Menggugat
Kesadaran Islam Politik Indonesia
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
07 November 2016
Agama
itu menerangi, bukan membenci.
Agama
itu mengajak, bukan menyepak.
Agama
itu rahmat, bukan kebencian.
Agama
itu tidak hanya teriak Allahu Akbar di pinggir jalan.
Jangan
lihat jenggotnya.
Jangan
lihat jubahnya.
Jangan
lihat Allahu Akbarnya.
Tapi
lihat perilakunya.
KUTIPAN
puisi anggun dari KH Mustafa Bisri ini seperti ingin mengingatkan kita semua,
bahwa sebagai mayoritas penduduk negeri ini, umat Islam memiliki tugas dan
tanggung jawab yang besar dalam menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.
Indonesia yang sangat beragam etnik, budaya, tradisi, dan agama ini harus
dipandang sebagai rahmat dan barokah, agar tirani mayoritas tidak merusak
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana telah disepakati
dalam Pancasila. Islam Indonesia harus menunjukkan keramahan, bukan kemarahan
jika merespons setiap peristiwa apa saja secara kritis dan dewasa.
Demonstrasi
4 November lalu seperti ingin menunjukkan bangkitkan kesadaran politik Islam
Indonesia, namun visa dan tujuan yang hendak dicapai cenderung ingin instan
dan tidak memercayai proses. Belajar dari kekelaman Sejarah politik Islam
tidaklah lurus melainkan penuh dengan dinamika yang secara faktual bahkan
berdarah-darah. Karena itu ketika ingin mencapai tujuan perjuangan, Islam
politik Indonesia harus beriktibar dari kesalahan masa lalu yang selalu
mengedepankan ego dan kepentingan kelompok masing-masing.
Karena
itu, memercayai proses melalui pendidikan yang baik adalah tugas utama
mayoritas Islam Indonesia jika ingin diakui secara politik. Mengapa penting
memercayai proses? Begitulah hakikat pendidikan yang seharusnya dijadikan
pegangan ummat Islam sebagai mayoritas. Kita bisa melihat, bahwa sepeninggal
Rasulullah, gambaran kehidupan kaum muslimin yang penuh dengan kedamaian,
persaudaraan dan kasih sayang seperti sirna dan lenyap ditelan bumi. Dari
waktu ke waktu pertikaian demi pertikaian terus terjadi.
Bahkan
tepat di hari Rasul Allah wafat, orang-orang berkumpul di Saqifah Bani
Saidah, di situlah awal perselisihan umat Islam yang terbesar dimulai.
Kekhilafahan pertama dipimpin Abu Bakar Shidiq ra, yang tidak pernah sepi
dari pertikaian dan pertumpahan darah, bukan konflik antara muslim dan yahudi
atau nasrani, tapi antara kelompok muslim dengan muslim. Khalid bin Walid
memenggal kepala Malik bin Nuwairah, di mana penyebabnya karena Malik dituduh
enggan menyerahkan zakat kepada pemerintah yang sah dan hendak
membagi-bagikan zakat itu di kalangannya sendiri.
Umar
tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Khalid, tetapi Abu Bakar tetap
memaafkan Khalid. Ketika terjadinya pembantaian terhadap kelompok pengikut
Nabi palsu, mungkin bisa dianggap perselisihan eksternal, tapi terjadinya
peristiwa pembakaran mesjid-mesjid oleh pasukan penguasa terhadap kelompok
orang-orang yang dituduh telah murtad atau menyimpang dari agama, tidak bisa
dianggap sebagai konflik eskternal. Itu merupakan pertikaian sesama kaum
muslimin.
Belum
lagi dengan perselisihan tanah fadak yang terkenal itu antara Khalifah Abu
Bakar dan Fatimah Az-zahra. Terlepas dari berbagai sudut pandang dan
penilaian tentang perselisihan tanah fadaq tersebut, faktanya tidak ada satu
kelompok atau mazhab yang menyangkal terjadinya perselisihan tersebut. Bagi
tradisi pendidikan pesantren di Indonesia, rasa-rasanya tiada zaman yang
lebih menantang dari zaman sekarang ini, saat polarisasi kehidupan umat Islam
Indonesia ditandai dengan begitu banyak masalah.
Beberapa
kejadian terakhir di Indonesia patut membuat kita untuk berkaca, introspeksi,
dan mengevaluasi apa, siapa, dan ke mana sebenarnya kita akan menuju. Karena
itu sudah saatnya umat Islam Indonesia bisa belajar dari tradisi politik
Islam yang kelam itu untuk mengubah cara pandang yang lebih relevan dan
toleran, apalagi konteks hari ini Islam Indonesia merupakan kelompok
mayoritas yang tidak hanya di Indonesia, tetapi juga terbesar populasinya di
dunia.
Mengembalikan
kesadaran kritis
Menurut
hemat penulis, daripada energi dan tenaga mayoritas dihabiskan untuk berdebat
di jalanan dengan demonstrasi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol, umat
Islam Indonesia perlu mengembalikan kesadaran politik mereka melalui
pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan yang baik dan mengajarkan penghormatan
dan toleransi. Lembaga pendidikan Islam saat ini harus memiliki kesadaran
yang ditandai setidaknya dengan empat ciri; 1) kritis, 2) memberi dan
mendatangkan energi, 3) menciptakan, dan 4) menyembuhkan.
Tanpa
kesadaran dengan ciri-ciri ini, umat Islam akan terus tertinggal dan lembaga
pendidikan Islam akan menjadi suatu yang steril, layu, dan tak memiliki
kontribusi yang besar terhadap bangsa dan negara. Kesadaran kritis dalam
lingkungan pendidikan Islam bertugas menyuburkan dan mempertahankan kesadaran
dominan dalam budaya keagamaan di Indonesia yang cenderung sarat kepentingan,
tunduk pada etos konsumerisme, menopang tatanan yang ada, atau malahan
mengambil keuntungan darinya.
Kesadaran
kritis diperlukan dalam rangka membebaskan umat Islam dan sistem teologinya
dari lansekap pertarungan kekuasaan politik yang tidak bertanggung jawab dan
sistem ekonomi yang menjinakkan dan menundukkan kaum fakir dan miskin.
Pendidikan politik Islam juga perlu dikelola secara modern dan terbuka. Hal
itu agar tidak terkesan bahwa Islam kurang peduli dengan pendidikan yang
terbuka dan toleran dan memiliki pandangan keagamaan yang statis dan
terkooptasi. Sehingga ke depannya lembaga pendidikan Islam dapat melahirkan
kembali anak-anak yang memiliki jiwa kesatria, taat, dan menjadi sumber
energi yang memungkinkan umat bergerak maju menuju zaman dan situasi yang
lebih baik.
Artinya,
kita harus selalu kritis dalam menyikapi realitas sosial-keagamaan yang ada,
sehingga berujung pada tumbuhnya harapan dan arah baru menuju masa depan yang
ditandai dengan tatanan sosial yang egaliter dan berkeadilan. Selanjutnya,
kita harus selalu memperbaharui kapasitas menciptakan, yaitu kemampuan
mengidentifikasi masalah, isu, dan keprihatinan yang melanda kelangsungan
hidup umat manusia dan terlibat aktif menemukan jawaban terhadapnya.
Kemudian, jawaban tersebut diterapkan dengan kreatif untuk mencapai hasil
seoptimal mungkin, tetapi tetap diperlakukan sebagai sesuatu yang tentatif.
Hasil
itu dianggap tentatif karena dapat diuji ulang dan ditinjau kembali sehingga,
dengan demikian, menjadi awal siklus penciptaan selanjutnya. Lebih lanjut
lagi, kapasitas menciptakan memerlukan pendamping dan pembimbing. Karena itu
isu tentang pentingnya capacity
building bagi para pengelola pondok pesantren terus mendapat perhatian
Kementerian Agama. Orang-orang berkemampuan khusus seperti al-maghfurlah Kiai
Hasan Asy'ari dahulu ditempa sebuah kebutuhan khusus sehingga menimbulkan
semangat berlipat ganda dalam menuntut ilmu.
Kita
tentu membutuhkan suasana pesantren yang dapat mengembalikan dan menumbuhkan
spirit santrinya persis sama seperti yang pernah dialami para pendahulu kita.
Oleh sebab itu, umat Islam Indonesia harus memiliki kesadaran politik yang
benar melalui lansekap pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang profesional,
yang selalu berusaha untuk terus-menerus mengembangkan kesadaran
menyembuhkan. Ini merupakan kekuatan spiritual yang bersumber dari komitmen
dan kegairahan terhadap risalah dan nubuat agama.
Kekuatan spiritual ini merupakan kebutuhan
dan ciri khas yang selama ratusan tahun telah hidup dan menjadi tradisi di
pesantren. Semangat menyembuhkan menjadi sangat relevan untuk terus
dipertahankan ummat Islam, bukan semangat menghancurkan karena kesadaran meyembuhkan
ini tidak selaras dengan rasa benci dan bermusuhan di kalangan berbagai
kelompok masyarakat yang berbeda agama, kelas sosial, dan latar belakang
lainnya. Kesadaran inilah yang akan menempatkan umat Islam pada tempat publik
yang sama dengan siapa pun, yang dengan nilai sinergi dan
kesalingtergantungan bersama-sama melakukan tugas-tugas kenegaraan dan
keislaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar