Toleransi
Beragama di Australia
Denny Indrayana ; Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM; Visiting
Professor pada Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of
Melbourne
|
DETIKNEWS, 03 November
2016
Pada
Catatan Kamisan kali, saya akan mengangkat persoalan kebebasan beragama di
Australia. Pasal 116 Konstitusi Australia mengatur, "The Commonwealth shall not make any law for establishing any
religion, or for imposing any religious observance, or for prohibiting the
free exercise of any religion, and no religious test shall be required as a
qualification for any office or public trust under the Commonwealth".
Yang pada intinya mengatur di Australia tidak boleh membuat undang-undang
untuk mendirikan agama, atau memaksakan ajaran agama, atau melarang kebebasan
beragama, dan agama tidak boleh dijadikan dasar kualifikasi untuk menduduki
posisi apapun.
Terkait
kebebasan beragama tersebut di Indonesia diatur dalam Pasal 29 UUD 1945,
"Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan "Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
Jika
dibandingkan, terlihat bahwa Australia tidak mengatur soal-soal agama,
meskipun tetap memberikan kebebasan—tetapi tidak memaksakan—pelaksanaan
kehidupan dan ajaran agama tersebut. Wujud kebebasan bahkan sampai jaminan
kebebasan untuk tidak memilih agama apapun. Hal demikian tentu berbeda dengan
Indonesia, yang menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
140/PUU-VII/2009 dan Nomor 84/PUU-X/2012 terkait pengujian Pasal 156a KUHP jo
Undang-Undang Nomor 1 /PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama,
menegaskan Indonesia adalah negara berketuhanan, yaitu "negara hukum
yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama, serta
nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan
negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara". Karena negara
berketuhanan itulah, MK menegaskan NKRI tidak menjamin kebebasan untuk tidak
beragama.
Masih
banyak lagi persoalan terkait konstitusionalitas UU Pencegahan dan Penodaan
Agama, yang oleh MK dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan
karenanya masih berlaku sebagai hukum positif di tanah air. Namun, pada
catatan kali ini saya tidak akan membahas persoalan itu secara detail. Dalam
kolom pendek ini, saya lebih ingin memberikan catatan ringan, meski bukan
berarti tidak serius.
Jika
Indonesia adalah negara beragama yang beragam, maka Australia adalah negara
yang tidak mengatur soal agama, tetapi agamanya lebih beragam lagi. Jika saat
ini ada enam agama yang diakui berada di Indonesia, maka menurut sensus
penduduk tahun 2011, ada 120 aliran agama yang berbeda di Australia. Tetap,
berdasarkan sensus 2011 agama terbesar adalah Kristen 61,1%, Budha 2,5%,
Islam 2,2%, Hindu 1,3% dan Yahudi 0,5%. Sedangkan sisanya 22,3% menyatakan
tidak beragama dan 9,4% memilih untuk tidak menjawab pertanyaan terkait
tentang agama. Angka yang menyatakan tidak menganut agama itu meningkat dari
sebelumnya sekitar 15% berdasarkan sensus tahun 2001. Peningkatan itu lebih
banyak pada penduduk usia muda, dimana 28% warga berusia 15 sampai 34 tahun
menyatakan dirinya tidak beragama.
Perbedaan
agama demikian tidak aneh, karena Australia adalah negara heterogen, yang
warga negaranya berasal dari dari 240 negara yang berbeda dari seluruh
belahan dunia. Lebih dari 43% warga negaranya lahir di luar Australia atau
paling tidak mempunyai salah satu orang tuanya yang lahir di luar Australia.
Yang juga tidak kalah menarik adalah angka bahwa 20% warga negara Australia
adalah penyandang berbagai jenis disabilitas. Singkatnya, Australia adalah
negara yang paling beragam warga negaranya.
Dengan
keberagaman itu, maka sikap toleransi dan antidiskriminasi adalah satu hal
yang niscaya dalam kehidupan keseharian maupun kebijakan publik di Australia.
Salah satu pelatihan yang harus saya ikuti sebagai Guru Besar Tamu di
Melbourne Law School dan Faculty of Arts di University of Melbourne adalah
kursus Promoting positive workplace behaviours, yaitu kursus untuk
meningkatkan pengetahuan untuk antidiskriminasi, pelecehan dan bullying.
Namun, itu bukan berarti kehidupan antidiskriminasi di Australia sudah dapat
diatasi. Pada tahun 2011—2012, Komisi HAM Australia menerima 1997 pengaduan
terkait isu rasialisme, yang merupakan kenaikan 23% pada tahun itu.
Namun,
selama tinggal di Melbourne, yaitu tahun 2002 – 2005 saat menempuh program
doktoral, maupun sekarang sebagai Visiting Professor, saya tidak merasakan kesulitan
untuk tinggal dan beribadah di Australia. Meskipun islam adalah agama
minoritas, di setiap universitas di Melbourne, selalu disediakan ruang
sholat. Di Melbourne University, ruang sholat itu juga digunakan untuk sholat
Jumat dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Ketika pertama kali mengantar
dua anak saya ke Laverton Secondary College, saya menanyakan soal tempat
sholat di sekolah. Guru yang menemui kami dengan tulus membantu dan
menyediakan ruang di sekolah untuk dijadikan tempat sholat. Memang belum ada
tempat khusus, tetapi poin yang ingin saya sampaikan adalah tidak adanya
kesulitan untuk tetap melakukan ibadah sholat di sekolah.
Masyarakat
Indonesia di Melbourne sendiri mempunyai tiga pusat dakwah Islam, yaitu
masjid Westall, Surau Kita dan Baitul Makmur. Saya sendiri tinggal di daerah
Laverton, yang hanya berjarak kurang 5 menit berkendaraan ke Baitul Makmur.
Kehidupan keagamaan berjalan baik tanpa hambatan. Pengajian sering dilakukan,
dengan menghadirkan penceramah di lingkungan Melbourne ataupun dari tanah
air. Setiap bulan suci Ramadhan, pengurus masjid mengundang ustadz dari tanah
air, dan menyusun program kegiatan sebulan penuh—semuanya berjalan lancar.
Sholat-sholat hari raya biasanya memang diadakan dengan meminjam tempat di
lingkungan universitas atau community centre, yang semuanya belum pernah
mengalami persoalan.
Di
Baitul Makmur, setelah selesai Ramadhan tahun ini, kegiatan sholat jumat
mulai dilakukan untuk komunitas muslim Indonesia. Kenapa tidak dari dulu?
Sebenarnya pertimbangannya lebih pada soal teknis persiapan, salah satunya
soal kerapihan parkir kendaraan. Beberapa sholat jumat akhirnya ditiadakan
dan tidak diizinkan lebih karena parkir kendaraan yang tidak rapih dan
mengganggu lalu lintas di sekitar masjid. Jadi persoalannya bukan pada
pelaksanaan sholat jumatnya, tetapi karena gangguan lalu lintas yang
disebabkannya.
Soal
toleransi beragama di Melbourne juga dirasakan Profesor Moh. Mahfud MD ketika
kemarin sekitar 10 hari berada di Australia. Kami menikmati makanan halal
yang banyak tersedia di retoran Melbourne. Pun, ketika beberapa saat lalu
mendampingi beberapa staf pengajar Universitas Islam Negeri yang berkunjung
ke Australia, panitia memastikan makanan yang disajikan semuanya adalah
halal.
Itulah
sedikit perbandingan toleransi kehidupan beragama di Australia. Tidak ada
tirani mayoritas ataupun minoritas. Toleransi memang mensyaratkan saling
menghormati dari semua pihak. Terakhir, soal isu penistaan agama, memang
harus hati-hati ditangani secara hukum, yang harus berjalan fair dan tanpa
intervensi dari siapapun, tidak dari Presiden yang mendorong, ataupun tidak
pula dari unsur masyarakat manapun yang melindungi. Soal penistaan agama ini,
satu catatan penutup, saya sering merasa terganggu dengan jilbab atau peci yang
tiba-tiba menjadi pakaian bagi terdakwa kasus korupsi, misalnya. Tapi,
mungkin juga saya salah. Siapa tahu, para terdakwa itu memang sudah bertobat,
dan bukan sedang mempolitisasi agama saja supaya tidak dihukum atau divonis
ringan oleh majelis hakim.
Keep
on fighting for the better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar