Islam,
Keberagaman, dan Ahok
Dahnil Anzar Simanjuntak ;
Ketua Umum Pimpinan Pusat
Pemuda Muhammadiyah
|
REPUBLIKA, 27 Oktober
2016
Seorang pria paruh baya mendatangi saya
setelah menyampaikan tabligh di salah satu kota di Sulawesi Tenggara beberapa
waktu lalu. Dengan nada kesal, dia menyampaikan caci makinya kepada Ahok.
Dan, dengan nada marah, dia juga menuding saya tidak maksimal membela
kehormatan Islam karena sudah diperhinakan oleh Ahok.
Saya mendengar tanpa membantah dan
menyampaikan kalimat pendek, "Kita wajib memaafkan Ahok ketika dia sudah
meminta maaf atas kealpaannya. Masalah hukum, kita serahkan kepada
kepolisian. Jangan pernah bersikap dan bertindak di luar hukum."
Namun, pria paruh baya ini kelihatan tidak
puas dan meminta saya bersikap lebih tegas. Saya hanya mengangguk. Meskipun
begitu, terus terang saya tidak tahu persis seperti apa sikap lebih tegas
tersebut.
Ekspresi kemarahan di Sulawesi Tenggara itu
pun saya temukan dalam setiap kesempatan tabligh di beberapa daerah yang saya
hadiri belakangan ini, serta demonstrasi besar yang terjadi di banyak daerah
Indonesia. Pertanyaan dan tema pengajian yang mereka minta, sebagian besar
terkait sikap dan upaya hukum yang dilakukan Pimpinan Pusat Pemuda
Muhammadiyah terkait dugaan ujaran kebencian dan penistaan, yang dilakukan
Ahok di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu.
Fenomena kemarahan umat Islam terhadap Ahok
sejatinya tidak terkait dengan apa agama Ahok, tetapi sebagai politikus dan
pejabat publik Ahok dinilai miskin etika dan rendah literasi keberagaman
karena berani masuk dalam tafsir kitab suci agama lain. Dengan kata lain,
berani "mempersalahkan keyakinan umat beragama lain" melalui ujaran
"membodohi pake surat al-Maidah 51".
Padahal, umat Islam sudah terbiasa dengan
debat perbedaan tafsir berkenaan dengan teks Alquran. Khazanah fikih yang
berbeda-beda dalam pelaksanaan ibadah antara Muhammadiyah dan NU, misalnya,
tidak menjadi isu besar yang memecah belah umat.
Tidak akan pernah Muhammadiyah dan NU saling
tuding terkait dengan berbagai perbedaan perspektif keagamaan, apalagi
menyebut kelompok lain membodoh-bodohi. Perbedaan tersebut selama ini dirawat
sebagai kekuatan kekayaan khazanah Islam di Indonesia.
Keberagaman
Nalar ilmiah umat Islam Indonesia sudah
terbiasa dengan keberagaman, dan bergembira dengan fakta keberagaman itu. Apa
yang dilakukan dan diucapkan Ahok di Pulau Seribu beberapa waktu yang lalu
adalah ancaman serius terhadap keberagaman dalam Islam dan keberagaman
Indonesia.
Sejarah perumusan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, yang dilakukan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 telah membuktikan bagaimana tokoh-tokoh
Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo, KH Wahid Hasyim,
Mr Teuku Mohammad Hasan, dan tokoh Islam lainnya dengan besar hati demi
persatuan bangsa dan negara Indonesia mengganti kalimat, yang berbunyi
"Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa".
Keputusan mengganti rumusan awal Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yang telah disusun oleh Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Panitia Sembilan pada 22 Juni
1945, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, dilakukan setelah ada protes dari
wakil-wakil Protestan dan Katolik di Indonesia bagian timur.
Di antaranya, disampaikan oleh salah satu
opsir Kaigun (Angkatan Laut) kepada Mohammad Hatta, yang menyatakan
"mereka berkeberatan dengan kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945", yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Mereka mengakui, kalimat tersebut tidak
mengikat mereka dan hanya mengikat rakyat Indonesia yang beragama Islam.
Namun, kalimat itu tercantum dalam Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar
negara. Berarti negara melakukan diskriminasi terhadap golongan minoritas.
Jika diskriminasi ini ditetapkan juga, mereka lebih suka memilih berdiri di
luar Republik Indonesia.
Sikap negarawan dengan nalar keberagaman untuk
merawat persatuan Indonesia, yang ditunjukkan tokoh Islam Ki Bagus
Hadikusomo, Mr Kasman Singodimedjo, KH Wahid Hasyim, dan Teuku Mohammad
Hasan, menjadi langkah bersejarah yang menunjukkan umat Islam Indonesia ingin
hidup merdeka dan sejahtera dalam keberagaman dan bergembira dengan
keberagaman tersebut.
Sikap ini masih terus diwarisi oleh sebagian
besar umat Islam. Bahkan, Muhammadiyah melalui Muktamar Makassar tahun lalu
kembali mempertegas sikap persyarikatan, yang menyatakan bahwa Pancasila
sudah final sebagai hasil konsensus nasional prinsip dasar bernegara dan
berbangsa untuk mencapai Indonesia yang maju, adil, makmur, dan berdaulat
dalam naungan ridha Allah SWT. Dalam bahasa Persyarikatan Muhammadiyah,
Pancasila adalah darul ahdi wa syahadah.
Jadi, ketika ada beberapa tokoh yang mengaku
mengusung keberagaman dan toleransi menyatakan, "Terpilih atau tidaknya
Ahok sebagai gubernur DKI adalah ujian bagi bangsa Indonesia, apakah masih
menghadirkan Pancasila atau tidak sebagai dasar negara". Bagi saya,
pernyataan tersebut adalah politisasi rasial yang dipenuhi dengan tuduhan
antikeberagaman kepada umat Islam Indonesia.
Seolah ingin menyatakan, bila Ahok tidak
terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta, bangsa Indonesia tidak lagi
menghadirkan Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Seolah ingin memaksakan
kehendak, bila masih mau disebut sebagai negara yang mengusung Pancasila,
Ahok harus jadi gubernur DKI Jakarta.
Mereka mempertontonkan lakon playing victim,
menempatkan Ahok sebagai korban sikap dan perilaku SARA. Di sisi lain, mereka
juga menuduh pihak-pihak yang protes dan marah serta melaporkan Ahok ke
polisi, sebagai pihak yang antikeberagaman dan toleransi juga ditunggangi
oleh kepentingan politik lawan Ahok.
Kehadiran negara
Tengok saja, tidak ada kemarahan dan protes besar
terkait kepemimpinan Wali Kota FX Hadi Rudyatmo di Solo, meskipun Solo sering
diposisikan sebagai daerah kaum radikalis bersemayam. Jadi, kemarahan
terhadap Ahok sekali lagi bukan karena dilatarbelakangi oleh kontestasi
politik, yang sedang berlangsung di DKI Jakarta.
Kemarahan itu muncul karena sikap dan laku
Ahok sendiri yang antikeberagaman dan tidak menghormati keberagaman dan
toleransi dalam Islam dan Indonesia, yang kemudian menyulut berbagai reaksi
kemarahan yang bila tidak disikapi dengan hati-hati bisa merusak toleransi
dan keberagaman Indonesia, yang selama ini telah kita rawat dengan baik.
Maka itu, kehadiran negara melalui penegakan
hukum penting dalam menyelesaikan kasus Ahok ini. Kesadaran kolektif publik
memilih jalur hukum dengan melaporkan Ahok ke polisi, patut diapresiasi
sebagai bukti bahwa rakyat Indonesia menghormati Indonesia sebagai negara
hukum.
Oleh sebab itu, polisi harus bekerja secara
profesional untuk menghadirkan keadilan yang sedang dicari oleh rakyat
Indonesia, khususnya umat Islam. Tentu, di balik upaya hukum tersebut, saya
dan tokoh-tokoh Islam lain telah berkali-kali mengajak rakyat Indonesia,
khususnya umat Islam, untuk menerima dengan tulus permohonan maaf yang
disampaikan Ahok.
Tidak perlu pula melakukan tindakan di luar
hukum, yang justru akan berdampak negatif terhadap keberagaman Indonesia,
yang telah dirawat baik oleh umat Islam dan seluruh umat beragama di
Indonesia. Seperti pesan Buya Syafii Maarif, "Ahok sudah minta maaf maka
maafkanlah, dan selesaikan dengan cara yang baik".
Dan, jalan yang baik itu adalah jalan hukum. Nasrun minallah wa fathun qarib. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar