Raskin
dan Kebijakan Perberasan
Sapuan Gafar ;
Mantan Sekretaris Menteri
Pangan dan Wakil Kepala Bulog
|
KOMPAS, 04 November
2016
Mencermati tulisan Denni P Purbasari (Kompas,
11/10), tampaknya ia berangkat dari pandangan bahwa beras untuk rakyat miskin
alias raskin merupakan program yang berdiri sendiri. Dalam tulisan ini dicoba
untuk dilihat dari sudut pandang kebijakan perberasan yang terintegrasi
antara hulu, tengah, dan hilir.
Tulisan Denni tersebut sebenarnya untuk
merespons temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa program raskin
tidak efektif karena tidak tepat sasaran, tidak tepat jumlah, tidak tepat
harga, tidak tepat waktu, tidak tepat kualitas dan administrasi. Oleh karena
itu, KPK merekomendasikan agar program raskin didesain ulang. Namun, oleh
Denni, desain program raskin diubah sehingga menyebutnya sebagai reformasi
(mengubah bentuk). Apabila desain program raskin diubah, hal itu dapat
berimplikasi perubahan kebijakan perberasan yang fondasinya dibuat oleh
Presiden Megawati pada tahun 2001.
Presiden Megawati menetapkan raskin (pada
waktu itu namanya operasi pasar khusus atau OPK) sebagai bagian dari
kebijakan penyaluran stok beras nasional seperti tercantum dalam Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 2001 tentang Perberasan. Inpres inilah yang menjadi
dasar kebijakan perberasan sampai saat ini. Melalui inpres tersebut,
ditetapkan kebijakan perberasan yang terintegrasi antara hulu, tengah, dan
hilir.
Di hulunya, inpres itu melindungi petani dari
gempuran kebijakan impor beras bebas dengan cara membeli gabah dan beras pada
harga pembelian pemerintah. Kemudian, di tengahnya, hasil pembelian beras
untuk memperkuat stok nasional. Selanjutnya, di hilir, penyaluran beras OPK.
Inpres tersebut memberikan jaminan persediaan dan penyaluran beras kelompok
masyarakat miskin dan rawan pangan atau kelompok yang dilayani program
OPK/raskin.
Perlu ditambahkan bahwa semula program OPK
dipakai sebagai instrumen untuk mengatasi kelompok rawan pangan akibat adanya
krisis yang terjadi tahun 1997/1998. Program OPK dibuat oleh kita sendiri
tanpa bantuan ahli asing dengan pembiayaan dari kita sendiri, bahkan dengan
dibiayai Bulog terlebih dahulu. Program dibuat atas usul Menteri Pangan
sebelum Bank Dunia/IMF meluncurkan program Jaring Pengaman Sosial. Program
dimulai bulan Juli 1998 di DKI Jakarta dan Banten, kemudian bulan September
berlaku di seluruh Indonesia.
Sasaran program OPK menggunakan data Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk keluarga pra-sejahtera
(KPS) dan keluarga sejahtera I (KS I) mengingat pada waktu itu hanya BKKBN
yang memiliki data sampai tingkat keluarga. Setiap keluarga menerima 10
kilogram dengan harga separuh dari harga pasar (Rp 1.000/kg), selisihnya
disubsidi oleh pemerintah. Dari Juli 1998 sampai Maret 1999, Bulog
menyalurkan OPK 1 juta ton yang menjangkau 10 juta keluarga di 27 provinsi,
400 kabupaten, dan 40.000 titik distribusi. Program ini diperpanjang lagi
sampai Maret 2000, yang akhirnya Presiden Megawati menetapkan program raskin
sebagai bagian dari penyaluran stok nasional pada 2001 melalui Inpres No
9/2001.
Harus terintegrasi
Sukses program swasembada beras tahun 1980-an,
antara lain, karena didukung oleh kebijakan perberasan yang terintegrasi.
Petani didorong untuk meningkatkan produksi padi dan hasilnya dijamin oleh
Bulog sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hasil pembelian dipakai untuk
memperkuat stok beras nasional dan penyalurannya dijamin melalui distribusi
beras untuk PNS/TNI/Polri.
Untuk pembelian beras, Bulog menggunakan
kredit bank (KLBI) yang dijamin oleh Menteri Keuangan. Menkeu bersedia
menjamin kredit Bulog karena ada jaminan APBN untuk ransum beras
PNS/TNI/Polri. Dengan demikian, antarprogram dan pendanaan terkait dalam satu
sistem yang solid dan terintegrasi.
Apabila cara pandang hulu-tengah-hilir
digunakan, tidak mungkin hanya diubah di tingkat hilir. Reformasi program
raskin, sebagaimana dimaksud Denni, dapat dilakukan apabila kebijakan di
tingkat hulu (perlindungan kepada petani) sudah tidak diperlukan lagi dan
atau juga tidak perlu pengamanan stok nasional. Denni mengatakan, fungsi
Bulog tidak hilang karena Bulog tetap hadir sebagai pengelola buffer stock
dan stabilisator harga. Namun, pengalaman empiris tidak semudah itu.
Pengalaman berswasembada beras 1984- 1993 dan pengalaman pada rezim impor
beras bebas 2000-2004 dapat menjadi pelajaran berharga.
Walaupun pada era swasembada beras tahun
1984-1993 masih ada penyaluran tetap untuk ransum beras PNS/TNI/Polri, untuk
operasi pasar nyaris tidak ada sehingga memerlukan upaya ekspor beras untuk
menjaga beras agar tidak rusak. Namun, ekspor beras tersebut mengalami
kerugian yang besar sekali. Kerugian pertama karena harga beras kita sekitar
40 persen di atas harga beras dunia. Kerugian kedua sewaktu kita ekspor harga
beras dunia turun hampir 30 persen.
Kemudian, pengalaman lain pada tahun 2000-2004
ketika impor beras diperlakukan secara bebas. Harga beras saat itu dapat
stabil sepanjang tahun selama 4-5 tahun. Harga beras medium saat itu sekitar
Rp 2.500/kg (IR III di Pasar Induk Cipinang). Operasi Pasar Bulog sama sekali
tidak ada. Hasil pembelian Bulog dalam rangka menjaga harga di tingkat petani
dengan jumlah sekitar 2 juta ton dipakai untuk penyaluran raskin. Dapat kita
bayangkan apabila Presiden Megawati pada saat itu tidak menetapkan kebijakan
raskin sebagai penyaluran stok nasional, maka stok beras Bulog akan menumpuk,
selanjutnya Bulog akan mengalami kebangkrutan, termasuk bank yang
mendanainya.
Penutup
Potongan orasi profesi mantan Kepala Bulog
Jusuf Kalla dalam rangka HUT Ke-40 Bulog, Kamis, 10 Mei 2007, patut kita
renungkan: ”Zaman dulu, setiap akhir bulan ada karung beras di motor atau di
mobil PNS, termasuk Kabulog. Tiap bulan saya dikirimi. Yang sekarang
didistribusikan adalah raskin. Raskin ini jumlahnya besar, tetapi jika nanti
dihilangkan pada saatnya kalau kita sudah lebih sejahtera, tentu Bulog harus
mencari ke mana menjualnya, berarti ke pasar. Karena, kalau tidak,
penyimpanan kita kan tidak sebaik silo-silo di Amerika atau di mana pun
sampai sekian tahun. Kita hanya di gudang-gudang yang kadang lembab, maka
dalam 1-2 tahun beras bisa kuning. Karena itu, sebagai Perum, kita harus
siap-siap menjalankan fungsi itu.”
Apakah kita sekarang sudah lebih sejahtera
sebagaimana dipersyaratkan untuk menghapus raskin, seperti kata mantan
Kabulog Jusuf Kalla? Data hasil Seminar Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia (Perhepi), 13 Agustus 2016, di Yogyakarta, dapat menjadi acuan
untuk merumuskan kebijakan. Kesimpulannya, 50 persen rumah tangga di
Indonesia pendapatannya sudah mandiri, artinya dapat menerima gejolak pasar
beras, sedangkan 40 persen memerlukan stabilisasi, dan sisanya (10 persen)
perlu dibantu.
Sependapat dengan tulisan Toto Subandriyo
(Kompas, 8 September 2016) bahwa program Kupon Pangan (Reformasi Raskin) agar
nantinya tidak banyak mengalami permasalahan, maka harus dapat diatasi titik
kritis perencanaan program, seperti penentuan penerima manfaat atau RTS,
mekanisme dan pola distribusi di tingkat desa, penentuan kualitas pangan,
harga dan titik bagi.
Akhirnya, semua bergantung pada keputusan
pemerintah. Hanya saja, perubahan sistem baru jangan menimbulkan masalah baru
lagi. Juga perlu diperhatikan bahwa pasar beras itu mudah bergejolak.
Pernyataan dan tulisan oleh pejabat di negeri ini—yang dapat mengganggu stabilitas
pasar beras—perlu kehati-hatian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar