Wujud
Negara Kesejahteraan
Mulyadi Sumarto ; Dosen
dan Peneliti Senior di UGM,
World Social Science Fellow di International Social Science Council, Paris
|
KOMPAS, 08 November
2016
Janji
mendirikan negara kesejahteraan (welfare
state) pernah disampaikan salah satu ketua partai politik terbesar dan
tertua di Indonesia ketika ia mengunjungi Universitas Gadjah Mada pada masa
kampanye Pemilu 2014.
Ia
menyatakan, andai partainya menjadi pemenang dan dirinya terpilih menjadi
presiden, ia akan mewujudkan mimpi menjadi negara kesejahteraan dalam waktu
30 tahun, yaitu pada tahun 2045. Ia akan mewujudkan mimpi itu dengan cara
membangun daerah pinggiran, daerah pedesaan yang berbasis pertanian. Namun,
partainya bukan menjadi pemenang dan dia juga tidak terpilih sebagai presiden
sehingga sulit menagih janji tersebut.
”Mimpi”
mengharapkan kehadiran negara kesejahteraan pada tahun 2045 juga disampaikan
Sulastomo, salah seorang yang memberikan jasa besar dalam pengembangan Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dalam artikelnya, ”Mimpi Negara
Kesejahteraan” di Kompas (26/10). Tahun 2045, baginya, menjadi periode
penting karena Indonesia telah membangun perekonomiannya genap selama 100
tahun. Bagi Sulastomo, mimpi itu bisa diwujudkan karena Indonesia telah
menjalankan SJSN.
Mimpi
politisi dan Sulastomo akan kehadiran negara kesejahteraan merupakan refleksi
keinginan banyak pihak untuk mendirikan negara kesejahteraan. Namun, cukupkah
membangun negara kesejahteraan hanya dengan membangun negara dari pinggiran
dan dengan cara menjalankan SJSN? Seberapa jauh komitmen pemerintah dari
zaman Presiden Soekarno sampai Joko Widodo pada upaya mewujudkan mimpi
tersebut?
Wajah
ideal negara kesejahteraan
Mimpi
tentang negara kesejahteraan merupakan harapan yang rasional karena warga
negara yang tinggal di negara tersebut memiliki hidup yang sejahtera dan
bahagia. Di antara sekian banyak negara kesejahteraan yang beradadi kawasan
Eropa, Amerika, dan Australia, negarayang dianggap paling berhasil
menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakatnya adalah Denmark dan Swedia.
Hal
itu ditandai dengan fakta bahwa dua negara ini selalu menempati urutan
tertinggi dalam pencapaian indeks kebahagiaan (happiness). Indeks kebahagiaan tersebut mencakup pendapatan,
pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan, keseimbangan kerja dan kehidupan
sosial, keamanan, jaringan sosial, kepuasan hidup, serta pelibatan masyarakat
(civic engagement).
Ini
terjadi tak secara kebetulan karena negara ini punya komitmen besar dalam
mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya yang ditunjukkan dengan alokasi
jumlah anggaran yang besar untuk membiayai program-program kesejahteraan
dalam bentuk perlindungan sosial. Dalam tiga tahun terakhir, misalnya,
Denmark mengeluarkan anggaran rata-rata setiap tahunnya sebesar 28.93 persen
dan Swedia setinggi 27.06 persen dari produk domestik bruto (PDB) mereka.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan negara kesejahteraan lain,
seperti Australia dan Amerika, yang masing-masing hanya 18,53 persen dan 18,57
persen.
Dengan
anggaran sebesar itu, Pemerintah Denmark dan Swedia mampu membiayai beberapa
bentuk program perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan, pensiun, dan
tunjangan pengangguran. Perlindungan sosial itu diberikan kepada semua warga
negara secara cuma-cuma tanpa membedakan status sosial-ekonomi mereka.
Ini
semua mungkin terjadi karena sistem politik dan ideologi yang berlaku
mendukung realisasi kebijakan sosial tersebut. Perkembangan kebijakan sosial
di Denmark dan Swedia sangat ditentukan kedekatan hubungan antara partai
politik dengan petani dan buruh. Afiliasi politik di antara mereka
memungkinkan gerakan politik-ideologi untuk memperjuangkan kesejahteraan di
semua kelas social tanpa ada perbedaan.
Proses
menjadi negara kesejahteraan di dua negara itu memerlukan waktu panjang.
Pemerintah Denmark telah menjalankan program pensiunpada tahun 1891 dan
Pemerintah Swedia merealisasikan program asuransi kesehatan pada tahun yang
sama. Jauh sebelum itu, pada awal 1700-an di Swedia telah berkembang upaya
peningkatan kesejahteraan sosial yang dilakukan organisasi-organisasi gereja.
Sejarah
paling panjang pengembangan negara kesejahteraan terjadi di Inggris. Cikal
bakal negara kesejahteraan di Inggris telah muncul lebih dari 400 tahun
lampau, yakni melalui pengesahan aturan hukum yang menjadi basis distribusi
kesejahteraan pada tahun 1601. Melalui aturan itu, Pemerintah Inggris
mendistribusikan perlindungan sosial berupa bantuan pangan, sandang, dan
tempat tinggal untuk masyarakat miskin.
Membangun
negara kesejahteraan
Model
negara kesejahteraan yang dipraktikkan Denmark dan Swedia merupakan wajah
negara kesejahteraan yang paling ideal. Dalam waktu dekat, Indonesia belum
akan mampu mewujudkan mimpi menjadi negara kesejahteraan seperti yang
dipraktikkan di kedua negara tersebut karena perbedaan kondisi ekonomi,
politik-ideologi, dan latar belakang kelembagaan dalam distribusi
kesejahteraan.
Problem
yang paling sederhana, di aspek ekonomi misalnya, kapasitas finansial
Indonesia masih sangat terbatas dalam membiayai program kesejahteraan yang
mencakup jaminan kesehatan, pensiun, tunjangan pengangguran untuk semua warga
negara. Dalam pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan,
pemerintah hanya mampu menanggung biaya untuk pegawai negeri, tentara, dan
rumah tangga miskin. Pegawai swasta dan pekerja sektor informal tidak miskin
tidak ditanggung pemerintah.
Keterbatasan
kapasitas finansial ini bertambah rumit karena pemerintah mengalami defisit
anggaran. Defisit anggaran terjadi karena kesalahan manajemen kepesertaan
dalam program BPJS Kesehatan. Pada tahun 2014 defisit mencapai Rp 1,94
triliun dan pada tahun 2015 sebesar 5,85 triliun. Pada tahun ini, defisit itu
diperkirakan mencapai lebih dari Rp 7 triliun.
Dari
pemerintahan Presiden Soekarno hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo,
rata-rata belanja tahunan pemerintah untuk program perlindungan sosial belum
mencapai 1 persen PDB. Salah satu persentase tertinggi terjadi pada tahun
2006, di mana persentase tersebut mencapai hampir 1 persen karena pemerintah
menjalankan program bantuan langsung tunai (BLT) selama sembilan bulan pada
tahun tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat belum begitu tinggi.
Isu
politik juga problematik. Selama ini belum terlihat ada kesamaan pemikiran
atau kedekatan pandangan ideologis mengenai kesejahteraan di antara partai
politik dengan petani dan buruh sehingga belum ada gerakan politik yang kuat
yang mampu mendorong terciptanya kebijakan sosial yang berpihak pada
kesejahteraan semua lapisan masyarakat, terutama petani dan buruh.
Walaupun
wajah ideal negara kesejahteraan di Denmark dan Swedia tidak bisa diwujudkan
dalam waktu dekat, belajar dari pengalaman negara itu bisa diketahui bahwa
upaya mewujudkan mimpi negara kesejahteraan tidak sesederhana hanya membangun
Indonesia dari pinggiran atau mengembangkan SJSN, seperti yang disampaikan
ketua partai politik dan Sulastomo. Kompleksitas model negara kesejahteraan
juga membuat upaya mewujudkan model negara ini sulit dicapai pada tahun 2045;
98 tahun pasca inisiasi program perlindungan sosial pertama di Indonesia,
yaitu tunjangan kecelakaan pada tahun 1947.
Yang
sebaiknya dilakukan pemerintah sekarang adalah membangun fondasi yang kuat
untuk mewujudkan mimpi hadirnya negara kesejahteraan. Fondasiitu perlu
didukung studi-studi mendalam mengenai bentuk negara kesejahteraan, atau
lebih tepatnya rezim kesejahteraan (welfare
regime) (Sumarto, Kompas, 18/09/2014) yang relevan bagi Indonesia.
Dengan fondasi yang kuat dan dukungan
konsep rezim kesejahteraan yang kontekstual, pada saat kondisi ekonomi
nasional telah memungkinkan, pemerintah bisa segera mendorong terjadinya
transformasi menuju rezim kesejahteraan yang paling ideal bagi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar