Patgulipat
Holdingisasi BUMN Migas
Agus Pambagio ; Pemerhati
Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
|
DETIKNEWS, 28 November
2016
Minyak dan gas Bumi (Migas)
masih merupakan sektor strategis pengisi pundi-pundi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Republik Indonesia. Sektor migas memang sarat modal dan
pendapatan. Bisnis migas paling menjanjikan karena keuntungannya dahsyat.
Jadi jangan heran jika sektor ini akan selalu menjadi jarahan utama pencari
rente, termasuk para politisi dan pejabat di Republik ini.
Publik memerlukan migas sebagai
sumber energi untuk kehidupan sehari hari, seperti transportasi, listrik dsb.
Hidup tanpa migas serasa hidup di zaman Flinstone. Karena pentingnya migas
bagi kehidupan bangsa ini, maka sudah seharusnya Pemerintah mengaturnya
dengan baik supaya keberlangsungan (sustainability) migas terjamin dengan
harga terjangkau bagi publik. Dengan peraturan dan penegakan hukum yang
tegas, negara tidak lagi dirugikan oleh para pencari rente. Selain itu publik
dan badan usaha mempunyai kepastian di sektor energi.
Terkait dengan peran Pemerintah
dalam mengatur migas, saat ini muncul isu "Holdingisasi BUMN Migas"
yang kurang jelas niatnya, kecuali untuk memeras habis sumber daya alam
Indonesia oleh para pencari rente melalui full import bukan membangun
infrastruktur. Pertanyaannya, apakah setelah dibuat holding korporasi akan
lebih baik? Indonesia punya pengalaman buruk dalam holdingisasi perkebunan.
Terbukti kondisi korporasi perkebunan kita juga tidak membaik dan asetnya
banyak dialihfungsikan. Lalu apa gunanya holdingisasi migas? Untuk
memperbaiki bisnis migas atau hanya untuk melancarkan bisnis para pencari
rente sektor migas?
Untuk pembentukan perusahaan
holding tentunya diperlukan kebijakan yang memadai sebagai payung hukum.
Sayangnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang diusulkan oleh
Kementerian BUMN menabrak banyak Undang Undang, seperti UU No. 19 Tahun 2003
Tentang BUMN, UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dll.
Sebenarnya apa maksud Kementerian
Negara BUMN meng-holding-kan BUMN Migas? Adakah udang di balik piring yang
berujung pada pemusnahan BUMN demi kepentingan tertentu? Adakah manfaatnya
bagi publik dalam jangka pendek maupun panjang?
Di Balik Pemaksaan Holdingisasi
BUMN Migas
Tujuan dibentuknya perusahaan
holding adalah supaya BUMN Migas lebih kuat untuk dapat bersaing di pasar
global, seperti Temasek di Singapura ataupun Khasanah di Malaysia. Kekuasaan
holding nantinya tidak lagi di Pemerintah tetapi di Kementerian BUMN.
Pengalihan/ penjualan saham pemerintah todak perlu lagi izin DPR dan Menteri
Keuangan, cukup Menteri Negara BUMN saja.
Holdingisasi BUMN pernah
berhasil di sektor Perbankan, di mana 4 bank (Bank Bumi Daya, Bank Exim, Bank
Bapindo dan Bank Dagang Negara) pada tahun 1998 di merger dan bernama PT Bank
Mandiri (Persero) Tbk. Merger ini cukup berhasil, sehingga saat ini Bank
Mandiri menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia.
Namun ada juga holdingisasi
yang kurang berhasil ketika pada tahun 2012 Menteri Negara BUMN melakukan
holdingisasi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 1-14 dengan menunjuk PTPN 3
sebagai perusahaan holding. Proses holdingisasi PTPN kurang berhasil dan
sampai saat ini PTPN 3 belum bisa menjadi perusahaan holding perkebunan
seperti yang diharapkan.
Seharusnya Pemerintah belajar
dari 2 proses holdingisasi BUMN tersebut melalui evaluasi yang rinci dan
dipublikasi, supaya kegagalan holdingisasi BUMN tidak lagi terulang. Mengapa
holdingisasi ada yang berhasil dan ada yang gagal? Supaya holdingisasi BUMN Migas
bisa sukses dan industri migas, baik hulu maupun hilir, dapat memberikan
kontribusi yang lebih besar bagi bangsa ini.
Persoalan utama industri migas
di Indonesia adalah tumpang tindihnya peran hulu dan hilir antara PT
Pertamina dengan PT PGN Tbk. Tidak seperti industri perbankan, semua bank
melakukan bisnis simpan - pinjam, tidak ada yang terpisah. Sehingga ketika
dibuat holding tidak ada persoalan karena line of business-nya sama, tidak
seperti migas.
Pertamina sejak awal berdirinya
(dari merger Pertamin dan Permina) banyak terlibat usahanya di hulu dan hilir
minyak khususnya minyak bersubsidi. Baru kemudian terlibat di hilir gas
dengan mendirikan anak perusahaan yang bernama PT Pertagas dan PT Pertagas
Niaga. Sedangkan PGN sejak awal terlibat di distribusi dan transmisi gas
(hilir).
Baru belakangan karena tidak
tegasnya kebijakan Kementerian BUMN, PGN juga membuka anak perusahaan yang
bergerak di hulu gas, yaitu PT Saka Energi Indonesia. Persaingan usaha
keduanya membuat operasi usaha migas di Indonesia terkendala. Bagaimana
mungkin sesama BUMN diharuskan bersaing di bisnis hilir gas. Yang ada
bukannya industri gas semakin maju tetapi jalan di tempat dan boros anggaran
(CAPEX dan OPEX). Sementara pelayanan mereka pada publik sangat lamban
berkembang.
Saya pernah mengusulkan dan
mengadvokasi pemisahan kedua BUMN tersebut, supaya masing-masing konsentrasi
di hulu dan hilir gas, bukan di-holding-kan. Sudah pernah keluar Surat
Keputusan Menteri Negara BUMN untuk pemisahan ini pada awal 2014, tetapi
dibatalkan karena adanya protes dari karyawan PT Pertamina.
Upaya yang Harus Dilakukan Pemerintah
Pemerintah harus berhati-hati
dalam melakukan holdingisasi BUMN Migas karena jika salah mengambil
keputusan, maka kerugian yang diakibatkannya akan sangat besar dan
menyengsarakan publik.
Jika PT PGN Tbk di-holding-kan
dengan PT Pertagas, PT Pertagas Niaga dan PT Pertamina, maka jika PT
Pertamina (sebagai holding) akan menjual saham RI di PT PGN tidak perlu lagi
harus izin DPR-RI. Cukup izin Menteri Negara BUMN dan prosedur ini sarat
dengan penyalahgunaan wewenang dan intervensi para pencari rente akan lebih
mudah.
Selain itu, patut diduga
holdingisasi migas ini terkait dengan adanya kontrak impor gas yang bernilai
miliaran US Dollar dan sangat memberatkan PT Pertamina dan dilakukan sekitar
tahun 2013 lalu. Misalnya kontrak pembelian LNG dengan ENI Muara Bakau Qty A
& B (2017-2024 sebesar 1,4 metric tonnes per annum (mtpa)) , US: Corpus
Christi I (2019-2041 sebesar 1.5 mtpa), dan Total Gas & Power Ltd.
(2020-2034 sebesar 1.0 mtpa).
Parahnya LNG yang diimpor
digunakan atau tidak, Pertamina tetap harus membayar. Nah jika sendirian
pasti PT Pertamina akan bengek hingga tahun 2041, makanya mereka memaksa PT
PGN untuk merger supaya equity Pertamina naik dan bisa utang lebih besar.
Akhir kata, sebaiknya
Pemerintah berhati-hati dalam menerbitkan revisi PP No. 44 Tahun 2005, sejak
tanggal 3 November 2016 sudah ada di meja Presiden, karena patut diduga
pasal-pasal yang ada bertabrakan dengan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan
UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas yang saat inipun sedang dalam proses
revisi. Ada baiknya penerbitan revisi PP No. 44 Tahun 2005 dan PP Holding
menunggu revisi UU selesai supaya nantinya tidak lagi tumpang tindih dan
bermanfaat untuk publik/bangsa ini. Salam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar