Dia
Telah Memilih
Kurnia JR ;
Sastrawan
|
KOMPAS, 16 November
2016
Hampir berulang setiap tahun. Tiap kali ada
wacana mengusulkan nama tokoh untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, nama
Soeharto muncul seperti pembonceng setia di jok belakang.
Orang-orang pun ribut. Ada yang rikuh, ada
yang emosional. Ada pula yang menunggangi situasi demi kepentingan pribadi.
Ini memprihatinkan. Seakan kita sebagai bangsa
tidak mampu menghargai jasa pemimpin. Kita pun seperti tak rela membiarkan
yang bersangkutan damai di alam sana dengan martabat tersendiri selaku
pribadi yang telah rampung masa hayatnya. Kita saksikan sekelompok orang
menggotong koper yang diklaim berisi berkas jasa-jasanya bagi negara,
sedangkan kelompok lain menyorongkan koper yang disarati berkas
kesalahan-kesalahannya.
Dilema yang berulang
Khusus mengenai Soeharto, soal pemberian gelar
tersebut bagai tanpa ujung. Setiap presiden baru selalu dihadapkan pada
dilema ini. Sejumlah faktor turut merumitkan masalah, terutama faktor politis
yang menyangkut kekuasaan, di luar faktor kesejarahan dan hukum yang justru
merupakan elemen kunci.
Semasa Soeharto berkuasa, setiap tahun para
siswa digiring ke bioskop untuk menonton film Pengkhianatan G30S/PKI (1982)
yang mengisahkan peran heroik sang jenderal menumpas komplotan pembunuh para
perwira Angkatan Darat. Di samping itu, ada film Janur Kuning (1979) tentang
Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta di bawah pimpinan Komandan Brigade
10 Wehrkreise III Letkol Soeharto.
Kedua film itu mengusung dua tema besar dalam
sejarah yang menyediakan posisi bagi klaim kepahlawanan Soeharto, tetapi
keduanya memiliki kontroversi hingga saat ini. Bahkan tidak sedikit koreksi
sejarah yang mengungkap realitas sebaliknya. Pada aksi Serangan Umum, klaim Soeharto
sebagai penggagas serangan dibantah antara lain dalam Memoar Oei Tjoe Tat
(1995) dan biografi Sultan Hamengku Buwono IX (1982).
Surut ke era kolonial Jepang, artikel David
Jenkins ”Soeharto and the Japanese
Occupation” (Indonesia 88, Oktober 2009) terasa sinis atas sejarah hidup
Soeharto pada zaman tersebut. Ketika rakyat hidup sangat sengsara, dia justru
tak berkekurangan berkat gaji sebagai anggota KNIL pada zaman Belanda dan
berkat gaji sebagai polisi dan kemudian sebagai anggota Peta pada zaman Jepang.
Berbeda dengan penggambaran Suprijadi sebagai
pemuda eksentrik, pemimpin pemberontakan Peta pada 14 Februari 1945, Jenkins
menguliti pengakuan Soeharto yang mengungkap fakta sebaliknya. Mula-mula dia
mengutip Soeharto dalam Nihon Keizai Shimbun, 6 Januari 1998, tentang
empatinya menyaksikan derita bangsanya: ”My
feelings towards the Japanese army were gradually changing. Most of us had
welcomed them as our Asian big brothers, who, we thought, would help us
attain independence.” Karena itu, Soeharto jadi merasa diawasi dan kurang
dipercaya oleh Jepang.
Tapi tentang hal itu, Jenkins mengungkap fakta
sebaliknya. Setelah pemberontakan Peta di bawah pimpinan Suprijadi,
Soehartolah yang dipercaya melatih kembali pasukan yang memberontak itu di
Gunung Wilis.
Ketika Soekarno memproklamasikan kemerdekaan
RI, Soeharto tak tahu apa-apa. Pada 19 Agustus, beberapa perwira Jepang
datang untuk mengabarkan pembubaran Peta. Gajinya dibayar kontan enam bulan.
Pendek kata, kehidupannya relatif terjamin hingga Jepang angkat kaki dari
Nusantara.
Hingga hari ini, jabatannya sebagai presiden,
yang berawal dari Surat Perintah 11 Maret alias Supersemar, masih
kontroversial karena surat itu lenyap. Kendati ia berhasil mengangkat negara
dari reruntuk ekonomi, tebusannya luar biasa mahal, yang jadi beban material,
moral, kultural, dan spiritual bangsa ini.
Banyak penggambaran karikatural betapa dia,
pada langkah pertama, menghidangkan sumber daya alam negeri ini di meja makan
untuk disantap berbagai perusahaan multinasional Barat dengan pembagian laba
yang tidak menguntungkan kita. Makna kemakmuran dibaca paralel dengan
stabilitas politik: artinya suara rakyat harus monolitis. Stabilitas itu
berarti kemapanan kekuasaannya dan hegemoni kerabat beserta kroninya atas
bangunan politik dan ekonomi.
Jerit ketidakpuasan di berbagai pelosok,
bahkan dari petani yang kelaparan, lazim ditanggapi dengan kekerasan. Maka,
kasus-kasus pelanggaran HAM terjadi: tragedi Talangsari, Tanjung Priok, DOM
di Aceh, dan lain-lain yang menjadi catatan hitam perjalanan hidup bangsa.
Berbeda dengan Lee Kuan Yew yang membangun
Singapura dengan kedisiplinan moral, tak sekadar memberi makan rakyat, rezim
Orde Baru mengondisikan kebobrokan moral dengan praktik koruptif di segala
lini birokrasi serupa borok yang menggerogoti bangsa hingga kini.
Setelah Orde Baru jatuh pada 21 Mei 1998,
Soeharto tak pernah bisa diadili. Hingga ajal datang, praktis Soeharto tidak
pernah memanfaatkan sidang pengadilan untuk menyatakan klarifikasi dan
bantahan yang dikuatkan bukti-bukti atas berbagai sangkaan itu.
Rongga gelap
Demikianlah, kita dapat menafsirkan bahwa ia
telah memilih membiarkan rongga gelap yang penuh sesak dengan dokumen tuduhan
dilampiri segunung bukti. Itu semua tanpa sanggahan atau penjelasan apa pun
untuk memudahkan bangsanya mendefinisikan sosoknya secara saksama.
Gelar Pahlawan Nasional bukan momen anak
memandang ayahnya dengan lagak memaafkan tanpa penjelasan atas kesalahan yang
dituduhkan. Terlebih kalau semasa hidupnya sang ayah terlalu koppig buat membicarakan
semua masalah antara dia dan anaknya.
Gelar kepahlawanan adalah penghormatan yang
agung dari Ibu Pertiwi kepada putra terbaik. Adapun untuk Soeharto, para
sejarawan masih harus bekerja keras menelusuri jutaan data dan fakta guna
menemukan kebenaran untuk menempatkan dirinya.
Kasus-kasus yang terbengkalai pun tak bisa
dilupakan begitu saja. Betapapun sulitnya mengurai benang kusut yang menjerat
kaki-kaki kursi kekuasaan, kita tak bisa lari dari tugas dan tanggung jawab
ini. Pada saatnya, kita berharap dapat menilai Soeharto secara proporsional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar