat menaati
aturan perundangan yang berlaku.Dengan demikian, pada akhirnya deradikalisasi
akan berhadapan dengan agama.
Padahal untuk memadamkan terorisme, masih ada salah satu dari
delapan unsur lain yang dapat dihilangkan. Oleh karena itu, segera hentikan
program deradikalisasi yang mubazir itu. Harap diingat bahwa seorang teroris
yang ditakuti bukan karena mereka berpaham radikal, melainkan mereka ditakuti
karena ”memiliki bom” yang dapat diledakkan sewaktu-waktu.
Akan tetapi, jika memang mereka yang berpaham radikal perlu
disadarkan, serahkanlah hal itu dilaksanakan oleh para pemuka agama yang
terkait. Perlu diingat bahwa pemberantasan terorisme tidak hanya dapat
dilakukan dengan program deradikalisasi oleh BNPT serta menghukum pelaku
dengan pembuatan undang-undang saja, tetapi juga bagaimana mencegah agar
tidak lahir teroris-teroris baru yang diakibatkan karena kesalahan cara
pemberantasannya.
Teroris dan keluarganya serta para korban dan keluarganya perlu
mendapatkan keadilan yang proporsional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar