Trump
adalah Kita
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 16 November
2016
Ada satu kutipan lama yang saat ini banyak
diingat kembali dari Newton Lee penulis buku Disney Stories: Getting Digital yang mengatakan bahwa ada
“...garis tipis antara kebebasan berpendapat (free speech) dan pendapat yang penuh kebencian (hate speech). Free speech mendorong perdebatan sementara hate speech mendorong kekerasan.”
Kalimat itu mengingatkan kita bahwa dalam
zaman yang serbadigital dan informasi yang mudah dijangkau, masyarakat
khususnya para politisi harus berhati-hati dalam menggunakan haknya untuk
berpendapat karena bila kebencian yang kita ucapkan maka kekerasan yang akan
kita dapatkan.
Kutipan tersebut relevan ketika
pascaterpilihnya Presiden Amerika Serikat ke 45 Donald Trump, secara sengaja
maupun tidak, politik Amerika Serikat (AS) justru makin ramai dibicarakan.
Ini menarik untuk direnungkan di dalam negeri. Perbedaan antara kita dan
Amerika Serikat adalah bahwa satu letupan sosial di Indonesia mungkin hanya
berdampak sedikit di negara sekitarnya.
Namun apabila itu terjadi di AS maka dampaknya
bisa meluas ke negaranegara yang lain, bahkan di luar kawasan. Saya yang
kebetulan punya kesempatan berkunjung ke negara tetangga dan memiliki
jaringan kawan di kawasan dapat menangkap beragam suasana batin. Mereka yang
biasanya tidak peduli hubungan internasional pun kini seakan punya amunisi
untuk bicara banyak tentang nasib diri dan bangsanya dalam konteks
terpilihnya Donald Trump.
Beberapa hal menarik untuk dicatat. Pertama
terkait dengan apakah yang akan terjadi di Amerika Serikat akan memengaruhi
hidup kita di belahan bumi yang lain ini. Secara politik sebenarnya
Indonesia, seperti juga negara-negara lain yang berdaulat, punya banyak
alasan subjektif untuk tidak terpengaruh dengan suasana yang berkembang dan
pilihan kebijakan di AS.
Kita tidak perlu ikut hanyut memihak kubu
Trump atau non-Trump. Kita tidak perlu larut dalam ketakutan akan
berkembangnya sektarianisme di Amerika Serikat. Bahkan tidak ada keharusan
untuk bersimpati pada kelompok-kelompok yang bersitegang akibat pilihan calon
presidennya di masa pemilu yang lalu.
Namun secara psikologis, proses demokrasi di
Amerika Serikat yang terbuka dan diliput luas oleh media massa telah
membangun kedekatan emosional tertentu bagi mereka yang mengikuti
perkembangan sosial politik di Negeri Paman Sam. Hal ini menjadi penting
untuk disampaikan karena penting juga bagi Indonesia sebagai “orang luar”
untuk dapat berjarak dalam memantau perkembangan sosial-politik dan
sosial-ekonomi di AS.
Jarak dalam melihat suatu kebijakan adalah
alat yang baik untuk membuat perencanaan yang lebih matang. Dalam konteks
pengambilan kebijakan, jaraklah yang membuat seseorang memiliki helicopter
view tentang suatu masalah. Tanpa jarak yang cukup, kita menjadi terlalu
fokus pada personalita masalah tersebut, bahkan parahnya akan terlibat dalam
suasana like and dislike alias suasana berpihak yang tidak dilandasi pada
pertimbangan objektif.
Demokrasi selalu berevolusi. Tantangan
terbesar demokrasi masa kini adalah akses pada jaringan informasi yang meluas
sehingga siapa pun dan kapan pun bisa ikut urun bicara dalam forum-forum maya
yang bisa dilihat dan disebarluaskan oleh siapa pun. Padahal di sisi lain,
demokrasi selalu membutuhkan substansi (content).
Seseorang sesungguhnya hanya omong kosong saja
bila meneriakkan keberpihakan pada kelompok atau isu tertentu padahal cara
mencapai tujuan tersebut tidak memikirkan konteks sosial yang utuh. Di
sinilah terjadi kesenjangan yang besar. Formulasi cara-cara mencapai tujuan
dalam konteks sosial yang utuh selalu membutuhkan waktu olah yang cukup,
membutuhkan konsultasi sosial yang memadai, juga kerja sama antarlembaga dan
kelompok masyarakat.
Proses ini hampir selalu nihil dibahas dalam
arus informasi dalam ruang-ruang demokrasi masa kini Kasus Amerika Serikat
pasca- Trump sebenarnya menarik untuk mengenali kelemahan arah evolusi
demokrasi masa kini tersebut. Kata “love“ alias kasih sayang sekarang menjadi
tag-line bagi kelompok yang anti Trump untuk memprotes pilihan kelompok yang
pro-Trump.
Bagi kelompok yang pro-Trump, hal ini dianggap
menyinggung karena mereka mengatakan bahwa pilihan mereka pada Trump bukan
terkait urusan kasih sayang tetapi terkait efektivitas menyelesaikan masalah
sosial. Sayangnya tidak ada upaya membangun konsensus tentang apa sebenarnya
masalah sosial yang dianggap mengganggu di AS.
Masing-masing masih dalam tahap menegasikan
masalah itu sendiri sehingga rasa antipati antar kelompok saja yang justru
berkembang. Demokrasi menghargai kebebasan berekspresi, tetapi yang juga
tidak boleh dilupakan adalah bahwa demokrasi menghargai proses dialog
mencapai suatu kesepakatan arah kebijakan.
Nyaris tidak pernah terjadi dalam sejarah
pengambilan kebijakan di negara mana pun bahwa solusi tercapai semata dengan
menajamkan perbedaan posisi antar kelompok. Saling menyuarakan posisi memang
perlu tetapi proses membangun arah bersama itu yang lebih penting dalam
mencapai tujuan tertentu.
Sektarianisme adalah salah satu wujud
kelemahan demokrasi yang kini justru menguat di Amerika Serikat. Selayaknya
kita di Indonesia mewaspadai bahwa kelemahan itu dengan mudah menular ke
dalam cara kita berdemokrasi. Kesulitan menggalang massa pada saat kampanye
hendaknya tidak membuat para pemimpin lupa bahwa hakikat dari politik adalah
meyakinkan pihak-pihak yang tidak sepaham untuk bergerak bersama-sama.
Katakata yang saling merendahkan dan
mengucilkan justru tak akan membuahkan hasil yang bermanfaat. Kedua adalah
bahwa terpilihnya Trump mengingatkan kita akan kemungkinan menguatnya
suara-suara yang tidak puas terhadap cara-cara politisi menyelesaikan
masalah. Ketika pemilih punya kesempatan untuk unjuk keinginan, saat itu pula
bisa muncul tokoh “baru” yang berpotensi mengubah cara-cara lama.
Hal ekonomi khususnya harapan akan penghidupan
yang lebih layak dengan mudah menggerakkan pemilih, khususnya mereka yang
kurang beruntung, untuk mencari alternatif pemimpin. Dalam konteks relasi
bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat, ketidakpuasan kalangan
pemilih di Amerika Serikat adalah peluang bagi Indonesia untuk menawarkan
bentuk-bentuk kerja sama baru yang berbeda dari biasanya.
Kecenderungan Donald Trump untuk keluar dari
kebiasaan yang mudah ditebak menjadi kesempatan untuk menawarkan bentukbentuk
dan bidang kerja sama baru yang saling menguntungkan. Bukan mustahil dari
sisi Indonesia juga lebih menguntungkan bila dibuka jalan bagi tokoh-tokoh
baru yang lebih cocok cara dan ide-idenya dalam merespons suara-suara pemilih
yang kurang puas.
Selain itu, ketidakpastian ekonomi akibat
pasar yang menunggu pilihan kebijakan Trump adalah peluang bagi Indonesia
untuk mengonsolidasi relasi bilateral, regional dan multilateral yang dapat
mengimbangi Amerika Serikat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar