Sistem
Integritas Lokal
Reza Syawawi ; Peneliti
Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
KOMPAS, 08 November
2016
Perhelatan
pemilihan kepala daerah tidak bisa dilepaskan dari konteks pembangunan daerah
selama lima tahun ke depan. Pemilihan kepala daerah (pilkada) hanyalah fase
awal dalam setiap suksesi. Ada waktu yang lebih panjang untuk menguji pilihan
politik publik tersebut. Oleh karena itu, visi dan misi calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah mesti dicermati secara jeli dan cerdas oleh pemilih,
bukan justru mengedepankan isu-isu terkait suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Salah
satu isu penting dan strategis untuk dibahas adalah bagaimana kepala daerah
terpilih mampu membangun sistem pencegahan korupsi yang komprehensif di
tingkat lokal. Problem korupsi tentu tidak hanya dilihat sebagai kasus yang
ditangani penegak hukum saja, tetapi semua penyimpangan dalam penyelenggaraan
pemerintahan, misalnya praktik pungutan liar, mempersulit pelayanan, termasuk
tidak responsif terhadap pengaduan masyarakat.
Transparency
International Indonesia (TII) menyebut sistem pencegahan korupsi di daerah
ini sebagai Sistem Integritas Lokal (SIL). Dalam konteks ini, kepala daerah
adalah salah satu aktor kunci yang menentukan seberapa baik sistem pencegahan
korupsi ini bekerja.
Penyelenggaraan
pilkada secara langsung merupakan wujud dari desentralisasi politik. Seiring
dengan itu, kewenangan daerah dalam menentukan kebijakan di tingkat lokal
juga semakin menguat. Dan, jika dihitung secara ekonomi, APBN 2016
mengalokasikan dana transfer ke daerah dan dana desa sekitar Rp 770,2 triliun
(http://www.kemenkeu.go.id/apbn2016), lebih dari 40 persen dari pendapatan
negara. Persentase ini belum termasuk alokasi anggaran untuk instansi vertikal
yang ada di daerah.
Menguatnya
peran daerah dalam mengelola sumber daya publik seharusnya diimbangi dengan
sistem yang mampu mencegah terjadinya penyimpangan. Sistem pengawasan yang
ada saat ini terbukti tidak mampu menekan laju penyalahgunaan anggaran,
seperti korupsi, tidak efisien, tidak efektif, dan pemborosan.
Dari
sisi kasus, tren korupsi di daerah juga meningkat. Menurut Kementerian Dalam
Negeri, hingga 2015 sebanyak 343 kepala daerah terjerat kasus hukum. Sebagian
besar mereka terjerat kasus hukum persoalan pengelolaan keuangan daerah.
Sementara itu, hingga tahun 2014 terdapat 56 kepala daerah yang terjerat
kasus korupsi oleh KPK.
Adapun
jumlah legislator daerah yang terjerat kasus korupsi juga tak kalah banyak.
Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 2.545 anggota DPRD provinsi dan 431
anggota DPRD kabupaten/kota terjerat kasus korupsi sejak 2004 sampai 2013.
Jumlah itu sekitar 6,1 persen dari total 18.275 anggota DPRD se-Indonesia.
Dari sejumlah kasus tersebut, tidak satu pun merupakan hasil laporan
pengawasan dari internal daerah, tetapi merupakan hasil investigasi dari
penegak hukum: kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Situasi
ini sangat penting untuk direspons melalui satu kebijakan khusus yang
menyinkronkan seluruh aktor di daerah untuk berperan. Selain kepala daerah,
ada pilar lain yang berperan, yaitu DPRD, partai politik (di daerah),
pelayanan publik, pengadaan publik, pengadilan, lembaga penegak hukum, BPK
(perwakilan), Ombudsman (perwakilan), pemerintah pusat (instansi vertikal),
media, organisasi masyarakat sipil, dan entitas bisnis (pengusaha).
Berbasis
sistem
Dalam
konteks penyelenggaraan pemerintahan di daerah, peran kepala daerah tentu
saja sangat signifikan, khususnya yang terkait langsung dengan pelayanan
publik. Sebutlah seperti perizinan, pengadaan, dan pelayanan sosial. Maka,
para calon kepala daerah seharusnya menyampaikan sistem pencegahan korupsi
ini kepada publik, bukan hanya menyuguhkan janji-janji pembangunan, melainkan
bagaimana transparansi dan akuntabilitasnya.
Secara
umum, Sistem Integritas Lokal memadukan komponen tertentu pada setiap
aktor/pilar, meliputi: kapasitas, ekspektasi publik, governance (proses
bisnis), dan peran tiap pilar. Pertama, terkait kapasitas baik dari segi
kewenangan/otoritas maupun sumber daya keuangan/manusia. Secara umum, hampir
semua aktor memiliki kewenangan yang kuat sesuai dengan bidangnya
masing-masing. Akan tetapi, dalam beberapa hal ada kelemahan dalam penyediaan
sumber daya keuangan (minim anggaran). Bagaimana mau memberantas korupsi jika
tidak di-support oleh anggaran yang cukup/memadai? Begitu pula dengan
penyediaan sumber daya manusia yang mampu menjalankan kewenangan tersebut.
Kedua,
ekspektasi publik terhadap setiap aktor. Sisi ini harus ditopang oleh
kapasitas aktor di atas. Misalnya ekspektasi publik kepada KPK terlalu
tinggi, tetapi otoritas/sumber daya KPK terbatas, situasinya menjadi timpang.
Atau malah sebaliknya, otoritas dan sumber daya tinggi tetapi tidak dipercaya
publik. Ini pekerjaan rumah paling besar, khususnya bagi penegak hukum dan
birokrasi dalam membangun kepercayaan publik.
Ketiga,
governance, dalam arti umum meliputi proses penyelenggaraan layanan yang
transparan, berintegritas, membuka partisipasi publik, dan akuntabel dalam
pelaksanaan fungsi. Komponen ini juga bekerja atas dasar kapasitas aktor,
proses penyelenggaraan harus sesuai dengan kewenangan, tidak menyalahgunakan
kewenangan, misalnya penyimpangan penggunaan diskresi untuk kepentingan
kelompok/ individu.
Terakhir,
keempat, bagaimana setiap aktor/pilar berperan dalam memberantas korupsi.
Lembaga penegak hukum akan berperan ketika terjadi tindak pidana, lembaga
pengawasan internal akan bekerja dan responsif terhadap pengaduan publik, dan
seterusnya.
Yang dibangun adalah sistem, bukan
kebijakan individu tertentu, sangat parsial dan biasanya tidak berlanjut
ketika terjadi suksesi. Kita bisa belajar banyak dari kota/kabupaten yang
sudah mulai memperbaiki sistem, misalnya di Surabaya dengan e-government, DKI
Jakarta dengan upaya membangun e-budgeting dan inisiatif kota-kota lain.
Jadi, siapa pun yang terpilih, sistem ini akan berjalan dengan sendirinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar