DUSTA
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO
|
TEMPO.CO, 07 November
2016
Kita,
di negeri ini, hidup dengan politik yang sangat ramai tapi sepele. Tak ada
hal-hal mendasar yang dipertarungkan—hal-hal yang mendasar karena
menggetarkan hati, pikiran, dan kehidupan hampir semua orang.
Pernah,
dahulu, politik bisa gemuruh mirip gempa laut: politik adalah antagonisme
yang membuat sebuah kekuasaan yang mapan guyah dalam tubuh dan jiwanya. Kini
yang semacam itu absen. Kebenaran yang kukuh—hingga tak hanya bergaung secara
partisan, tapi juga di dalam kesadaran kawan dan lawan—kini lapuk. Bahkan
tidak bisa ada. Kini pertarungan bergerak semata-mata karena opini, dengan
opini.
Dalam
situasi seperti ini saya bisa mengerti kenapa Badiou menyebut opini secara
mutlak bertentangan dengan "ethika kebenaran", l'éthique de la
vérité. Badiou adalah salah satu dari sedikit pemikir di masa ini yang
mempertahankan pandangan bahwa kebenaran bukanlah hasil bentukan sepihak; ia
bersifat universal, tak tergantung posisi, waktu, dan tempat.
Kebenaran
ini muncul melintas bersama l'événement, kejadian yang mengguncang keadaan.
Ketika pertempuran mati-matian terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya,
waktu itu tampak jelas keadilan dan kemerdekaan hendak direnggutkan lagi dari
bangsa Indonesia. Makin tampak pula ada sesuatu yang jahat terungkap pada
rezim kolonial yang hendak memaksakan kekuasaannya kembali.
"Keadilan" dan "kemerdekaan" hari itu tak dirumuskan,
tapi keduanya tetap kebenaran yang mengimbau, menggugah, dan menggetarkan
saat itu, juga dalam kenangan hari ini.
Ada
sebuah cerita. Konon di Surabaya hari itu seorang opsir Inggris melihat
seorang pejuang Indonesia muda tertidur di sebuah sudut, beristirahat dengan
bedil di sampingnya ketika tembak-menembak berhenti sementara. Ia
mengatakan—kalau tak salah kepada Bung Hatta yang dikawalnya—bahwa Indonesia
tak akan bisa dikalahkan dalam perang di bulan November itu: di tubuh kecil
itu ada suatu keyakinan yang besar. Saya kira sang opsir, di pihak seberang,
tanpa banyak bicara mengakui sifat universal dari kebenaran yang mendasari
keyakinan itu.
Memang,
selalu, di mana pun, ketika kebenaran dirumuskan jadi pengetahuan dan hukum,
ketika ia dipaksakan sebagai sesuatu yang mutlak, ia tak lagi seperti ketika
ia buat pertama kalinya mencekam dan menggugah; ia jadi pandangan sepihak,
yakni yang sedang berkuasa.
Hari
ini politik adalah politik pandangan-pandangan sepihak. Ia politik
tak-peduli-kebenaran. Majalah The Economist menyebut keadaan ini, yang
bercabul seperti wabah di mana-mana, sebagai politik post-truth,
"pasca-kebenaran". Sebagaimana yang terjadi dalam pemilihan
Presiden Amerika, dan pilkada di Jakarta, dusta, fitnah, dan manipulasi kata
dan fakta berkecamuk. Para politikus dan aktivis tak lagi merasa perlu
mengacu pada nilai yang universal.
Berbeda
dengan politik di zaman yang terdahulu. Dulu kebohongan juga disebar dan
dikomunikasikan, namun dengan argumen yang mengacu pada kebenaran, meskipun
kebenaran yang lemah dan hanya lamat-lamat. Dulu diam-diam masih ada
pengharapan bahwa dusta yang diucapkan itu, melalui waktu dan adu pendapat,
akhirnya akan bisa diterima siapa saja. Ketika para propagandis Nazi
berpedoman bahwa "kebohongan yang terus-menerus diulang akan jadi kebenaran",
orang-orang Hitler itu sebenarnya masih mempedulikan kebenaran, meskipun
dengan sikap kurang ajar dan sinis.
Kini
dusta dan manipulasi dilakukan tanpa peduli itu. Faktor yang baru dalam
komunikasi politik yang sarat dusta kini adalah kecepatan. Teknologi, dengan
Internet, membuat informasi dan disinformasi bertabrakan dengan langsung,
dalam jumlah yang nyaris tak terhitung, menjangkau pendengar dan pembaca di
ruang dan waktu yang nyaris tak terbatas. Bagaimana untuk membantah?
Bagaimana memverifikasi?
Pernah
zaman ini mengharap Internet akan membawa pencerahan. Informasi makin sulit
dimonopoli. Ketertutupan akan bocor. Dialog akan berlangsung seru. Yang salah
diperhitungkan ialah bahwa media sosial yang hiruk-pikuk kini akhirnya hanya
mempertemukan opini-opini yang saling mendukung. Yang salah diperkirakan
ialah bahwa dalam banjir bandang informasi kini orang mudah bingung dan
dengan cemas cenderung berpegang pada yang sudah siap: dogma, purbasangka
yang menetap, dan takhayul modern, yaitu "teori" tentang adanya
komplotan di balik semua kejadian.
Tak
ada lagi Hakim dan Juri yang memutuskan dengan berwibawa mana yang benar dan
yang tidak, mana yang fakta dan mana yang fantasi. Media, komunitas ilmu,
peradilan: semua ikut kehilangan otoritas, semua layak diduga terlibat dalam
orkestrasi dusta yang luas kini.
Dan agama? Yang tak disadari kini: agama
telah mengalami sekularisasi, ketika Tuhan jadi alat antagonisme politik,
bukan lagi yang Mahasuci yang tak dapat dijangkau nalar dan kepentingan
sepihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar