Pergeseran
Kepemimpinan Jokowi
Rizal Mallarangeng ; Pendiri
Freedom Institute Jakarta
|
KOMPAS, 08 November
2016
”Indonesia’s
Widodo, maverick no longer”. Itulah judul kolom
Hamish McDonald di Nikkei Asian Review baru-baru ini. Wartawan senior
Australia ini rupanya mulai khawatir: Presiden Jokowi, setelah dua tahun
memerintah, berubah menjadi politisi normal, bukan lagi pendobrak yang
militan, maverick.
Pesimisme
McDonald seperti ini berasal dari hasil penelitian Eve Warburton, ilmuwan
politik di Australian National University. Penelitian Warburton menarik
karena setidaknya dia memberi kerangka yang sistematis untuk mendiskusikan
ciri khas pemerintahan Jokowi yang saat ini sudah memasuki tahun ketiga.
Konsepnya yang mencuri perhatian adalah neo-developmentalisme. Ia
mengingatkan kita pada perdebatan lama tentang karakteristik pemerintahan
Jenderal Soeharto.
Dengan
konsep ini, Warburton berargumen bahwa Jokowi—setelah menang pilpres dengan
citra kerakyatan yang berada di luar sistem—kini mengembangkan praktik
patronase yang sama dengan sebelumnya. Bedanya, kalau Pak Harto otoriter,
Jokowi harus bermain dalam panggung demokrasi.
Namun,
esensi keduanya sama: the exercise of
power digunakan untuk mencapai tujuan non-kerakyatan, seperti deregulasi,
disiplin fiskal, pengembangan infrastruktur, dengan menafikan tujuan lainnya.
Dalam hal Jokowi, Eve Warburton menjelaskan bahwa kini semangatnya untuk
memimpin gebrakan pemberantasan korupsi sudah menipis, sementara kemampuannya
untuk melakukan manuver politik justru semakin canggih dan licin.
Jadi,
singkatnya, seperti dikatakan Hamish McDonald di atas, Presiden Jokowi
sekarang sudah menjadi normal: seorang pemimpin yang beradaptasi dan
memanfaatkan lingkungan sekitarnya, bukan mengubah, apalagi mentranformasikan
lingkungan tersebut. Sang penguasa telah menghirup opium kekuasaan yang
membius.
Benarkah?
Terhadap
argumen yang lumayan berat seperti itu, apa yang bisa kita katakan? Saya
cenderung melihat konsep Eve Warburton sebagai sebuah konstruksi intelektual
yang agak berlebihan. Namun harus diakui, pengamatan ilmuwan muda dari
”Negeri Kanguru” ini terhadap evolusi kekuasaan Jokowi cukup jeli dan
cenderung akurat. Kita setuju pada fakta yang dia ungkapkan: setelah tersudut
dan terombang-ambing di tahun pertama, mantan Wali Kota Solo itu kini telah
menguasai medan sepenuhnya tanpa oposisi yang berarti. The prince is now reigning supreme.
Pertanyaan
kita adalah apakah fakta tersebut berhubungan langsung dengan praktik
patronase politik, sebagaimana yang disimpulkan Eve Warburton? Patronase
seperti apa persisnya yang dipersoalkan di sini?
Katakanlah
Partai Golkar: setelah berubah dari oposisi menjadi pendukung pemerintah,
salah seorang kadernya mendapat kursi di kabinet, yaitu Airlangga Hartarto,
Menteri Perindustrian. Bagi saya, hal ini bukanlah praktik patronase, tetapi
lebih sebagai seni membangun koalisi yang memang niscaya dalam demokrasi.
Lagi pula, pilihan terhadap Airlangga cukup meritokratis, sebab dia mampu dan
memiliki pengalaman panjang dalam perumusan kebijakan industri.
Kita
tentu boleh mengkritik pilihan pada Airlangga, sebagaimana kita bisa saja
menolak pengangkatan Wiranto sebagai Menkopolhukam karena perannya dalam
prahara Timor-Leste dulu. Namun, semua itu harus didasarkan pada argumen
spesifik yang bersifat individual, tidak bisa disamaratakan begitu saja
dengan mengatakan bahwa kedua tokoh tersebut adalah bagian dari patronase
politik.
Contoh
kecil ini mengharuskan kita berhati-hati dalam membuat sebuah kesimpulan
umum. Konsep besar, seperti sistem patronase politik, memang enak didengar
dan menarik sebagai bahan diskusi akademik. Tapi kalau sembarangan, konsep
tersebut malah akan mengacaukan pengertian kita pada kenyataan yang
sesungguhnya.
Prioritas
Masalah
berikutnya dalam penjelasan Eve Warburton adalah pada pilihan prioritas
kebijakan Jokowi. Dalam kondisi Indonesia saat ini, apakah pendobrakan yang
transformatif hanya dapat dilakukan lewat kebijakan anti korupsi yang
bergelora? Membangun jalan raya, mengefisienkan badan usaha milik negara
(BUMN), membuka lapangan kerja; kalau semua ini berhasil dilakukan, apakah
akibatnya tidak transformatif? Apa persisnya yang kita maksud dengan
transformasi masyarakat?
Seorang
ilmuwan tidak bisa berlindung di balik konsep besar seperti
neo-developmentalisme untuk menghindari pertanyaan seperti itu. There must be
a conceptual justification, suatu hal yang sayangnya tidak dilakukan Eve
Warburton. Hal ini membuat analisisnya terkesan sepihak, lebih mirip sebagai
pamflet politik, bukan uraian akademis yang dingin dan berimbang.
Selain
itu, dalam soal prioritas kebijakan, saya melihat bahwa sejauh ini Jokowi
tidak terpenjara, tetapi tumbuh dalam kekuasaan. Ia telah meninggalkan
retorika era kampanye, dengan memilih kebijakan yang memang perlu dan mungkin
dilakukan. Kalau dia berkeras untuk setia pada citranya semula sebagai
kandidat di luar sistem—seperti yang diharapkan Eve Warburton, Hamish
McDonald, dan banyak tokoh lainnya di dalam dan luar negeri—maka sekarang
Jokowi mungkin sudah kebingungan sendiri, terkucil dari pemerintahan yang
harus dipimpinnya.
Pergeseran
posisi demikian boleh saja disebut sebagai normalisasi Jokowi. Sebutan ini
hanya masalah semantik. Yang jelas, kita justru patut bersyukur bahwa dia
telah berubah.
Pertanyaan
penting sekarang adalah apakah dengan kekuasaan eksekutif yang kini
sepenuhnya telah ia kendalikan, plus dukungan mayoritas kursi di DPR,
Presiden ke-7 RI ini memang mampu mengukir sukses besar? Mampukah dia membuka
lapangan kerja seluas-luasnya, meningkatkan taraf pendidikan secara berarti,
membangun jalan tol 1.000 kilometer?
Semoga
Jawaban
semua itu tentu tidak bisa diberikan sekarang. Kita masih perlu bersabar satu
atau dua tahun lagi. Pada saat itulah kita bisa menilai apakah Jokowi akan
menjadi tokoh transformatif atau sebaliknya, seorang pemimpin yang hanya
sibuk dengan akumulasi kekuasaan demi kekuasaan itu semata.
Buat
saya, dari segi kebijakan, arah perjalanan Jokowi sekarang sudah di jalur
yang benar. Kondisi perekonomian dunia memang sedang tidak bersahabat, tetapi
hal ini pasti tidak permanen. Lagi pula, masih banyak hal yang bisa dilakukan
agar Indonesia keluar dari perangkap negara berpenghasilan menengah, middle
income trap, yang bisa membuat kita hanya berjalan di tempat.
Jokowi
memiliki sejumlah menteri yang andal. Kombinasi Sri Mulyani dan Rini
Soemarno, dua perempuan cerdas yang tangguh dengan posisi kabinet paling
strategis, serta beberapa tokoh lainnya, yaitu Luhut Pandjaitan, Susi
Pudjiastuti, Basuki Hadimuljono, dan Ignasius Jonan, mestinya sudah lebih
dari cukup untuk melakukan banyak terobosan. Dengan pembantu sekaliber
mereka, plus sedikit keberuntungan, Jokowi seharusnya bisa menggerakkan
gunung.
Kita berdoa semoga semua itu memang
terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar