Demo
dan Ritual Demokrasi
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 04 November
2016
Ada
ungkapan klasik, democracy is noisy and
restless. Demokrasi itu gaduh dan tak pernah tenang. Selalu saja ribut.
Maklum,
sejak awal yang namanya demokrasi memang dirancang untuk menampung dan
mendengarkan suara dan aspirasi yang berbeda-beda. Terlebih bagi masyarakat
Indonesia yang sangat majemuk, pilihan demokrasi paling cocok untuk
mengakomodasi pluralitas aspirasi dan kehendak dalam rangka membangun dan
mengisi kemerdekaan. Konsekuensinya, bermunculan parpol, ormas, dan lembaga
swadaya masyarakat sebagai wadah penyaluran aspirasi dan partisipasi masyarakat
untuk memajukan bangsa.
Repotnya
jika yang lebih dominan hanyalah kebebasan berekspresi, tetapi kurang
menghargai supremasi hukum dan kerja produktif, maka demokrasi di mata
masyarakat hanyalah keributan dan debat, tetapi ekonomi dan lapangan kerja
semakin susah, pendidikan mahal, ujungnya hanyalah memperoleh ijazah. Salah
satu ciri demokrasi adalah adanya keterwakilan dan partisipasi masyarakat
dalam pemerintahan. Lebih dari itu adalah kebebasan untuk mengkritik
pemerintah.
Sekarang
ini ruang dan saluran kritik rakyat terhadap pemerintah terbuka lebar, baik
melalui surat kabar, mimbar televisi, media sosial ataupun demonstrasi. Isu
yang masih sensitif adalah soal agama. Sekalipun Ahok belum sampai di meja
pengadilan, apakah dia sudah memenuhi persyaratan sebagai penista agama,
masyarakat sudah menjatuhkan hukuman bahwa dia telah menistakan Alquran
sehingga polisi harus segera mencekalnya dan memproses ke meja pengadilan dan
masuk tahanan. Namun prosesnya tentu saja tidak semudah itu karena diperlukan
proses dan tahapan yang lazim dalam dunia peradilan.
Mengamati
dinamika sosial politik yang tengah terjadi, satu hal fenomenal adalah peran
agama yang sangat signifikan sebagai alat pemersatu (faktor integratif)
ketika martabat agama dilecehkan. Para pengamat Barat sudah lama
mengingatkan, misalnya Wilfred Cantwell Smith dari Universitas Harvard, bahwa
umat Islam di seluruh dunia pasti akan marah jika Nabi Muhammad dan Alquran
dilecehkan.
Dalam
hal ini Ahok telah terpeleset membawa-bawa ayat suci Alquran untuk
kepentingan politik. Akibat dari sebuah peristiwa ucapan dalam durasi yang
amat pendek, dia mesti membayar akibat teramat besar. Yang membayar tidak
hanya dia sendiri, tetapi aparat keamanan dan masyarakat dibuatnya sibuk.
Muncul pro-kontra dalam masyarakat Indonesia. Sekali lagi, ini menunjukkan
betapa isu, simbol, dan tokoh agama telah memenuhi ruang publik.
Hari-hari
ini wacana agama yang berkaitan dengan pilkada memenuhi pemberitaan, obrolan,
diskusi, khotbah Jumat dan sebagainya. Ini kenyataan sosiologis yang tak
terbantahkan. Tapi jika isu agama mengambil dosis paling tinggi, lalu
memandang kecil pembangunan bidang ekonomi, sains, pendidikan, dan
infrastruktur, sulit bangsa ini untuk maju bersaing dengan negara-negara
lain. Dengan kata lain, agama jangan hanya menonjol sebagai ideologi dan
kekuatan fight against, tetapi juga
berperan aktif konstruktif sebagai kekuatan fight for.
Artinya
agama mesti berperan sebagai kekuatan konstruktif-produktif untuk mendukung
pembangunan peradaban, bukan semata sebagai kekuatan oposisi, fight against. Dalam ungkapan
konvensional, agama mesti punya keseimbangan agenda amar ma’ruf dan nahi munkar.
Mengajak dan memberi contoh aktif sebagai kekuatan konstruktif, baru kemudian
diikuti agenda mencegah kemungkaran. Demo hari ini merupakan ekspresi
keprihatinan sebagian umat Islam untuk menjaga martabat agama, utamanya
kemuliaan Alquran, dengan turun ke jalan, gara-gara ucapan Ahok yang dinilai
melecehkan Alquran.
Dari
segi hukum, biarlah polisi yang memproses. Demo itu merupakan hak
konstitusional warga negara yang mesti dihargai. Sementara itu pihak
kepolisian memiliki hak dan kewajiban untuk menertibkan para demonstran. Lalu
masyarakat umum pengguna jalan raya juga memiliki hak dari gangguan
demonstran jangan sampai membuat macet.
Jadi kalau tiap pihak saling menghargai hak
orang lain, demo akan berjalan meriah, tertib, dan damai. Jika ini terwujud,
kepercayaan rakyat pada parpol, polisi, dan demokrasi akan naik. Tapi jika
lepas kendali— semoga saja tidak terjadi—, harapan yang mulai tumbuh terhadap
demokrasi dan pilkada akan buyar. Kita semua yang merugi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar