Meluruskan
Aturan Penanganan Terorisme
Soleman B Ponto ;
Purnawirawan TNI AL;
Kepala Badan Intelijen Strategis
(Bais) TNI Periode 2011-2013
|
KOMPAS, 04 November
2016
Aksi terorisme seakan tidak berujung. Dari
waktu ke waktu, pengungkapan kasus ini menghiasi media massa dan menghantui
perasaan masyarakat.
Sejumlah data ditemukan dan diungkapkan kepada
publik, baik hilir mudik warga masyarakat yang terlibat dalam sejumlah
organisasi di luar dan dalam negeri, aliran dana, maupun proses perekrutan.
Di satu sisi, data dan fakta tersebut menunjukkan bahwa institusi negara
bekerja dan sebagian memberikan apresiasi. Namun, di sisi lain, justru
menunjukkan penanganan selama ini masih menjadi pekerjaan besar yang belum
diselesaikan dari akarnya.
Dari waktu ke waktu, di setiap pengungkapan
aksi terorisme, komentar yang paling sering disampaikan pejabat yang
berwenang adalah ”revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme”.Hal itu termasuk ketika operasi terorisme Tinombala berakhir dengan
tertembaknya buronan kasus terorisme di Poso, Sulawesi Tengah. Saat itu, Tim
Alfa 29 yang berisi anggota TNI berhasil melumpuhkan gembong teroris Santoso
alias Abu Wardah. Muncul desakan agar revisi UU Terorisme dipercepat, dan
kewenangan TNI dalam menindak terorisme ditambah.
Atas wacana di atas, tak banyak yang memahami
antara konsep aturan yang banyak dibahas di tingkat elite dan pemikiran
dengan kondisi di lapangan yang dihadapi aparat. Tulisan ini mengajak pembaca
untuk meluruskan kembali aturan yang sudah ada dan bagaimana implementasinya
di lapangan. Ini penting agar energi dan waktu tidak dihabiskan hanya untuk
melakukan pembahasan, sementara akar masalah, kondisi di lapangan, dan musuh
terus melakukan pergerakan.
Hal lain yang tak kalah penting, dalam
mengatasi aksi teror diperlukan adanya keadilan. Tidak adanya rasa keadilan
berpotensi melahirkan teroris- teroris baru. Rasa keadilan ini tidak hanya
harus dirasakan ”pendukung” aksi teror tersebut, seperti keluarga, juga oleh
korban dan masyarakat lain yang juga mengalami kerugian sebagai akibat dari
serangan teror dimaksud.
Dua aturan ideal
Selama ini aparat keamanan kita telah
dipayungi setidaknya oleh dua aturan. Tahun 2003, masalah aksi teror ini
secara resmi diatur di dalam UU Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Terorisme. UU ini memberikan tugas dan wewenang kepada polisi sebagai unsur
utama dalam memberantas aksi teror tersebut.Setahun berikutnya, pada 2004,
lahirlah pula UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang juga
memberikan tugas dan kewenangan bagi TNI untuk memberantas aksi teror.
UU No 15/2003 memberikan kewenangan kepada
polisi untuk memberantas terorisme dengan cara memidanakan pelaku aksi teror.
Kata kuncinya adalah memidanakan. Dengan kata lain, pelaku terorisme harus
diupayakan ditangkap terlebih dahulu, baru kemudian dibawa ke pengadilan
untuk dipidanakan.
Sementara dalam UU No 34/2004 tentang TNI
memberikan kewenangan kepada TNI untuk mengatasi terorisme dengan cara
melakukan operasi militer selain perang. Sebagai konsekuensi suatu operasi
militer, pelaku diizinkan untuk terbunuh.
Bedanya, TNI yang dalam aturannya dalam
mengatasi terorisme dilakukan dengan caramelaksanakan operasi militer selain
perang dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR atau dapat segera
melaksanakan operasi atas perintah Presiden. Terkait ketentuan yang disebut
terakhir, dalam 2 x 24 jam Presiden harus melaporkan operasi ini kepada DPR.
Bilamana DPR tidak menyetujuinya, operasi harus segera dihentikan.Sementara
Polri dapat segera melakukan operasinya untuk menangkap pelaku aksi teror
tanpa seizin DPR.
Sayangnya, kenyataan di lapangan, sebagian
besar penanganan terorisme oleh polisi bukan di bawah ke ranah hukum untuk
dipidanakan, melainkan langsung dibunuh dengan sejumlah dalih atau
argumentasi untuk pembenaran. Polisi harus secara profesional dan berusaha
agar pelaku aksi teror itu tertangkap hidup-hidup.
Kepada dua institusi di atas, UU tersebut
mutlak untuk dijadikan pedoman dalam melakukan persiapan, ataupun dalam pelaksanaan
pemberantasan aksi teror. Jika Polri merasa tidak sanggup menangkap
hidup-hidup pelaku aksi teror, Polri harus segera melaporkan kepada Presiden
atau kepada Menko Polhukam dan DPR agar selanjutnya Presiden dapat segera
memberi perintah kepada TNI atau keputusan politik dapat segera diambil
pemerintah melalui Menko Polhukam dan DPR untuk segera menugaskan TNI dalam
mengatasi aksi teror tersebut.Ini yang terjadi pada operasi Tinombala yang
bisa dikategorikan berhasil tanpa melanggar hukum.
Teknis di lapangan
Jika mencermati kondisi di lapangan, dalam hal
cara berlatih penanganan terorisme antara TNI dan Polri, keduanya mempunyai
cara yang sama. Latihan personel Polri tidak ada bedanya dengan latihan yang
dilakukan TNI. Begitupun alat yang digunakan. Hal ini terlihat pada latihan
yang dilaksanakan pada 19-24 Desember 2008. Pada peristiwa tersebut, semuanya
diarahkan agar pelaku aksi teror dapat dibunuh. Padahal, keduanya memiliki
peran dan tugas yang sangat berbeda sesuai dengan amanat UU.
Alhasil, ketika saat ini ada pembicaraan untuk
membuat UU perbantuan TNI kepada Polri dalam rangka pemberantasan terorisme,
bisa disimpulkan bahwa ini merupakan bukti para pemangku kepentingan belum
memahami dengan baik UU yang sudah ada. Dengan kata lain, kedua UU tersebut
tidak dijadikan pedoman.
Padahal, hal terpenting yang harus dihindari
dalam upaya mengatasi terorisme adalah jangan sampai melahirkan teroris-
teroris baru yang menjadi anti klimaks dari amanat UU yang ditugaskan pada
(khususnya) TNI dan Polri. Untuk itu, perlu dilakukan pelurusan terhadap
amanat konstitusi dalam pemberantasan terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar