Pilkada
dan Defisit Imajinasi
Asep Salahudin ; Dekan
Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya;
Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa
Barat
|
KOMPAS, 08 November
2016
Salah
satu tema yang tidak pernah selesai dipercakapkan adalah agama.
Diperbincangkan
terbentang mulai dari yang bersemangat menampilkan sisi ideologis,
epistemologis, mistis, sampai yang beraroma politis. Bahkan, dalam konteks
keindonesiaan ketika proses pencarian dasar negara, salah satu yang menyita
perhatian adalah isu agama sebelum pada akhirnya ditemukan rumusan ”Ketuhanan
Yang Maha Esa” sebagai bagian Pancasila yang kemudian disepakati semua pihak.
Bagi
saya, rumusan itu melambangkan agama yang ikut berpartisipasi di ruang publik
di satu sisi dan di sisi lain bagaimana para bapak pendiri bangsa memberikan
respons penalaran agama yang inklusif, lapang, dan kosmopolit. Mereka tahu
bahwa kebinekaan adalah realitas keindonesiaan dan masyarakat agama merupakan
fakta keseharian. Maka, rute yang harus ditempuh bukan negara agama, juga
bukan pula negara sekuler, melainkan jalan tengah yang mampu mendayung di
antara keduanya.
Sebuah
ijtihad politik keagamaan yang visioner. Agama dihadirkan bukan sisi
syariahnya, melainkan hakikatnya. Bukan ”abunya”, melainkan ”apinya”.
Agama
yang ditarik ke ruang kebangsaan lebih pada dimensi keutamaan universal atau
”kebaikan bersama” (common good)—
dalam bahasaJohn Rawls—setelah melalui penalaran publik (public reason), setelah diperdebatkan secara rasional, diskursif,
mendahulukan akal sehat dan menjadikan kepentingan bersama sebagai haluannya,
serta keberadaban publik sebagai tujuannya.
Maka,
pilihan yang disepakati dan diletakkan sebagai sila pertama adalah ”Ketuhanan
Yang Maha Esa” itu. Sebuah sila yang meneguhkan bagaimana spirit keagamaan
diposisikan satu helaan napas dengan kebangsaan. Atau, dalam bahasa Bung
Karno, ”Hendaknya negara Indonesia adalah negara yang tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya
bertuhan secara kebudayaan, yang dengan tiada ’egoisme agama’. Dan hendaknya
negara Indonesia satu negara yang bertuhan”.
Penghapusan
tujuh kata ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” sesungguhnya harus dibaca sebagai peleburan politik
identitas-aliranmenuju politik kebangsaan non-sektarian. Dan, terbukti
Pancasila telah hadir memberikan jaminan tentang politik keragaman. Pancasila
menjadi payung bagi pluralisme dan multikulturalisme.
Tentu
saja, kesaktiannya terletak bukan saja pada sila-silanya yang padat makna,
melainkan juga pada keinsafan warga negara agar secara ikhlas penuh kesadaran
masuk dalam jantung pengalaman kemajemukan. Empu Tantular dalam Sutasoma
menyebutnya sebagai ”Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.
Miskin
imajinasi
Tragisnya,
awal abad XXI, setelah kita menghirup atmosfer kemerdekaan yang ke-71, justru
nalar keberagamaan kaitannya dengan ruang publik bernegara menampakkan gerak
balik ke arahmenikung.Sumbu imajinasi berbangsa dan bernegara semakin pendek.
Imajinasi multikultural (multicultural imagination) telah hilangdan serentak
setelahitu yang mengapungke permukaan adalah kecenderungan rasisme, nafsu
menganggap liyan sebagai sesat, bidah, dan kafir.
Defisit
imajinasi itu yang bikin umat beragama lebih berminat mengambil jalan pintas
memburu surga dengan melakukan bom bunuh diri, menghadirkan masa silam serba
arkaik (khilafah) sebagai fantasi politik, menginterpretasikan kitab suci
secara harfiah dan dicerabut paksalatar kesejarahan dan korelasi antar
ayat-Nya (munasabah).
Orang
belajar beragama tidak lagi pergi ke pondok pesantren mengaji kitab kuning
kepada kiai bertahun-tahun, tetapi merasa cukup dengan membaca status- status
keagamaan di Facebook. Juga merasa puas hanya dengan menyimak fatwa dan
petuah dari ustaz di televisi dan radio.
Maka,
tak heran,tanpa berpikir panjang sosok-sosokyang tak disangsikan tradisi ilmu
dan penguasaan literasi keislamannya semacam Abdurrahman Wahid, Nurholish
Madjid, Quraish Shihab, Syafii Maarif, dan Said Aqil Sirojdipandang keliru
dan menyesatkan sambil dengan mudah mengutip hujjah (sembari penuh hujatan)
dari ustaz yang tak jelas jalur sanad keilmuannya,kecuali sekadar
mengandalkan retorika dan menumpang hiruk-pikuk budaya agama populer.
Tentu
saja yang namanya budaya populer, termasuk dalam keberagamaan, melekat di
dalamnya watak-watak pendangkalan, selera massa, banal, dan bekerja
digerakkan hasrat ”melipatgandakan” secepatnya apa yang diketahui tanpa
merasa harus memeriksa terlebih dahulu benar dan tidaknya, sahih dan
dhaif-nya, yang imanen dan transenden dibiarkan berbaur. ”Tanda” dianggap
lebih penting ketimbang realitas, kemeriahan lebih utama daripada
penghayatan, citra mengalahkan fakta. Fenomena Kanjeng Dimas Taat Pribadi dan
Gatot Brajamusti yang keduanya dipandang guru spiritual juga sesungguhnya
dapat dibaca dari sisi ini.
Pembajakan
ruang publik
Hanya
pada periode ini jabatan kapolda dan gubernur harus diperiksa agamanya. Ruang
publik dibajak kaum puritanuntuk mendesakkan keinginan politik dan agamanya
yang telah ditafsirkan secara sepihak dan cenderung serampangan.
Kalau
pada masa Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI)kita temukan perdebatan
menggetarkan ketika mendiskusikan agama dan negaradari Muhammad Yamin, RAA
Wiranatakoesoema, Sukiman Wirjosandjojo, Radjiman Wediodiningrat, Agoes
Salim, KH Sanusi, Supomo, Wahid Hasyim, Abdul Kadir, Ki Bagoes Hadikoesoemo,
Hatta dan bahkan juga melibatkan Soekarno, maka hari ini yang saya dapati tak
lebih adalah sumpah serapah yang dipanggungkan dengan tujuan yang entah apa
di baliknya.
Tiba-tiba
momentum pemilihan kepala daerah yang semestinya jadi arena menawarkan visi,
misi dan program yang bisa menyejahterakan segenap warga tanpa melihat asal
usulnya, justru jadi ajang panas memperdebatkan ayat-ayat kitab suci.
Politik bergeser dari upaya agung
perwujudan citizenship- politicske arah politik partisan
religion/ethnicity-based politics. Agama telah pudar wajah kritisnya, dan
yang mencuat ke ruang publik adalah jubah dogmatisnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar