Tafsir
Hukum Penistaan Agama
Marwan Mas ;
Guru Besar Ilmu Hukum (Pidana)
Universitas Bosowa, Makassar
|
KORAN SINDO, 15 November
2016
Proses hukum memiliki koridornya sendiri.
Butuh waktu lantaran terkait pembuktian sehingga penyelidik dan penyidik
harus profesional, objektif, dan independen atau tidak terpengaruh pada
intervensi dari mana pun.
Penyelidik dalam menangani dugaan terjadi
tindak pidana (delik) mengumpulkan bukti permulaan yang cukup—minimal dua
alat bukti—agar dapat ditingkatkan ke penyidikan. Apakah ada bukti yang cukup
dan perkara itu secara terangbenderang termasuk tindak pidana atau bukan?
Di situlah salah satu kesulitan untuk
mempercepat penyelidikan dan penyidikan lantaran butuh waktu untuk
mengumpulkan alat bukti dengan memeriksa pelapor, saksi dan saksi korban,
ahli, serta mencari alat bukti lain. Namun, siapa pun yang cukup bukti
melakukan delik harus dibawa ke pengadilan untuk diperiksa dan diadili apakah
bersalah atau tidak.
Persoalan ini yang kadang tidak sinkron dengan
pemahaman sebagian warga masyarakat yang menghendaki suatu dugaan tindak
pidana diproses lebih cepat. Masih ada warga masyarakat dipengaruhi penyakit
lama, “tidak percaya” kepada penegakan hukum, terutama jika yang dilaporkan
itu oknum pejabat negara.
Niat dan Sengaja
Pasal yang selalu diterapkan terhadap dugaan
penistaan agama adalah Pasal 156a KUHPidana. Pasal tersebut berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga, yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ada dua aspek yang sering diperdebatkan
dalam menerapkan Pasal 156a KUH-Pidana. Pertama, mengenai “sikap batin atau
niat”.
Padahal, “niat” ada dalam diri manusia dan
tidak seorang pun mengetahui selain yang berangkutan dan Tuhan. Untuk
menemukan ada sikap batin atau niat jahat (mens rea) seseorang harus dilihat pada rangkaian ucapan dan
perbuatan yang mencocoki rumusan delik yang dilarang dalam Pasal 156a
KUH-Pidana yang disebut “perbuatan jahat (actus
reus)”.
Artinya, niat jahat (actus
reus)
ditemukan pada ucapan atau perbuatan seseorang yang dilarang dalam
undang-undang sebagai unsur yang dapat dipidana. Mengeluarkan perasaan
(ucapan) atau perbuatan yang dilarang dalam Pasal 165a (khususnya huruf-a)
KUH-Pidana terkait dengan dugaan penistaan agama adalah :”...dengan sengaja
di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada
pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan”.
Niat jahat (mens rea) terkait dengan pertanggungjawaban pidana (kemampuan
bertanggung jawab), kemudian diwujudkan dengan perbuatan jahat (actus reus) yang dapat pidana. Di
situlah terlihat ada “niat” melakukan penistaan agama melalui ucapan di muka
umum.
Apalagi 156a KUH-Pidana termasuk “delik
formil” yaitu tindak pidana di mana yang dilarang dan
diancampidanaadalahperbuatan jahat (actus reus) yang mencocoki rumusan delik.
Penistaan agama sebetulnya sudah ada beberapa putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap (yurisprudensi).
Antara lain putusan terhadap
ArswendoAtmowiloto pada 1990 (Hidayatullah.com, 11/11/2016). Arswendo membuat
polling di Tabloid Monitor tentang siapa tokoh idola menurut para pembacanya.
Hasil polling yang dirilis tabloid itu, nama Nabi Muhammad SAW berada pada
urutan ke-11. Itu yang menyulut kemarahan umat Islam yang dianggap penistaan
agama Islam sebab Nabi Muhammad SAW diyakini nabi terakhir yang difirmankan
dalam Alquran sebagai tokoh panutan bagi umat Islam.
Kasus itu dilaporkan ke polisi dengan sangkaan
penodaan atau penistaan terhadap agama Islam. Proses hukum berjalan dan salah
satu landasan alat bukti surat adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Boleh saja terdakwa menyebut tidak punya “sikap batin atau niat jahat dan
sengaja” menghina Nabi Muhammad SAW, tetapi hal itu tidak menjadi dasar
pertimbangan hakim.
Hakim melihat dan menilainya pada ucapan atau
perbuatan yang dilarang dalam Pasal 156a huruf-a KUH-Pidana sebagai perbuatan
jahat (actus reus) sehingga dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun.
Putusan itu merupakan yurisprudensi yang dapat diikuti hakim-hakim lain dalam
perkara yang sama.
Kedua, unsur “dengan sengaja di muka umum”
mengeluarkan perasaan (ucapan) yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Dalam KUH-Pidana, bahkan pengaturan hukum pidana di berbagai negara tidak
menegaskan pengertian tentang apa yang dimaksud “dengan sengaja”.
Pengertian “dengan sengaja (dolus atau opzet)”
hanya dapat ditemukan pada teori yang dikemukakan oleh para pakar hukum
pidana yang terkenal dalam buku-bukunya (Andi Zainal Abidin Farid, Hukum
Pidana I, 1995: 266). Acapkali hakim melihat makna frasa “sengaja” sebagai
maksud untukmembuatsesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau
diperintahkan oleh undangundang.
Pemahaman ini sesuai dengan makna “sengaja”
dalam hukum adat Indonesia dan hukum pidana pada negara-negara penganut
sistem hukum common law (Anglo Saxon). Dalam kepustakaan hukum pidana, secara
umum teori “kesengajaan” dibedakan atas tiga bentuk (Andi Zainal Abidin
Farid, Hukum Pidana I , 1995: 235, 294, 295, dan 332).
Pertama, sengaja sebagai niat (oogmerik),
sengaja melakukan delik yang sejak awal diniatkan dalam hati. Ini diterapkan
pada Pasal 340 KUH-Pidana mengenai pembunuhan yang direncanakan terlebih
dahulu. Kedua, sengaja sadar akan kepastian atau keharusan (zekerheidsbe
wustzijn) , sengaja melakukan delik dengan memastikan akan terjadi akibat
lain dari perbuatannya.
Misalnya, A bermaksud membunuh B dengan
tembakan senjata, tetapi di sebelah B duduk C sehingga kalau A melaksanakan
niatnya menembak B, maka C dipastikan atau harus mati juga. Sebab, untuk
membunuh B, harus menembak C terlebih dahulu. Ketiga, sengaja sadar akan
kemungkinan (dolus eventualis),
yaitu sengaja melakukan delik dengan “mengetahui atau patut dapat menduga
atau memperkirakan” akan terjadi sesuatu atas perbuatannya.
Misalnya pada contoh di atas, si A juga
“mengetahui atau patut menduga atau memperkirakan” bahwa kemungkinan besar
peluru yang ditembakkan setelah mengenai B dan C akan mengenai D. Kendati A
membayangkan kemungkinan itu diharapkan tidak terjadi, karena A berniat
membunuh B, dengan “sengaja sadar akan kemungkinan” tetap menembak, dan dalam
hatinya berkata “apa boleh buat”.
Bentuk kesengajaan yang ketiga inilah yang
digunakan terhadap dugaan penistaan agama (Islam) yang diatur pada Pasal 156a
KUH-Pidana. Sebab, seharusnya orang yang mengeluarkan perkataan, pidato, atau
perbuatan di tempat umum “mengetahui atau patut dapat menduga atau
memperkirakan” akan menimbulkan permusuhan atau penodaan terhadap suatu agama
yang mengganggu ketertiban umum.
Malah penyidik dapat pula menerapkan Pasal 156
KUHPidana yang mengatur penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan
rakyat Indonesia dengan ancaman pidana 4 (empat) tahun penjara. Itu menjadi
dasar bagi penuntut umum menyusun “surat dakwaan alternatif”, yaitu dakwaan
yang dirumuskan antara satu dakwaan dan dakwaan lain yang saling
mengecualikan.
Dakwaan ini memberi pilihan bagi hakim
mengenai dakwaan mana yang harus dipertanggungjawabkan oleh terdakwa. Dakwaan
alternatif digunakan terhadap dugaan tindak pidana yang mempunyai kaitan atau
persinggungan atas dua atau lebih pasal yang berkaitan corak dan ciri
kejahatannya.
Rumusan Pasal 156 KUH-Pidana tidak
mempersoalkan “niat ataupun sengaja”, melainkan unsur “menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan
rakyat Indonesia”. Tentunya diakui keberadaan hak konstitusionalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar