Dicari,
Laporan TPF Munir!
Usman Hamid ;
Mantan Sekretaris Tim Pencari
Fakta (TPF)
Kasus Meninggalnya Munir Said
Thalib
|
DETIKNEWS, 02 November
2016
Baru-baru ini, Komisi Informasi Pusat (KIP)
memenangkan permohonan istri alm. Munir Said Thalib, Suciwati, KontraS dan
LBH Jakarta agar pemerintah pusat mengumumkan Laporan Tim Pencari Fakta (TPF)
Kasus Meninggalnya Munir. Jika Pemerintah menindaklanjutinya secara
positif-proaktif, maka Keputusan KIP adalah terobosan kreatif yang dapat
menerangi gelapnya penyelesaian kasus ini pasca dibebaskannya Deputi V Badan
Intelijen Negara (BIN) Mayor Jenderal (purnawirawan) Muchdi Purwopranjono
(31/12/2008) dan bebas bersyaratnya Pollycarpus Budihari Priyanto
(28/11/2015).
Sayang sekali, Kementerian Sekretaris Negara
(Kemensesneg) sebagai pihak termohon yang mewakili pemerintah masih belum
melaksanakan putusan KIP untuk mengumumkan hasil TPF. Alasannya, Kemensesneg
'tidak memiliki atau menguasai dokumen' dimaksud dan Kemensesneg tak pernah
menjadi bagian dari pembentukan TPF' (12/10/2016). Senada, Jaksa Agung M.
Prasetyo membantah instansinya pernah jadi bagian dari TPF Munir, apalagi
menyimpan dokumennya. Sikap menyanggah ini mereda usai juru bicara Presiden
Johan Budi dan Kepala Staf Presiden Teten Masduki menyatakan bahwa Presiden
Jokowi memerintahkan Prasetyo mencari dokumen tersebut dan Presiden
menginginkan kasus Munir dituntaskan.
Tulisan ini menjelaskan bagaimana kita
memaknai putusan KIP sebagai alat perjuangan baru, dan 'hilangnya' dokumen
TPF Munir di instansi pemerintah sebagai kendala serta mengapa respon positif
dan proaktif negara untuk mengumumkan laporan TPF sangat dibutuhkan.
Peluang Baru: KIP
Putusan KIP meminta Pemerintah untuk
mengumumkan hasil TPF karena isi laporan TPF dinyatakan sebagai informasi
publik. Putusan ini merupakan terobosan kreatif karena biasanya ketika
meminta pemerintah membuka dokumen investigasi HAM maka korban dihadapkan
pada dalih 'kerahasiaan negara', 'keamanan nasional' atau 'projustisia'. Kali
ini laporan investigasi TPF pemerintah dinyatakan sebagai informasi publik
meski berisi fakta-fakta permufakatan jahat petinggi-petinggi instansi negara
waktu itu yang terlibat membunuh Munir.
Sejak kematian suaminya, Suciwati sendiri
telah mendatangi hampir semua petinggi negara. Setiap tahun pula ia
menyuarakan perlunya laporan TPF diumumkan. Agar masyarakat tahu dan tak lupa
mengapa suaminya dibunuh. Tapi usahanya membentur tembok. Proses hukum
berhenti pada pemidanaan Pollycarpus, seorang co-pilot Garuda yang melaksanakan
'tugas' melalui surat-surat janggal dari Garuda dan terutama suatu lembaga
negara sebab diduga juga bekerja sebagai staf non-organik.
Tak jelas apa motif keterlibatan pilot ini,
sementara hukuman yang dijalaninya tak sampai separuh waktu dari total hukuman
20 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung. Itu pun sudah lebih
berat dari vonis 14 tahun penjara oleh PN Jakarta Pusat yang sempat menjadi 2
tahun penjara karena hanya terbukti menggunakan surat palsu, bukan membunuh
Munir.
Memang ada penghukuman terhadap aktor lain,
misalnya Direktur Utama Garuda ketika itu, Indra Setiawan, dan Rohainil Aini.
Indra divonis karena menempatkan Pollycarpus ikut penerbangan yang ditumpangi
Munir, meski bukti-bukti penempatan itu sebenarnya lebih tepat dilakukan oleh
suatu lembaga negara. Keduanya barangkali menjadi 'korban' operasi intelijen
mengingat konstruksi persidangan mereka jelas menyimpulkan kuatnya operasi
intelijen. Putusan ini tidak terbantahkan. Yang tidak adil, aktor intelektual
yang mampu menggerakkan direksi maskapai milik Pemerintah ini malah tak
dihukum.
Memang selalu banyak kendala ketika
petinggi-petinggi suatu lembaga negara mau dihadapkan sebagai subyek hukum
dalam investigasi dan penuntutan kriminal yang efektif. Dan penjelasan
mengapa ini terjadi tak pernah diketahui luas karena tak pernah diumumkan (the absence of truth) dan karena
atmosfer impunity (the absence of punishment).
Jadi, keadaan ini yang menyebabkan Suciwati,
KontraS, dan LBH Jakarta betul-betul menemui kebuntuan tapi juga membutuhkan
jawaban sungguh-sungguh mengapa laporan TPF tidak diumumkan. Di sini KIP
menyediakan alat perjuangan baru yang berguna bagi masyarakat HAM.
Kendala Baru:
Kemensesneg
Lalu mengapa Kemensesneg terlihat enggan
melaksanakan putusan KIP? Sanggahan Kemensesneg/Kejakgung bahwa dokumen itu
tidak ada telah menimbulkan kesan negatif akan kesungguhan pemerintah.
Putusan KIP membuktikan lemahnya argumen Sesneg yang berpegang pada daftar
surat masuk Mei 2005.
Sanggahan ini semakin lemah karena merujuk
pernyataan pers mantan Sesneg Yusril Ihza Mahendra--yang absen di sidang
KIP--bahwa dirinya tidak menerima salinan laporan TPF karena diserahkan
langsung ke Presiden SBY--dan tidak melalui Sesneg—seolah-olah itu tak
berarti bahwa Sesneg (wajib) pernah menyalin dan menyimpannya. Bagaimanapun,
pencatatan maupun penyimpanan dokumen semacam itu merupakan tugas-tugas
harian Sesneg, termasuk mengurus penyediaan dana kegiatan TPF.
Sesneg tidak sendirian. Jaksa Agung M Prasetyo
ikut menyanggah bahwa Kejakgung—termasuk jaksa Domu P. Sihite--pernah jadi
bagian dari TPF. Ini keliru. Dalam Keppres No. 6/2005, Domu P. Sihite adalah
jaksa anggota TPF sejak 23 Maret sampai 23 Juni 2005. Sihite aktif mengikuti
kegiatan TPF--mewakili instansi Kejaksaan Agung, bahkan menjadi ketua Jaksa
Penuntut Umum atas perkara Pollycarpus, 9 Agustus 2005 di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Dari kerja Sihite, Polly divonis 14 tahun penjara. Jaksa Agung
ketika itu--Abdul Rahman Saleh—menyatakan berkali-kali telah menerima dokumen
asli laporan TPF yang kemudian digunakan jaksa-jaksa di bawah pimpinan Sihite
untuk memproses tersangka Polly (Kompas TV, 31/12/2016).
Sanggahan Kemensesneg ini juga diklarifikasi
oleh mantan Presiden SBY lewat pernyataan bersama mantan Sekretaris Kabinet
(2004-2009) dan Sekretaris Negara (2009-2014) Sudi Silalahi, mantan
Menkopolhukam Djoko Suyanto, mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri, mantan
Kepala BIN Syamsir, dan mantan Ketua Tim Pencari Fakta Kasus Munir Marsudhi
Hanafi di Cikeas, Jawa Barat. Mereka mengkonfirmasi bahwa saat itu
(23/6/2005), Presiden telah resmi menerima dokumen laporan TPF dan
membagikannya kepada tujuh pejabat kementerian, termasuk Menkopolhukam,
Kapolri, KABIN, Panglima TNI, Menkumham, Seskab hingga Sesneg. Hanya
Yusril—mantan Sesneg--satu-satunya yang menyatakan tidak pernah menerima.
Barangkali jika Kemensesneg mengonfirmasi keberadaan laporan tersebut
setidaknya kepada pejabat-pejabat ini, maka Kemensesneg tidak akan menjadi
kendala baru pengusutan kasus Munir.
Bagaimana jika benar hilang? Jika benar
dokumen otentik TPF sengaja dihilangkan maka jelas merupakan kejahatan.
Pejabat yang menghilangkannya bisa dipidana. Pasal 53 beserta penjelasan UU
No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan "setiap orang
atau badan hukum atau badan publik yang dengan sengaja dan melawan hukum
menghancurkan, merusak, dan atau menghilangkan informasi publik dapat
dipidana dengan penjara dua tahun. Pasal 86 UU No. 43/2009 tentang Kearsipan
menyebutkan bahwa "setiap orang yang dengan sengaja memusnahkan arsip di
luar prosedur yang benar, ..., dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
tahun."
Akses atas dokumen merupakan kendala dialami
TPF selama mencari fakta, khususnya di lingkungan badan-badan pemerintah.
Pejabat suatu lembaga negara menunda-nunda waktu penyerahan dokumen—terkait
daftar tamu sampai senjata api--yang diminta hingga waktu TPF berakhir. Saat
TPF memperoleh sendiri, misalnya terkait daftar staf organik dan non-organik
lembaga negara itu, ternyata isinya telah diubah per 25 November 2004
sehingga menghapus nama-nama yang semula dicari TPF terkait kematian Munir
dua bulan sebelumnya.
Penugasan off-duty pilot dalam penerbangan
Munir ditutupi dengan surat anti-datum dan dokumen penugasan Pollycarpus
hilang dicuri dari mobil direktur utama Garuda yang di Hotel Sahid
(31/12/2004). Pejabat Otoritas Bandara tidak menyatakan dokumen 'security
items' telah dimusnahkan (17/5/2005). Ini belum termasuk tidak adanya CCTV
bandara saat hari kejadian.
Demikianlah tampaknya ada pola di mana akses
atas dokumen dipersulit, jika pun ada diubah materinya, hingga dalam keadaan
tertentu dimusnahkan demi menghilangkan bukti dan menutupi jejak pembunuhan.
Ini adalah kejahatan menghambat pencarian keadilan (obstruction of justice).
Pada akhirnya, Negara tak perlu bersikap
defensif karena permohonan agar pemerintah mengumumkan hasil laporan TPF itu
antara lain merujuk pada diktum kesembilan Keppres No. 111/2004 soal
Pembentukan TPF Kasus Meninggalnya Munir. Meski dibuat di era SBY, itu adalah
pokok keputusan yang melekat pada institusi Kepresidenan Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar