Satu
Anak, Lima Orangtua
Jean Couteau ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 06 November
2016
Anda
tahu apa itu peran seorang kakek, kan? Kemungkinan besar Anda tumbuh di bawah
pengawasan figur panutan seorang kakek, orang yang ngelonin Anda sebagai cucu
yang pasti favoritnya. Ya! Biarpun dia pernah menjadi bajingan pada masa
mudanya, seorang kakek biasanya adalah pengayom dan penerus nilai-nilai
sosial yang umum.
Cuma,
sang kakek yang baru-baru ini aku nikmati santapan hidangannya di apartemen
mewah di pusat kota Paris ini, adalah kakek yang agak berbeda dari tipe ideal
tadi. Dia memang uzur -punggungnya katanya sering ngilu. Dia juga halus.
Tetapi, entah kenapa, dia tiba-tiba membelokkan percakapan ke masalah seks
anaknya: "Dengan anak, kita harus siap menghadapi surprise,"
ujarnya. "Ambil contoh putra saya. Dia gay. Namun, belum puas berlagak
gay, dia memboyong seorang gay Amerika sebagai partnernya; kini mereka berdua
telah nikah sah meskipun tak jelas bagi saya yang mana 'suami', dan yang mana
'istri', he-he.."
Waah!!
Seru benar cerita si kakek ini!! Namun, aku pura-pura tidak kaget: bila
ditraktir makan, harus berlagak gentleman, kan? "Wong, saya bisa berbuat
apa?" tambahnya mendesah. "Ya! menerimanya." Dia lalu berdiam
sejenak sebelum meneruskan, "Tapi ini baru awalnya. Kini mereka tengah
sibuk 'membuat' anak, yaitu memberikan saya 'seorang cucu'."
"Bagaimana
mereka 'membuatnya', mereka cowok gay, kan?" tanyaku keasyikan..Dia diam
sejenak, lalu menyingkap semua: "Putra saya dan partner gay-nya takut
kalau-kalau salah satunya menjadi iri kelak; maka mereka tidak mau nyumbang
spermanya sendiri. Lebih baik memakai donor pria orang ketiga, kata
mereka...Yang akhirnya dipilih bukanlah sembarang donor: seorang Kolombia
keturunan Eropa, yang mutu genetisnya terjamin dengan kontrak di hadapan
hukum!! Serius, kan? Dan untuk ovula, genetisnya tak kurang sempurna: donor
wanitanya tidak kerempeng, tidak juga gemuk-pokoknya memenuhi syarat. Adapun
'ibunya', dia tak lebih dari rahim saja, yang dihuni selama sembilan bulan
oleh janin calon cucu saya. Juga pinggulnya pas: jadi risiko minim waktu
melahirkan," ujar sang calon kakek ini.
Aku
dengar itu semua, bengong.. "Jadi," lanjutnya, "saya kini akan
mempunyai seorang cucu yang sah, yang 'dibuat' oleh tak kurang dari lima
orangtua: putra saya dan partnernya, donor laki dan wanita, dan wanita
penyewa rahim.Apakah hebat atau tidak, saya tidak tahu? Yang jelas, biayanya
lumayan, 70.000 dollar AS, yang saya kira cukup bodoh untuk dibayar.demi
seorang cucu yang tidak pernah saya dambakan dan bukan keturunan genetis
saya, he-he-he." Lalu dia berdiam lagi, cukup lama, sebelum melahap dua
porsi keju..
Temanku
ini, sang kakek tadi, pasti sudah menyadari masalah-masalah etika dasar yang
timbul dari jati diri dan perilaku putranya. Namun, dia bungkam tentang itu.
Di mana batas yang wajar dari manipulasi "in vitro" untuk mendapat
keturunan? Di mana batas manipulasi genetis? Atas nama "hak memiliki
anak", apa saja hak seorang atau satu pasangan, gay atau heteroseksual,
boleh dan pantas "memfabrikasi" manusia di laboratorium dan
mem-farming anak. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak terjawab. Tidak diketahui
pula apakah semua ini tergolong kemajuan atau sebaliknya merupakan tanda
kerapuhan?
Lebih
jauh, di dunia kita yang kian global ini, mana mungkin fenomena reproduksi
genetis yang mutakhir ini tidak menimbulkan reaksi keras dari
masyarakat-masyarakat di mana berlaku kemutlakan Sabda, kesakralan rahim, dan
kontrol sosial atas tubuh wanita. Bagaimana menjembatani jurang kultural, dan
'moral', yang kian melebar ini?
Sementara ini, di perempatan jalan tidak
jauh dari tempat tinggalku di Perancis, terlihat suatu salib berdiri tegak,
tanda kuasa agama Nasrani atas lingkungannya. Salib ini kini telah penuh
dengan karat...Agaknya tiada siapa pun yang berkenan menghilangkan karat
itu.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar