Pemolisian
yang Menjaga Marwah Demokrasi
M Fadil Imran ;
Direktur Reserse Kriminal
Khusus Polda Metro Jaya; Meraih Gelar Doktor Bidang Kriminologi pada Program
Pascasarjana Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 04 November
2016
Kejahatan yang termotivasi oleh rasa kebencian
dan prasangka bukan merupakan suatu hal yang baru. Bentuk kejahatan ini
merupakan cerminan dari hubungan yang sangat terlihat jelas antara kejahatan
dan perasaan atau emosi tertentu.
Terminologinya sendiri setidaknya telah
ditemukenali pada pertengahan tahun 1980-an, erat berkait dengan isu relasi
kuasa dan ketidaksetaraan, dan secara umum hate crime sering terlihat sebagai
konflik dalam masyarakat lokal yang berujung pada kekerasan yang termotivasi
oleh rasisme, homofobia, anti Semit (atau anti Kristen dan anti Muslim), sikap
dan keyakinan (lihat Kelly and Maghan (Eds), 1998).
Praktiknya juga dapat ditemukan dalam
kehidupan masyarakat perkotaan modern yang heterogen. Hate crime merupakan
kejahatan yang termotivasi oleh kebencian, bias atau prasangka terhadap
seseorang atau properti berdasarkan pengalaman aktual atau persepsi akan ras,
etnis, jender, agama, atau orientasi seksual dari korban (McLaughlin, 2001).
Hate crime dapat didefinisikan sebagai
kejahatan terhadap seseorang, lembaga, atau properti yang termotivasi (secara
keseluruhan atau sebagian) oleh prasangka pelaku terhadap status keanggotaan
korban dalam kelompok (Miller and Kim, 2009). Bentuknya dapat berupa
pembunuhan, penyerangan, tindakan vandalisme, serta penodaan yang didorong
oleh kebencian. Kebencian yang dilatarbelakangi oleh ras, warna kulit,
kebangsaan, agama, jenis kelamin, etnis, orientasi seksual, atau disabilitas.
Faktor pemicu
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya hate crime. Pertama, thrill-seeking hate crimes yang dilakukan
untuk bersenang-senang dengan membuat perlukaan terhadap kelompok minoritas
atau menghancurkan harta benda miliknya. Berupaya untuk mendapatkan sensasi
sadis yang muncul dari menimbulkan rasa sakit pada orang lain.
Kedua, reactive
(defensive) hate crimes, yang dilakukan dengan landasan rasionalisasi untuk
melindungi komunitas dan (the way of
life) mereka dari ancaman.
Ketiga, mission hate crimes yang dilakukan
oleh beberapa individu yang merasa terganggu bahwa ras, keyakinan, dan agama
mereka terancam, kemudian melihatnya sebagai tugas mereka untuk membebaskan
dunia dari kejahatan.
Keempat, retaliatory
hate crimes yang dilakukan sebagai bentuk balasan terhadap hate crime,
baik nyata atau hanya merupakan persepsi (Siegel, 2012).
Meski demikian, perlu menjadi catatan, masih
terdapat beberapa faktor lain yang juga berkontribusi terhadap munculnya hate
crime. Seperti, misalnya, kondisi ekonomi yang buruk atau tidak pasti,
stereotip rasial dalam film dan tayangan televisi, wacana penuh kebencian
dalam talk show atau iklan politik, penggunaan kode atau bahasa rasial,
pengalaman pribadi seorang individu dengan anggota kelompok minoritas
tertentu, serta sikap mengambinghitamkan atau menyalahkan kelompok minoritas
tertentu terhadap terjadinya kemalangan, keterpurukan atau kegagalan di dalam
masyarakat.
Hate crime dapat sangat mungkin untuk terwujud
menjadi kekerasan dan melibatkan atau mengakibatkan luka fisik yang serius
pada diri korban. Dapat berdampak atau memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap emosi dan psikologis pada korban, menghasilkan persepsi akan
kerentanan yang tinggi, menyebabkan depresi, kecemasan, dan perasaan tidak
berdaya. Menimbulkan perlukaan kolektif yang khas pada korban-korbannya.
Hate crime menjadi membahayakan tidak hanya
terhadap korbannya, tetapi juga terhadap komunitas dan masyarakat. Hate crime
merupakan tindakan yang melanggar nilai-nilai bersama, kesetaraan antara
warga dan keharmonisan di dalam masyarakat yang heterogen. Kejahatan yang
bukan saja merupakan serangan terhadap korban individual, melainkan juga
bertentangan dengan komunitas, masyarakat, melanggar hak manusia untuk hidup,
dan melawan fondasi atau dasar dari demokrasi (Chakraborti and Garland,
2015).
Respons penegak hukum
Sejak saat ditemukenalinya hate crime dan
dampaknya, sistem peradilan pidana dan masyarakat kemudian dihadapkan untuk
bereaksi dengan jenis kejahatan, pelaku dan korban yang unik. Kejahatan ini
dipandang sebagai suatu bentuk kejahatan yang unik, dengan landasan pemikiran
bahwa dalam menelaah kejahatan ini harus memperhatikan kejahatan dan motivasi
yang ada dibalik kejahatan tersebut. Dengan demikian, sistem peradilan pidana
perlu mempertimbangkan banyak faktor ketika melakukan reaksi terhadap pelaku
hate crime.
Penjelasan dan analisis terhadap proses
kekerasan yang ditargetkan atau disasarkan pada kelompok minoritas, kemudian
juga tidak dapat dilepaskan dengan melihat atau mendiskusikan belum
berhasilnya polisi untuk menanggapi masalah ini, menyiasatinya, dan banyak
perdebatan lain di sekitarnya.
Polisi, sebagai penjaga gerbang (gate keeper)
dalam sistem peradilan pidana, dipandang sebagai bagian dalam sistem
peradilan pidana yang memiliki paling banyak kendala dan tantangan berat
ketika bereaksi terhadap hate crime. Hal ini disebabkan banyak kelompok dalam
masyarakat, terutama yang berasal dari kelas bawah, memiliki sejumlah
pengalaman yang buruk dan berprasangka negatif terhadap polisi.
Akibatnya, hal ini meningkatkan kemungkinan
bahwa kelompok ini akan mempertahankan persepsi negatif ketika polisi
melakukan penegakan hukum (Miller and Kim, 2009). Hilangnya kepercayaan dan
keyakinan terhadap polisi menyebabkan masyarakat kelas bawah makin rentan
untuk menjadi korban hate crime dan cenderung untuk tidak melaporkan
kejahatan yang terjadi.
Sejumlah kegiatan dapat dilakukan oleh polisi
untuk meningkatkan tanggapan terhadap hate crime. Polisi dapat mengembangkan
berbagai kegiatan yang dapat menggambarkan kesungguhannya kepada masyarakat
minoritas bahwa polisi berusaha untuk dengan serius mengambil ketakutan mereka,
menampakkan keprihatinan yang serius, dan memberi kesadaran dan dukungan
kepada seluruh jajaran bahwa hate crime adalah bentuk serius dari kejahatan
yang lebih dari layak untuk dilakukan pemolisian (McLaughlin, 2001).
Disadari bahwa polisi tidak bisa secara
langsung mengurangi kebencian, tetapi polisi dapat berkontribusi dalam
terciptanya atau terbentuknya lingkungan yang mengurangi kesempatan
terwujudnya kebencian dalam menghasilkan kekerasan.
Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan
layanan yang adil, efektif, dan terbuka untuk semua kalangan masyarakat,
menyediakan ruang untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat, serta
memberikan penjagaan dan pengawalan. Kegiatan ini juga dipercaya dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat untuk membantu upaya penegakan hukum.
Selain itu, jika polisi memanfaatkan definisi
hate crime secara luas dan inklusif, tetapi khusus, akan dapat membatasi
diskresi terhadap hate crime (Miller and Kim, 2009). Polisi juga dapat
meningkatkan pengetahuan tentang hate crime, menggunakan peneliti atau
akademisi yang terlatih khusus untuk membantu memahami dan membantu melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus hate crime, atau membentuk unit investigasi
khusus dengan beranggotakan petugas yang berdedikasi.
Menanggapi hate crime, umumnya kemudian
terfokus pada melibatkan atau berurusan dengan pelaku atau korban setelah
kejahatan telah terjadi, unsur pencegahan sering kali menjadi terlupakan.
Melakukan pencegahan terhadap hate crime, pada dasarnya merupakan upaya
melakukan perubahan yang berarti di dalam masyarakat sehingga akan mencegah
kekerasan yang dilatari oleh kebencian dan bias pada masa yang akan datang.
Diketahui bahwa individu tidak dilahirkan
dengan prasangka, bias, atau kebencian sehingga hate crime pada dasarnya
merupakan hasil dari belajar dalam suatu proses interaksi dan hal ini dapat
dicegah. Mendidik individu untuk menghargai dan merangkul keberagaman akan
mengurangi prasangka dan bias. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar