Menjadi
”Netizen” Transformatif
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti
di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS, 08 November
2016
Pertumbuhan
pengguna internet di Indonesia telah naik dua kali lipat dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) 2016 menyebutkan bahwa 132,7 juta orang sudah terkoneksi
dengan internet dari total 256 juta penduduk Indonesia. Angka tersebut naik
dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya berada di
kisaran 88 juta orang. Dari 132,7 juta netizen tersebut, internet diakses
melalui gawai dan komputer mencapai 67,2 juta,diakses melalui telepon pintar
63,1 juta, dandiakses melalui komputer pribadi 2,2 juta.
Masyarakat
”netizen”
Meningkatnya
jumlah netizen yang mayoritas diisi oleh segmen kelas menengah tersebut tentu
menjadi pertanda positif bagi proses transformasi kehidupan yang mulai
beranjak pada konteks masyarakat berjejaring (networking society) dalam era globalisasi kontemporer. Dalam
masyarakat berjejaring tersebut, kepemilikan dan distribusi informasi menjadi
kapital penting dalam membangun nilai-nilai kewarganegaraan internet (netizenship) yang berlaku dalam dunia
maya, seperti interkonektivitas, interaktif, dan juga dialogis (Castell,
2010).
Hal
tersebut sebenarnya menandai adanya pergeseran penting dalam diskursus
kewarganegaraan di Indonesia, yang pada dasarnya masih bersifat komunitarian
berbasis keanggotaan dan kepemilikan. Hal menarik untuk dicatat adalah
dimensi kewarganegaraan politik digital netizen hari ini adalah arena besar
bagi semua orang yang ingin mendapatkan saluran alternatif terhadap pencarian
representasi dan partisipasi yang tidak diperoleh dalam dunia daring.
Representasi
dan partisipasi melalui netizenship itu diakui melalui seberapa banyak
informasi yang dipunya dan dibagi kepada sesama netizen sehingga kemudian
menciptakan buzzer, influencer, dan follower yang itu bergantian posisi satu
sama lain, bergantung informasi yang didapatkan. Ketiga posisi tersebut
sebenarnya menandakan kemampuan informasi memengaruhi perilaku politik
individu ataupun kolektif dan kemampuan kolektif dan individu
Masyarakat
netizen di Indonesia adalah generasi baru dalam sistem masyarakat Indonesia
pasca Orde Baru. Mereka melakukan transformasi ruang dan status yang
sebelumnya dari kelompok kelas menengah urban.
Transformasi
ruang diartikan sebagai perpindahan interaksi yang sebelumnya dilakukan
secara eksklusif, mengelompok, dan simbolis di dunia offline menuju inklusif,
egalitarian, dan persuasif di dunia online. Transformasi status dimaknai
sebagai perpindahan dari suatu keanggotaan kelompok dalam kelas masyarakat
menuju status komunitarian dan komunalitas dalam dunia online.
Adanya
dua transformasi tersebut juga menandai adanya pergeseran populasi dari
generasi Z menuju generasi Y dalam memainkan peran politik dalam masyarakat
berkat adanya digitalisasi tersebut. Pergeseran tersebut menandai adanya era
baru dalam narasi politik Indonesia, yakni lebih menyukai hal informal
daripada formal, isu politik yang diminati adalah real-politics daripada high-politics,
dan juga menyukai proses komunikasi bilateral dan multilateral daripada
monolateral.
Dengan
kata lain, institusionalisasi politik bergeser menjadi sosialisasi politik
berbasis forum dengan mengedepankan isu politik keseharian sebagai bahasan
perbincangan politik masa kini. Daripada membicarakan masalah korupsi,
kolusi, dan nepotisme, masyarakat netizen Indonesia lebih condong pada
masalah politik yang setiap hari ditemui, semisal isu banjir, macet, pangan,
dan perumahan. Politik yang dipahami oleh netizen Indonesia hari ini adalah
politik solutif dan politik kuratif sehingga melihat dimensi kepemimpinan
politik hari ini bukanlah figuritas, melainkan lebih pada kepemimpinan yang
berbasis pemecahan masalah (problem
solver) dan ice breaker.
”Netizen”
transformatif
Dengan
adanya dua proses transformatif tersebut, netizen Indonesia berusaha
menampilkan diri sebagai kelompok penekan dan kelompok kepentingan terhadap
negara. Sebagai kelompok penekan, netizen berusaha untuk melemparkan suatu
isu politik yang dibicarakan secara berulang-ulang sampai menjadi isu
nasional melalui tagar sehingga menekan secara psikologis pemerintah untuk
mengikuti kepentingan netizen.
Sebagai
kelompok kepentingan, netizen berusaha mengartikulasikan kepentingan mereka
melalui serangkaian meme sehingga menjadi viral kolektif di dunia maya.
Meskipun demikian, untuk menjadi netizen transformatif bukanlah perkara
mudah, apalagi dikaitkan dengan karakteristik politik netizen masyarakat
Indonesia hari ini.
Realitasnya,
yang kini terjadi adalah penggunaan internet di Indonesia masih didominasi
penggunaan sosial media di kalangan netizen, baik itu dalam bentuk wiki,
blog, microblog, social profile page,maupun media sharing. Kesemuanya masih
bermakna satu tujuan, yakni pemenuhan kebutuhan kesenangan dan kesenjangan
daripada aksi pencerahan politik.
Hal
tersebut, sekali lagi, terkait dengan karakter sosiologis-politik kelas
menengah Indonesia yang rasional dalam ontologi, tetapi reaksioner dalam
aksiologi. Artinya, menghadapi permasalahan hidup sebagaimana dalam kasus
politik keseharian ini dihadapi dengan cara adaptif dan negosiatif.
Adapun
adanya aktivisme klik (clicktivism) yang kini mewabah di kalangan kelas
menengah Indonesia, apakah sudah mampu menampilkan pemecahan masalah yang
solutif dan kuratif?Dalam berbagai hal, masyarakat netizen kita hari ini
belumlah mampu menjadi masyarakat berjejaring, tetapi justru menjadi
masyarakat terfragmentasi berbasis pada perbedaan cara pandang isu dan
pemenuhan kepentingan. Fenomena itulah yang kini sedang menggejala dalam
kasus netizen kita: bahwa dunia maya justru menjadi arena penting dalam
menciptakan kubu-kubu yang berlawanan satu sama lain.
Memang
hal itu tidak salah dalam demokrasi, di mana perbedaan pendapat itu adalah
lumrah. Namun, dalam demokrasi digital Indonesia, perbedaan cara pandang isu
dan kepentingan di dunia maya bisa berimplikasi langsung pada segregasi
penduduk di Indonesia.
Sejatinya, menjadi netizen transformatif
adalah netizen yang mampu untuk tidak hanya bersuara saja di dunia online,
juga beraksi nyata di dunia offline (Santoso, 2016). Namun, sayangnya, warga
netizen kita hari ini masih memaknai proses kewarganegaraan internet di Indonesia
sebagai arena posting keluh-kesah untuk dikomentari bersama, eksis dengan
benda material, dan juga sharing dengan informasi yang sifatnya destruktif
daripada konstruktif. Oleh karena itulah, masih perluproses lama bagi netizen
Indonesia untuk menjadi netizen transformatif dalam era demokrasi digital
hari ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar