Nalar
Agama dan Nalar Pilkada
Teuku Kemal Fasya ; Dosen
Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
|
SATU HARAPAN, 31
Oktober 2016
Tak ada situasi ketika politik terlihat begitu
religiusnya dan pemeluk agama sedemikian salehnya menjelang politik
elektoral. Seperti juga tak ada perasaan bersalah ketika agama dijadikan
arsenal utama untuk merebut kuasa politik praktis dan pragmatis. Padahal yang
dilakukan tak lebih sebuah politik pengicuhan dan penipuan rendahan (politic of deception).
Aforisme itu semakin menemukan bentuknya saat
ini dan kita temukan di mana-mana. Anda jangan salah paham dulu, saya tidak
bergegas untuk berbicara tentang situasi Pilkada Jakarta. Situasi ini terjadi
di mana-mana, termasuk di tanah kelahiran saya sendiri menjelang Pilkada
serentak 15 Februari 2017.
Tiba-tiba pasangan politik yang terkenal
sekuler pun fasih menggunakan surban dan tasbih untuk politik pengicuhan itu.
Di Aceh ada proses seleksi membaca Al Quran. Bagi pasangan calon yang mampu
mengaji dengan irama yang baik serta-merta akan ditabalkan sebagai calon yang
juga baik sebagai pemimpin. Demikian mitos beroperasi dan melupakan esensi
bahwa menjadi kepala daerah yang dituntut adalah talenta kepemimpinan,
integritas, dan manejerial, dan bukan menjadi pemuka agama.
Namun bukan saja di tempat di mana mayoritas
penduduknya muslim, di tempat lain seperti Manado dan Kupang pun, politik
agama kerap juga digunakan untuk memperkuat politik persuasi hingga
provokasi. Upaya “memperdagangkan agama pada situasi pilkada memang lebih
pekat konsentratnya. Ada pelbagai argumentasi yang kadang membenarkan
fenomena itu.
Menurut Fachri Hamzah, mantan wakil ketua DPR
RI asal PKS, agama adalah serum paling aktif untuk menghidupkan politik
disamping serum-serum lainnya. Bahkan, agama hampir menjadi satu-satunya
pengetahuan sosial publik yang lebih besar pengaruhnya dibandingkan
rasionalitas pengetahuan (Vernunft) dan naluri intelektual (Verstand) -
memakai istilah Immanuel Kant. Agama lebih mampu memacu perubahan, histeria,
atau amuk massa. Agama sedemikian penuhnya menggetarkan sensori publik yang
bisa memengaruhi kebijakan publik.
Apakah perspektif itu cukup tepat? Apakah
agama memiliki rasionalitas dan nalar intelektual yang berbeda dengan nalar
dan rasionalitas pengetahuan pada umumnya? Pandangan ini telah disanggah
seribu tahun lalu dalam khazanah pemikiran Islam.
Nalar Agama
Sebagaimana tercatat pada pemikiran Al Farabi
atau Al Pharabius (Persia, 870-950), Ibnu Sina atau Avicenna
(Uzbekistan/Persia, 980-1037), dan Ibnu Rusyd atau Averroes (Cordova,
1126-1198), nalar agama sesungguhnya tidak lepas dari nalar pengetahuan
umumnya. Agama secara historis memang tidak hadir dari rahim filosofis dengan
argumentasi sekularistik yang diuji dan dibantah secara bebas dan demokratis.
Meskipun demikian, kemudian hari nalar agama berkembang dan ikut selaras
dengan nalar pengetahuan. Hal itu karena agama dan pengetahuan sama-sama
menapaki tujuan satu yaitu mendapatkan kebenaran.
Ibnu Sina yang terkenal dengan teori
emanasinya menyebutkan bahwa nalar manusia sesungguhnya pancaran dari nalar
Tuhan sebagai yang pertama (prima causa).
Upaya manusia memecah misteri di dunia ini didasarkan pada bekerjanya akal
aktif, termasuk memecah persoalan dan misteri di dalam ayat-ayat Al Quran. Jika
dianggap Al Quran adalah pancaran nalar Tuhan, maka nalar Tuhan itu harus
bisa bekerja di dalam nalar manusia untuk mendapatkan kebenaran. Tidak ada
usaha lain mengaktifkannya kecuali dengan pengetahuan. Kita kerap menganggap
istilah nalar murni dimunculkan pertama kali oleh Immanuel Kant (Critique of
Pure Reason/Kritik der reinen Vernunft, 1781), padahal Ibnu Sina telah
mengemukakannya 800 tahun sebelumnya.
Demikian pula penggunaan filsafat dan
metodologi ilmiah bukan sesuatu yang harus diasingkan dari kitab suci. Al
Quran sebagai kitab yang penuh metafora, alegori, historisia tanpa
kronologia, dan frasa puitika hanya dapat dibedah jika menggunakan metodologi
filsafat, termasuk filsafat Aristotelian. Apa yang secara filsafati bisa
dibuktikan benar, maka benar pula dalam tafsir agama.
Ibnu Rusyd bahkan mengkritik secara lugas buku
Al Ghazali Thahafut al-Falasifah (Kekeliruan Filsafat) yang menyatakan nalar
Islam terpisah dari pengetahuan filsafat Yunani. Al Ghazali (1058-1111)
mengatakan filsafat Yunani memiliki inkoherensi jika digunakan memahami nalar
Islam. Dalam bukunya Tahafut at-Tahafut (Kekeliruan dalam Kekeliruan), Ibnu
Rusyd menemukan inkonsistensi pemikiran Al Ghazali, karena secara tak sadar
ia malah menggunakan logika Aristotelian seperti silogisme dan analogi.
Gagasan unifikasi pengetahuan agama dan pengetahuan umum ini dimunculkan
secara monumental (meskipun bukan pertama) oleh Ibnu Rusyd, sebelum Thomas
Aquinas mengemukakannya dalam Summae Theologiae. Agama dan pengetahuan bukan oposisi biner
yang tidak bertemu, tapi bisa saling bermesraan.
Demikianlah, akhirnya goncangan-goncangan
terjadi di dalam agama ketika filsafat dan pengetahuan empirisme “menemukan”
sesuatu yang secara literal “berbeda” dengan tafsir kitab suci. Dalam tradisi
gereja goncangannya terjadi sejak “revolusi Copernicus” – mengutip istilah
Thomas Kuhn. Dalam dunia Islam, goncangan pengetahuan terjadi sejak observasi
astronomis Ibnu al-Shatir (1304-1375) tentang teori heliosentrisme
menggantikan “teologi geosentrisme” yang
bertahan tujuh abad lamanya. Bahkan teori Ibnu Al Shatir lebih dahulu hadir
daripada teori Nicolaus Copernicus (1473-1543). Jejak-jejak pengetahuan
berdasarkan pendekatan observasi, filsafat empirisme, verifikasi, refutasi,
dan falsifikasi akhirnya menggusur tafsir arkaik agama tentang kebenaran.
Sayangnya revolusi pengetahuan dunia Islam itu
tidak menjadi arus utama. Yang berkembang di dunia Islam kontemporer adalah
konservatisme warisan Al-Ghazalian-Ibnu Taymian, dan bukan progresivisme Farabian-Rusydian
yang menjadikan gairah keilmuan sebagai nilai-nilai imanen dan promotif dalam
Islam.
Nalar Pilkada
Demikian pula kehadiran pilkada sebagai
konstruksi politik baru di Indonesia. Nalar pilkada harus dilihat sebagai
pergulatan dialektis bangsa Indonesia pascareformasi dalam merumuskan
demokrasi lokal. Pilkada adalah manifestasi politik dan etik lokal yang
dimulai beroperasi melalui UU No. 32 tahun 2004 dan kini dalam UU No. 8 tahun
2015. Logika dan etika demokrasi, egaliterisme, kebangsaan, dan keberagamaan
menjadi bagian yang sebelumnya muncul dalam wacana politik nasional kini
turun menjadi praktik diskursif politik di tingkat lokal.
Namun aspek etik, moral, dan norma pilkada
dalam turbulensi demokrasi itu masih kurang dipahami. Dalam banyak
praktiknya, politik elektoral lokal kerap bersemi menjadi politik purba yang
penuh sentimen tribalisme-etnisisme-agama. Akhirnya pilkada tidak
berdialektika dengan kematangan politik partisipannya tapi menegang dan
berkontraksi secara negatif. Tidak ada harmoni yang dihasilkan dengan
semangat demokrasi lokal seperti itu. Anehnya, ketika nilai komunisme
ditolak, praktik Stalinisme dengan politik kekejaman dan menghalalkan cara
demi mencapai tujuan malah dilakukan, oleh kaum yang mengaku agamawan.
Dari catatan Jaringan Antariman Indonesia
(JAII) saat menyusun laporan tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan
(Freedom of Religion or Belief) untuk Komisi HAM PBB (Universal Periodic
Review), momentum pilkada kerap menjadi jalan memuluskan politik diskriminasi
atas minoritas. Di Batuplat, Kupang, masalah pelarangan pembangunan mesjid
masuk dalam isu pilkada. Di Manado juga terjadi persaingan antardenominasi
Kristen dan privilese kepada umat tertentu. Di Singkil isu gereja selalu
masuk dalam siklus lima tahunan sejak era reformasi. Dalam catatan riset
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, ditemukan fakta bahwa
perda-perda bernuansa Syariat Islam dan diskriminatif kerap diproduksi
petahana untuk mempertahankan kekuasaannya dan memenangkan histeria publik
pada periode kedua.
Kasus paling hangat tentu saja menyangkut
Ahok. Memang harus disadari, sikap Ahok ketika berdialog dengan masyarakat
Pulau Seribu tentang QS Al Maidah ayat 51 adalah keliru dan tidak patut
secara etika politik. Pertama ia bukan orang yang berkompeten untuk berbicara
itu. Kedua, pola komunikasinya sangat rentan disalahtafsirkan, dan ketiga
situasinya tidak dalam momentum kampanye, sehingga penyampaian hal-hal yang
berbau politik persuasi-agitasi seharusnya dihindari.
Namun respons publik yang merasa terhina
dengan pernyataan Ahok juga sudah keluar dari konteks gerakan demokrasi.
Aksi-aksi massa yang terjadi telah menjurus pada kepentingan politik praktis,
tidak murni sebuah anjuran moral agama. Yang terjadi malah politik ad homimem:
menghina pribadi, etnisitas, dan pelecehan atas keyakinan agama lain. Bahkan
berkembang totaliterisme tafsir atas ayat itu, padahal peradaban Islam telah
tegak dengan pluralisme tafsir.
Yang paling mengerikan dari situasi ini, bukan
hanya cuplikan gambar yang telah menjadi viral tentang terjemahan kata awlia
QS Al Maidah ayat 51 dengan kalimat “telah diubah dari pemimpin menjadi teman
setia”, dan ternyata fitnah keji yang dilakukan kelompok orang tidak
bertanggung-jawab, tapi penggusuran logika demokrasi dan konstitusi menuju
logika teokrasi; sesuatu yang sejak awal bukan fondasi bangsa ini.
Seharusnya nalar agama tidak kontradiktif
dengan nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan, kemanusiaan,
demokrasi, dan keberagaman. Nalar agama seharusnya progresif dan proaktif
dengan situasi yang berkembang dalam konteks historisitas masyarakat dan
normativitas kebangsaan. Untuk konteks Indonesia, agama seharusnya tidak lagi
dipertentangkan dengan konstitusionalisme Pancasila dan UUD 1945 dan kerangka
nasionalisme Bhinneka Tunggal Ika.
Agama karenanya jangan menjadi kuda Troya yang
dipacu oleh demagog untuk kepentingan sempit dan permusuhan. Demikian pula
pilkada seharusnya menjadi momentum ekseminasi demokrasi lokal yang bersifat
profan, produktif, dan menggembirakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar