Sistem
Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas
dan
Putusan MK
Ramlan Surbakti ; Guru
Besar Perbandingan Politik FISIP Universitas Airlangga
|
MEDIA INDONESIA,
07 November 2016
DALAM
desain surat suara pemilu anggota DPR dan DPRD dalam RUU tentang
Penyelenggaraan Pemilu, yang diajukan pemerintah kepada DPR, tidak hanya
terdapat nomor urut dan tanda gambar partai politik, tetapi juga nomor urut
dan nama calon. Akan tetapi pemilih diminta mencoblos satu nomor urut partai
atau tanda gambar partai, sedangkan calon terpilih ditetapkan berdasarkan
nomor urut calon dalam daftar calon tetap partai yang bersangkutan.
Inilah
yang disebut sebagai sistem pemilu proporsional terbuka terbatas. Sejumlah
pihak menilai hal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
yang mengharuskan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Dalam
beberapa forum diskusi, mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan putusan MK pada
2009 tersebut sesungguhnya tidak mengatur sistem pemilu anggota DPR dan DPRD.
Yang dilakukan MK dalam putusan tersebut tidak lain menjamin konsistensi
antara model penyuaraan dengan tata cara penetapan calon terpilih: bila suara
diberikan kepada calon, penetapan calon terpilih seharusnya bukan berdasarkan
nomor urut calon, melainkan harus berdasarkan suara terbanyak.
Putusan
MK diajukan untuk merespons permohonan sejumlah warga negara terhadap
ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 yang pada dasarnya mengatur kursi yang
diperoleh suatu parpol akan diberikan kepada calon yang menempati nomor urut
kecil, walaupun jumlah suara yang diperolehnya lebih rendah daripada jumlah
suara yang dicapai calon lain. Itu disebabkan calon lain tersebut tidak
mencapai jumlah suara sah sekurang-kurangnya 30% dari jumlah suara sah partai
dan disebabkan menempati nomor urut calon yang lebih tinggi.
Rujukan
konstitusional kedaulatan rakyat (demokrasi) di Indonesia ialah Pasal 1 ayat
(2) UUD 1945 yang berbunyi, 'Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar'. Yang dimaksud dengan
kedaulatan rakyat di Indonesia ialah sebagaimana diatur dalam UUD 1945, bukan
berdasarkan teori atau pemikiran politik seseorang dalam literatur ilmu
politik atau ilmu hukum.
Akan
tetapi, belum semua aspek kedaulatan rakyat diatur dalam UUD 1945. UUD 1945
antara lain sudah mengatur pembagian kekuasaan negara yang seimbang dan
saling mengontrol (check and balance in
distribution of power), anggota DPR, DPD, DPRD, dan presiden dan wakil
presiden dipilih melalui pemilu, dan UU yang dibuat DPR dan presiden dapat
dibatalkan MK bila bertentangan dengan UUD. Akan tetapi, UUD 1945 belum
mengatur sistem pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD, dan sistem
pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, setidak-tidaknya belum
secara lengkap.
Sistem
pemilu
Sistem
pemilu merupakan prosedur konversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara
negara (presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD
Provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota). Untuk dapat mengonversi suara pemilih
menjadi kursi penyelenggara negara, sekurang-kurangnya empat unsur sistem
pemilu harus tersedia. Keempat unsur itu ialah besaran daerah pemilihan
(lingkup daerah pemilihan, dan jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan),
peserta pemilu dan pola pencalonan, model penyuaraan (balloting), dan formula
pemilihan dan/atau tata cara penentuan calon terpilih.
Unsur
pertama mengatur dapil tempat kursi diperebutkan dan jumlah kursi yang
mewakili suatu dapil. Unsur kedua merujuk pada pihak yang bersaing
mendapatkan kepercayaan pemilih untuk mendapatkan kursi tersebut, dan bila
pihak yang bersaing itu institusi seperti parpol, harus pula jelas pola
pencalonan untuk menentukan siapa yang mewakili institusi tersebut. Unsur
ketiga menggambarkan bagaimana pemilih memberikan suara; memilih partai atau
calon, memilih salah satu atau merangking pilihan, menggunakan surat suara
ataukah perangkat elektronik.
Unsur
keempat merujuk pada metode mengonversi suara sah yang diperoleh peserta
pemilu menjadi kursi, dan/atau penentuan calon terpilih. Keempat unsur sistem
pemilu tersebut merupakan unsur mutlak karena tanpa salah satu dari keempat
unsur ini, unsur yang ada tidak akan mampu mengonversi suara pemilih menjadi
kursi. Keempat unsur tersebut juga bersifat sekuensial dalam arti unsur pertama
menentukan unsur kedua, unsur ketiga harus sesuai dengan unsur pertama dan
kedua, dan unsur keempat harus pula sejalan dengan unsur pertama, kedua, dan
ketiga.
Keempat
unsur itu di Indonesia disebut sebagai tahapan. Untuk pemilu anggota DPR dan
DPRD, UUD 1945 baru menetapkan satu unsur sistem pemilu, yaitu parpol sebagai
peserta pemilu. Akan tetapi, unsur sistem pemilu lainnya dalam taraf tertentu
dapat disimpulkan dari unsur yang sudah ditentukan. Yang perlu ditegaskan
sejak awal ialah perbedaan Indonesia dengan negara lain dalam penentuan
peserta pemilu anggota DPR dan DPRD.
UUD
Jerman, Brasil, dan kebanyakan negara Amerika Latin tidak menetapkan secara
spesifik siapa atau apa yang menjadi peserta pemilu anggota DPR ataupun
senat. Undang-undanglah yang mengatur peserta pemilu dan pola pencalonannya.
UUD 1945 secara tegas menetapkan parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR
dan DPRD. Karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengatur pola
pencalonan pemilu anggota DPR dan DPRD tidaklah sebebas di negara yang
UUD-nya tidak menentukan siapa/apa yang menjadi peserta pemilu anggota DPR
dan DPRD.
Bila
parpol ditetapkan sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD, dapat
disimpulkan jumlah kursi yang mewakili dapil niscaya lebih dari satu kursi (multi-members
constituency). Bila UUD 1945 menghendaki satu kursi per dapil, peserta pemilu
anggota DPR dan DPRD niscaya bukan parpol, melainkan calon yang diajukan
partai atau calon independen.
Walaupun
demikian, belum diketahui apakah jumlah kursi yang mewakili dapil itu
termasuk dapil dengan jumlah wakil kecil, dapil dengan jumlah wakil sedang,
ataukah dapil dengan jumlah wakil besar.
Juga
belum dapat disimpulkan lingkup dapil pemilu anggota DPR dan DPRD; apakah
wilayah administrasi pemerintahan ataukah penduduk dalam jumlah tertentu,
atau gabungan keduanya. UUD 1945 membedakan tiga macam peserta pemilu, yaitu
pasangan capres dan wapres yang diajukan parpol atau gabungan parpol untuk
pemilu presiden, parpol untuk memilih anggota DPR dan DPRD, dan perseorangan
untuk pemilu anggota DPD.
Peran
parpol dalam tiga macam pemilu di Indonesia bervariasi sesuai dengan status
partai; terbesar dalam pemilu anggota DPR dan DPRD karena sebagai peserta
pemilu, terbesar kedua dalam pemil u presiden karena mengusulkan, dan peran
terkecil dalam pemilu anggota DPD karena anggotanya boleh maju atas nama
pribadi. Karena UUD 1945 menganut demokrasi perwakilan (sila keempat
Pancasila), UUD 1945 menugasi parpol sebagai penggerak demokrasi perwakilan
(DPR dan DPRD).
Sebagai
penggerak demokrasi perwakilan, parpol sebagai peserta pemilu menyiapkan
calon (kaderisasi calon pemimpin bangsa) dan menawarkannya pada pemilu, dan
menyiapkan rencana kebijakan publik dalam berbagai isu pemerintahan dan
menawarkannya dalam pemilu. Karena itu, bila parpol sebagai peserta pemilu
yang bersaing dalam meyakinkan pemilih dengan menawarkan rencana kebijakan
publik dan daftar calon untuk mendapatkan simpati dan kepercayaan pemilih,
sudah seharusnya pemilih diminta memberikan suara kepada salah satu parpol.
Sangatlah
janggal dan tidak masuk akal bila dalam pemilu presiden, pemilih diminta
mencoblos salah satu parpol yang mengusulkan pasangan capres dan wapres.
Formula pemilihan untuk pemilu anggota DPR dan DPRD juga belum ditentukan
dalam UUD 1945. Akan tetapi, bila peserta pemilu anggota DPR dan DPRD ialah
parpol, jumlah kursi yang diperebutkan niscaya lebih dari satu kursi per
dapil. Bila kesimpulan itu benar, formula pemilihan untuk pemilu anggota DPR
dan DPRD tidak mungkin mayoritarian (suara terbanyak), tetapi niscaya
proporsional.
Karena
itu, formula/rumus membagi kursi dapil kepada peserta pemilu tidak bisa lain
selain proporsional. Formula itu menghendaki pembagian kursi dapil kepada
peserta pemilu proporsional dengan jumlah suara sah yang dicapai setiap
peserta pemilu. Akan tetapi, belum dapat disimpulkan metode apa yang akan
digunakan untuk membagi kursi dapil kepada peserta pemilu, apakah metode
kuota ataukah metode divisor.
Putusan
MK 2009
Putusan
MK tentang Pasal 214 UU 10/2008 (yang mengatur tata cara penentuan calon
terpilih) tidak merujuk pada ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, yang
menetapkan parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD, dalam
pertimbangan hukumnya. Sebagaimana sudah dikemukakan, status parpol sebagai
peserta pemilu memiliki implikasi antara lain pada pola pencalonan dan
penentuan calon pemangku kursi partai.
Bila
putusan MK perihal penetapan calon terpilih dimaksudkan untuk menjamin
konsistensi antara model penyuaraan dengan formula pemilihan, khususnya penentuan
calon terpilih, putusan MK tersebut justru menciptakan ketidakkonsistenan
baru, yaitu peserta pemilu dan pola pencalonan tidak konsisten dengan tata
cara penetapan calon terpilih. Pola pencalonan yang ditetapkan baik dalam
Pemilu 2009 maupun Pemilu 2014 bukanlah pola pencalonan terbuka, melainkan
daftar partai (tertutup).
Putusan
MK tersebut tidak menyangkut pola pencalonan, tetapi menyangkut penetapan
calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Bila pola pencalonan berdasarkan
daftar partai, mengapa MK menetapkan penentuan calon terpilih berdasarkan
suara terbanyak? Bila MK berperan hanya 'menyatakan UU atau pasal tertentu
dalam UU tidak lagi memiliki kekuatan hukum karena bertentangan dengan pasal
tertentu dalam UUD' (negative
legislator), mengapa MK berperan sebagai pembuat undang-undang (positive legislator) dengan menawarkan
pengganti ketentuan yang dibatalkan?
Dengan
demikian, yang seharusnya diikuti pembuat undang-undang bukan penentuan calon
terpilih berdasarkan suara terbanyak, melainkan 'tidak lagi menggunakan tata
cara penentuan calon terpilih campuran antara nomor urut calon dengan
berdasarkan jumlah perolehan suara'. Itulah yang dilakukan pemerintah dalam
RUU Penyelenggaraan Pemilu.
Kelemahan
lain dari putusan MK tersebut ialah istilah penentuan calon terpilih
berdasarkan suara terbanyak.
Istilah
calon terpilih tidak tepat untuk anggota DPR dan DPRD karena dua hal; kursi
DPR dan DPRD itu merupakan milik partai (sesuai dengan formula proporsional),
dan anggota DPR dan DPRD dinyatakan terpilih bukan karena mencapai BPP,
melainkan karena mencapai jumlah suara yang lebih banyak daripada yang
dicapai calon lain. Karena itu, istilah yang lebih tepat ialah calon pemangku
kursi partai. Itulah sebabnya partai dapat memberhentikan anggota DPR dan DPRD.
Istilah
'suara terbanyak' (majority) tidak tepat untuk konteks pemilu anggota DPR dan
DPRD di Indonesia yang memiliki dapil berwakil banyak. Istilah suara
terbanyak merujuk pada satu orang (yang mencapai suara terbanyak hanya satu
orang). Dalam pemilu anggota DPR dan DPRD sangat mungkin suatu partai
berhasil mencapai lebih dari satu kursi di suatu dapil. Karena itu, istilah
yang tepat ialah suara yang lebih banyak (plurality).
Kelemahan
sistem pemilu proporsional terbuka terbatas yang diajukan pemerintah bukan
pada pemberian suara kepada partai atau penentuan calon pemangku kursi partai
berdasarkan nomor urut calon, melainkan karena proses penentuan calon tidak
terbuka dan tidak demokratis. Proses penentuan calon dalam RUU memang
disebutkan harus terbuka dan demokratis sebagaimana diatur dalam AD dan ART
partai.
Akan tetapi, 'kedaulatan parpol berada di
tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART' yang dijabarkan dalam
pasal yang sama, 'anggota partai politik mempunyai hak dalam menentukan
kebijakan serta hak memilih dan dipilih' yang diatur dalam Pasal 15 UU No
2/2008 dialihkan kepada pengurus dalam AD dan ART partai. Agar sistem pemilu
anggota DPR dan DPRD memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, ketentuan
tentang proses penentuan daftar calon yang bersifat terbuka dan demokratis
harus diatur secara rinci dalam UU Pemilu.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar