Inpres
Pencegahan Korupsi
Dedi Haryadi ; Deputi
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia
|
KOMPAS, 07 November
2016
Nilai
tambah politik yang diperoleh Presiden Joko Widodo mungkin akan lebih tinggi
jika beleid baru, Instruksi
Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tanggal 22 September 2016 tentang Aksi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi untuk tahun 2016 dan 2017, lebih
distingtif, progresif, dan simetris.
Distingtif
artinya berbeda sekali dengan aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi oleh
pemerintah sebelumnya. Progresif artinya berani mengambil risiko untuk
mengintervensi arena baru atau menggunakan instrumen dan cara-cara baru dalam
mencegah dan pemberantasan korupsi. Simetris artinya ada kesesuaian yang
tinggi antara program anti korupsi dalam Nawacita dan isi inpres ini.
Dalam
Nawacita disebut Joko Widodo- Jusuf Kalla akan memberantas korupsi dengan
cara: 1) membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis
dan terpercaya; 2) membangun negara kuat dengan melakukan reformasi sistem
dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Nilai
tambah politik yang tinggi itu nantinya bisa dikapitalisasi untuk pertarungan
politik berikutnya atau sekadar jadi legenda.
Anatomi
inpres
Intinya,
inpres ini menginstruksikan kepada para menteri Kabinet Kerja, Sekretaris
Kabinet, Kepala Staf Kepresidenan, Jaksa Agung, Kepala Polri, para kepala
lembaga pemerintah non-kementerian, para sekretaris jenderal, kepala Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), para gubernur, bupati dan wali
kota untuk melaksanakan aksi pemberantasan dan pencegahan korupsi (PPK)
secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab.
Dalam
inpres ini ada 31 aksi PPK yang dikelompokkan ke dalam strategi pencegahan
dan penegakan hukum. Strategi pencegahan terdiri dari: (1)
optimalisasipelaksanaan kebijakan perizinan dan penanaman modal; (2)
reformasi tata kelola pajak dan optimalisasi penerimaan negara; (3) reformasi
tata kelola ekspor dan impor;(4) penguatan sistem pengendalian dan pengawasan
internal; (5) reformasi tata kelola pertanahan dan tata ruang; (6)reformasi
tata kelola minyak dan gas bumi secara efektif dan efisien; (7) peningkatan
transparansi dan akuntabilitas pengadaan barang dan jasa; (8) tata kelola
badan usaha milik negara dan swasta; serta (9) pengawasan sektor publik dan
swasta. Sementara strategi penegakan hukum terdiri dari: (1) peningkatan
akuntabilitas penegakan hukum; dan (2) pengembangan database penanganan
perkara secara terpadu dan penguatan penanganan korupsi di antara lembaga
penegak hukum dengan dukungan teknologi informasi yang komprehensif.
Butir
apa saja yang bisa kita tangkap dari anatomi inpres ini? Pertama, inpres ini
lebih memilih pendekatan pencegahan daripada penegakan hukum. Jumlah aksi
pencegahan korupsi mencapai 24 aksi (77,2 persen), sementara penegakan hukum
hanya tujuh aksi (12,8 persen).
Ketujuh
aksi tersebut adalah: (1) optimalisasi pengenaan uang jaminan sebagai syarat
penangguhan penahanan; (2) revisi PP No 27/1983 tentang Pelaksanaan Kitab UU
Hukum Acara Pidana; (3) penyusunan mekanisme ganti rugi dan kompensasi oleh
negara di sektor publik dan swasta bagi pencari keadilan; (4) implementasi
hasil evaluasi BPKP mengenai pelaksanaan eksekusi uang pengganti dan penjara
pengganti; (5) optimalisasi penerapan Peraturan Mahkamah Agung No 2/2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Nilai Denda dalam KUHP;
(6) percepatan pelaksanaan nota kesepahaman terkait upaya pengembangan
database penanganan perkara secara terpadu; serta (7) implementasi sistem
administrasi penanganan perkara pidana umum dan pidana khusus secara daring.
Bobot
ketujuh aksi penegakan hukum tersebut tak simetris dengan janji pemberantasan
korupsi dalam program Nawacita. Dalam Nawacita, Jokowi-Kalla menyebut ingin
memberangus mafia peradilan. Aksi PPK yang akan dilakukan itu lebih
administratif sehingga tidak relevan dan tepat untuk memberantas korupsidi
kejaksaan dan kepolisian. Dikaitkan konteks kekinian dan urgensi penanganan
korupsi yudisial, pilihan ini rasanya tak sesuai dengan ekspektasi publik,
khususnya para penggiat anti korupsi.
Kedua,
inpres ini meramu pencegahan korupsi yang cukup lengkap dan detail, dimulai
daripenyederhanaan dan perampingan rezim perizinan; proses penganggaran,
penerimaan negara dari pajak dan pemerintah daerah, khususnya dari sektor
industri ekstraktif; belanja pemerintah pusat dan daerah (khususnya dana
hibah dan bansos); pengadaan barang dan jasa lembaga pemerintah; pelayanan
publik (khususnya pengendalian gratifikasi); keterbukaan informasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan; dan penguatan sistem pengendalian dan
pengawasan internal.
Ketiga,
ada inovasi dalam inpres ini, yaitu dilembagakannya ISO 37001 tentang
sertifikasi anti korupsi. Organisasi bisnis harus mengembangkan dan
mengimplementasikan manajemen anti suap—yang disertifikasi dan
diakreditasi—kalau mau ikut tender proyek-proyek pemerintah.
Sebenarnya
inovasi ini bisa dikembangkan lebih luas ke arah lain baik yang menyangkut:
(1) pengembangan dan implementasi instrumen baru pencegahan korupsi; (2)
arena atau ranah baru pencegahan korupsi; dan (3) pemidanaan aktor dalam
tindak pidana korupsi. Kalau ketiga hal ini diintegrasikan dalam inpres, ia
akan distingtif sekaligus progresif dibandingkan dengan aksi pencegahan dan
pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah sebelumnya.
Dalam
hal instrumen, misalnya, kita bisa mengembangkanprogram keterbukaan kontrak.
Dengan instrumen ini, kontrak-kontrak institusi pemerintah dengan pihak
ketiga harus dan menjadi terbuka, yang bisa diakses publik. Dalam hal ranah
pencegahan, inpres ini sebenarnya bisa memasuki wilayah baru, seperti korupsi
audit dan korupsi di tubuh militer.
Dalam
hal korupsi audit kita perlu mencegah jangan sampai kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah terlibat dalam jual-beli opini dengan auditor. Selain itu,
kita juga bisamendorong kemandirian dan independensi BPK dari pengaruh
politik apa pun dengan mengajukan inisiatif revisi UU BPK.
Dalam
menangani risiko korupsi di tubuh militer, ada dua arah yang bisa
dikembangkan: (1) memperbaiki transparansi dan akuntabilitas belanja-belanja
militer; serta (2) memperbaiki transparansi pengadaan barang dan jasa
militer.
Dalam
hal pemidanaan aktor dalam tindak pidana korupsi kita bisa memasuki dimensi
baru. Sejauh ini pemidanaan kasus korupsi selalu pada individu. Inpres
inibisa memberikan prioritas tinggi pada kejahatan korporasi.Bukan berarti
penanganan korupsi individual harus ditinggalkan, tetapi aksentuasinya
sekarang harus digeser, yaitu memberikan prioritas yang tinggi pada
penanganan kejahatan korupsi korporasi.
Implikasinya
juga cukup luas, di antaranya kita harus menyiapkan kerangka hukumyang
mendukung ke arah itu. Mau tidak mau kita harus mengubah KUHP dan hukum
acaranya. Aparat penegak hukum kita juga perlu ditingkatkan kapasitas dan
integritasnya dalam mengatasi kejahatan korupsi korporasi.
Kunci
sukses implementasi
Sukses
implementasi inpres ini bukan hanya ditentukan kapasitas setiap lembaga,
melainkan juga kemampuan mengoordinasikan dari lembaga yang ditugaskan
menjalankan fungsi koordinasi. Misalnya,menteri/kepala Bappenas harus
mengoordinasikan aksi PPK yang dilakukan semua kementerian dan lembaga
pemerintah non-kementerian. Menteri dalam negeri harus mengoordinasikan aksi
PPK yang dilakukansemua pemerintah daerah provinsi, kabupaten,dan kota.
Demikian
juga kapasitas dan koordinasidi antaramenteri/kepala Bappenas, kepala Staf
Kepresidenan dan kepala BPKPdalam: (1) menganalisis, mengoordinasikan, dan
memfasilitasi penyelesaian masalah yang muncul dalam pelaksanaan PPK; (2)
melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan PPK secara berkala; serta (3)
pelaporan pelaksanaan PPK secara berkala dan diseminasi laporan berkala
tersebut kepada publik.
Selain
itu, lembaga pelaksana inpres ini harus mampumengaitkan dan mengintegrasikan
upaya pemberantasan korupsi dengan isu-isu strategis lainnya.
Upaya pemberantasan korupsi tanpa
menyelesaikan relasi kekuasaan yang timpang tidak akan berhasil. Banyak
kasus, begitu masa jabatan seorang pemimpin yang inovatif dan sukses dalam
memperbaiki tata kelola dan optimasi pengelolaan sumber daya berakhir, maka
berakhir pulalah kisah sukses itu. Hal itu karena ia abai terhadap pentingnya
memperbaiki relasi kekuasaan di mana tata kelola dan pengelolaan sumber daya
tersebut eksis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar