Raibnya
Arsip TPF Kasus Munir
Azmi ;
Direktur Pengolahan Arsip ANRI
(Arsip Nasional RI)
|
REPUBLIKA, 31 Oktober
2016
Raibnya arsip tim pencari fakta (TPF) kasus
Munir menjadi sorotan nasional dan internasional. Hal ini karena arsip TPF merekam
informasi faktual terkait kematian aktivis HAM (Munir) yang melibatkan
sejumlah orang kuat di negeri ini. Apalagi, raibnya arsip TPF terjadi di
kementerian yang berada di ring satu lingkungan Istana Negara.
Praktik kearsipan di lingkungan birokrasi
sejatinya tidak dianggap remeh seperti yang umumnya ada di pikiran birokrat
kita. Sepertinya simpel, tetapi sebetulnya praktik kearsipan di lingkungan
birokrasi merupakan upaya profesional penyelamatan arsip negara sebagai bahan
pertanggungjawaban nasional untuk kepentingan pemerintahan dan pelayanan
publik.
Ironinya, praktik kearsipan yang tidak
profesional justru telah dipertunjukkan oleh Kementerian Sekretariat Negara
(Kemensetneg) yang telah cukup lama melakukan
reformasi birokrasi. Kasus raibnya arsip TPF kasus Munir di
Kemensetneg sebagai contoh lemahnya praktik kearsipan di lingkungan
birokrasi.
Arsip TPF kasus Munir dalam perspektif
informasi publik merupakan informasi yang wajib tersedia setiap saat.
Pemerintah boleh saja mencita-citakan good
governance dan pemerintahan
Jokowi-JK melalui nawacita (angka 2) akan membangun tata kelola pemerintahan
yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya.
Akan tetapi, nyatanya di lembaga kepresidenan
masih terjadi praktik kearsipan yang tidak profesional. Seakan tidak peduli
dengan akuntabilitas, transparansi, dan hak publik.
Tertib arsip
Raibnya arsip TPF kasus Munir di Kemensetneg
merupakan fakta tidak tertibnya pengelolaan arsip kepresidenan (presidential archives) dan menunjukkan
bahwa ada yang salah dengan praktik kearsipan di lingkungan Kemensetneg
sebagai lembaga kepresidenan (executive
office of the president).
Padahal, di Kemensetneg ada unit kearsipan
yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan kearsipan di lingkungan
Kemensetneg dan setiap tahunnya memiliki anggaran untuk kegiatan kearsipan.
Tetapi, karena fungsi unit kearsipannya tidak berjalan optimal dan praktik
kearsipan tidak dilakukan profesional, akibatnya fatal, yakni arsip TPF kasus
Munir yang diserahkan oleh TPF kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai bahan pertanggungjawaban nasional tidak terkontrol secara baik
sehingga raib dan tidak diketahui keberadaannya.
Karena itu, imbauan Menteri Pendayagunan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bersama Kepala Arsip Nasional RI
(ANRI) dalam acara pemberian ANRI Awards kepada
kementerian/lembaga/pemerintah daerah pada 17 Agustus 2016, bertepatan dengan
HUT ke-71 RI untuk melakukan Gerakan Nasional Sadar Tertib Arsip (GNSTA)
menjadi relevan.
GNSTA mestinya bisa dibaca sebagai respons
kegeraman pemerintah terhadap lemahnya praktik kearsipan di lingkungan
birokrasi. Inilah barangkali salah satu cara pemerintah (Kemenpan dan RB,
ANRI) mengetuk kesadaran K/L/pemda agar lebih profesional melaksanakan
praktik kearsipan di lingkungan masing-masing.
TPF kasus Munir dibentuk Presiden SBY melalui
Keppres No 111/2004. Salah satu tugas TPF adalah membuat laporan temuan fakta
kepada Presiden SBY. Informasi dalam laporan TPF antara lain bukti penemuaan
kematian Munir merupakan kejahatan konspiratif, nama-nama yang terlibat, dan
rekomendasi untuk diperiksa lebih mendalam terhadap nama yang terlibat.
Dalam perspektif kearsipan, laporan TPF kasus
Munir adalah arsip negara dengan kategori "arsip terjaga",
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 8 UU No 43 Tahun 2009 tentang
Kearsipan, "arsip terjaga" adalah arsip negara yang berkaitan
dengan keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara yang harus dijaga
keutuhan, keamanan, dan keselamatannya.
Arsip terjaga meliputi arsip yang berkaitan dengan
kependudukan, kewilayahan, kepulauan, perbatasan, perjanjian internasional,
kontrak karya, dan masalah pemerintahan yang strategis. Dalam konteks ini,
arsip TPF kasus Munir merupakan salah satu jenis arsip terjaga yang terkait
masalah pemerintahan yang strategis dan UU Kearsipan mengamanatkan negara
untuk secara khusus memberikan pelindungan dan penyelamatannya.
Jika ditinjau dari konektivitas kerja dan
tindak lanjut hasil temuan TPF kasus Munir, ada beberapa institusi yang
memiliki dan menyimpan arsip TPF, yakni TPF Munir, Kemensetneg, Kejaksaan
Agung, Polri, Mabes TNI, BIN, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kemenko
Polhukam.
Karena arsip TPF kasus Munir sebagai
"arsip terjaga", berdasarkan Pasal 43 Ayat (1), (2), (3) UU No 43
Tahun 2009 tentang Kearsipan, pejabat pada institusi itu wajib memberkaskan
dan melaporkan arsipnya kepada ANRI. Pemberkasan dan pelaporan wajib
dilakukan paling lama satu tahun sejak terjadinya kegiatan.
Arsip TPF kasus Munir diserahkan oleh TPF
kepada Presiden SBY pada 24 Juni 2005. Artinya, jika dilihat waktu
penyerahannya, sudah lama para pejabat pada institusi tersebut mengabaikan
perintah UU.
Menurut Pasal 43 Ayat (3), institusi tersebut
(kecuali TPF) wajib menyerahkan arsip TPF kasus Munir kepada ANRI dalam
bentuk salinan autentik dari naskah aslinya paling lama satu tahun setelah
pelaporan kepada ANRI. Oleh ANRI, salinan arsip TPF kasus Munir disimpan
secara profesional sebagai back up nasional terhadap keamanan dan keselamatan
arsip terjaga.
Jika saja Kemensetneg dan institusi pemerintah
lain yang terkait hasil kerja TPF kasus Munir melaksanakan perintah Pasal 43
Ayat (3), salinan autentik arsip TPF itu kini tersimpan di ANRI sehingga
presiden dapat memanfaatkannya.
TPF kasus Munir dibentuk Presiden SBY. Segala
pembiayaan untuk kebutuhan TPF dalam melaksanakan tugasnya bersumber dari
dana negara. Seluruh arsip yang tercipta atas pelaksanaan kegiatan TPF adalah
arsip negara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 UU No 43 Tahun 2009
tentang Kearsipan bahwa arsip yang tercipta dari kegiatan lembaga negara dan
kegiatan yang menggunakan sumber dana negara dinyatakan sebagai arsip milik
negara.
UU No 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan juga
memuat ketentuan mengenai sanksi administratif dan pidana terhadap pejabat
yang tidak menjaga keselamatan arsip negara secara benar. Sanksi
administratif berupa teguran tertulis, penurunan pangkat, dan pembebasan dari
jabatan. Untuk sanksi pidana berupa pidana penjara satu tahun dan/atau denda
Rp 25 juta.
Jika arsip TPF kasus Munir dilihat sebagai
informasi publik, berdasarkan ketentuan pidana dalam UU No 14/2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik, siapa saja yang menghilangkan informasi publik
diancam pidana penjara dua tahun dan/atau denda Rp 10 juta.
Kita tentunya tidak menginginkan pada kemudian
hari pejabat di K/L/pemda diberhentikan dan/atau dipenjara atas pelanggaran
kearsipan dan informasi publik yang dilakukannya. Pembelajaran dari kasus ini
adalah raibnya arsip TPF kasus Munir di Kemensetneg dan mungkin juga di
institusi terkait lain sebagai akibat buruknya praktik kearsipan di
lingkungan birokrasi.
Semoga ini menjadi momentum pemerintah untuk
melakukan transformasi praktik kearsipan di lingkungan birokrasi sehingga
melahirkan birokrasi yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar