Penistaan
Putu Setia ; Wartawan
Senior TEMPO
|
TEMPO.CO, 05 November
2016
Penistaan
agama dampaknya bisa besar. Agama punya ajaran yang merupakan wahyu dari
Tuhan, dengan nama apa pun Tuhan itu disebutkan. Kalau itu dinistakan, jutaan
umat akan membela. Mungkin benar Tuhan tak perlu dibela, Tuhan Maha Agung
yang tak bisa tersentuh oleh kekotoran duniawi. Tapi pengikut-Nya wajib
menjaga ke-maha-agungan Beliau.
Pemimpin
redaksi tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto, masuk bui gara-gara
"menghina Islam, menghina Nabi Muhammad". Wendo—ini kasus sudah
lama—dalam kegairahannya bercanda, membuat survei yang isinya siapa tokoh
yang paling populer. Nama Nabi Muhammad ada yang memilih dan masuk ranking
bawah. Di atasnya ada nama Arswendo. Umat Islam marah, Wendo didemo dan
ditahan, Monitor dibredel. Harga yang mahal untuk survei candaan.
Apakah
Wendo punya niat menghina? Barangkali seperti Basuki Tjahaja Purnama dalam
kasus yang paling anyar sekarang ini, tak ada niat. Namun umat Islam tak
harus mengusut ada niat atau tidak—sesuatu yang sulit juga untuk dilacak.
Ahok pun didemo besar-besaran, meski sudah minta maaf.
Saya
menduga, Wendo waktu itu, tak tahu bagaimana memposisikan Nabi Muhammad yang
begitu dimuliakan, meski ada buku yang menulis Muhamad Manusia Biasa. Tapi
dalam hal Ahok saya menduga ia tahu ayat-ayat Al-Quran yang disebutkan itu.
Ia menyebutnya dengan lancar. Patut disesalkan, kenapa Ahok menyebut-nyebut
ayat itu padahal ia bukan muslim?
Penistaan
agama akhirnya menjadi hal rumit kalau berdalih "tak punya niat
menista". Bisa benar bisa tidak. Tukul Arwana, presenter doyan bercanda,
pernah dianggap menghina umat Hindu ketika dia masuk pura dan berkoar-koar
menyebut ada hantu dan sejenisnya. Saya percaya Tukul hanya melucu dan ia tak
tahu apa-apa kalau pura itu adalah tempat ibadat umat Hindu yang disucikan.
Seperti halnya dulu—sekarang sudah berkurang—orang sering menyebut umat Hindu
menyembah patung atau menyembah berhala. Saya setuju memaafkan Tukul dengan
alasan ia tak tahu apa-apa, hanya sok berceloteh. Ketimbang main
gugat-gugatan yang pasti ada luka di kedua pihak, lebih baik diselesaikan
dengan damai. Adem rasanya.
Ketua
PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, penistaan agama tak cuma lewat ucapan,
juga tindakan atau perilaku. Saya jadi ingat bagaimana patung Buddha di atas
sebuah vihara di Tanjung Balai, Sumatera Utara, terpaksa diturunkan baru-baru
ini karena sejumlah orang menyebutkan kota itu jadi "kurang islami"
dengan adanya patung Buddha. Vihara itu punya izin resmi. Apakah ini bukan
sebuah penistaan, bagaimana mungkin memisahkan vihara dengan patung Buddha?
Syukurlah tak ada ketegangan karena pendeta Buddha setempat mengambil satu
ayat "sarva prani hitan karah" (semua makhluk berbahagia). Kalau
patung itu turun menjadikan semua orang berbahagia, ya, bukankah kedamaian
itu yang dicari dalam prilaku beragama?
Toleransi di negeri ini mutlak diperlukan
dan itu harus dilalui dengan saling mengenal perbedaan yang ada. Dalam hal
ini saya luar biasa kagum dengan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang
mengharuskan semua sekolah punya ruangan untuk tempat bersembahyang
murid-murid dari seluruh agama yang ada. Saling mengenal ini membuat murid
yang Islam tahu kalau murid Hindu tidak menyembah berhala walau di depannya
ada patung kecil, sementara murid Hindu tahu kalau murid Islam bukan mencium
lantai tetapi bersujud pada Allah. Meskipun begitu, tetap saja kita harus
lebih hati-hati mengomentari agama lain, yang tidak kita lakoni. Agamamu
agamamu, agamaku agamaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar