Menjaga
Indonesia
Azyumardi Azra ;
Guru Besar Fakultas Adab dan
Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 15 November
2016
Tensi politik Indonesia sesudah unjuk rasa
pada 4 November 2016 tampak belum berakhir. Demonstrasi damai sampai waktu
Isya (sekitar pukul 19.00) akhirnya diwarnai kericuhan antara die-hard demonstran dan aparat
keamanan. Semestinya sejumlah pihak berusaha menurunkan suasana (cooling down). Tensi politik, sosial,
dan agama bukan hanya sekadar bertahan, melainkan cenderung meningkat.
Peningkatan tensi disebabkan sejumlah faktor
yang kait-berkait. Akumulasi beberapa faktor seperti disebutkan berikut, jika
terus meningkat, dapat menimbulkan gejolak sosial politik yang bisa
menimbulkan kekerasan dan anarki yang dapat berujung pada disintegrasi
negara-bangsa Indonesia.
Faktor pertama, tindakan aparat kepolisian
yang menangkap beberapa orang, seperti kalangan Himpunan Mahasiswa Islam yang
dianggap provokator kericuhan. Dilihat dari mereka yang ditangkap polisi,
tampaknya tak lebih dari aktor ”figuran”, ujung tombak yang berhadapan
langsung dengan aparat.
Sementara itu, otak (mastermind) yang dikatakan Presiden Joko Widodo sudah dia ketahui
belum tersentuh. Akibatnya, spekulasi dan rumor beredar kian banyak di
kalangan elite politik, pimpinan ormas keagamaan, dan warga. Keadaan ini
turut meningkatkan suasana saling curiga dan permusuhan di antara sejumlah
elemen bangsa.
Faktor kedua, meningkatnya jumlah gugatan
terhadap figur politik yang dianggap mencemarkan agama atau nama baik atau
sebagai provokator. Mereka yang dilaporkan ke Polri bukan hanya Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok), sumber awal kekisruhan, melainkan juga mantan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernyataannya dalam konferensi pers
sebelum aksi besar dianggap sumber provokasi kericuhan. Bahkan, Kapolda Metro
Jaya Irjen Mochamad Iriawan juga dilaporkan ke Propam Polri.
Dalam satu segi, aksi gugatan atau pelaporan
mengandung makna positif. Pihak pelapor lebih memilih jalan damai melalui
jalur hukum daripada tindakan lain, misalnya kekerasan. Namun, pada segi lain
tetap saja turut meningkatkan suasana politik yang kurang kondusif.
Faktor ketiga, meningkatnya polemik atau
perbedaan pendapat di kalangan intra dan antaragama. Perbedaan intra-Islam
meningkat tentang tafsir, pandangan dan sikap terhadap penistaan Al Quran
Surat Al-Maidah Ayat 51. Aksi takfiri sesama Muslim juga meningkat.
Pertikaian terbuka antarelite Muslim di media cetak dan elektronik
meningkatkan tensi intra-Islam. Ketegangan mengimbas ke akar rumput umat
Islam.
Tensi antaragama juga terlihat meningkat,
khususnya antara kalangan umat Muslim dan Kristiani. Semula tensi itu
tersembunyi di arus bawah, tetapi kini kian mencuat terbuka lewat media
sosial atau kemunculan kelompok milisi semacam laskar atau brigade yang
menuntut agar pimpinan aksi 4 November ditangkap.
Faktor keempat adalah safari Presiden Jokowi
yang mengesankan keadaan ”gawat”. Safari dan pertemuan Presiden Jokowi dengan
pimpinan NU, Muhammadiyah, ormas-ormas Islam lain, dan kelompok ulama yang
diorganisasi parpol tertentu memberikan kesempatan bagi Jokowi menjelaskan
beberapa hal, khususnya penanganan kasus Ahok dan situasi politik, sosial dan
umat beragama setelah demo 4 November. Sebaliknya, elite ulama dan pemimpin
ormas Islam juga menyampaikan aspirasi.
Namun, safari Presiden Jokowi ke pasukan
elite, seperti Kopassus, Marinir, dan Brimob, pekan lalu, menimbulkan kesan
di kalangan publik tentang ”situasi gawat” yang membuat aparat harus siap
dengan loyalitas penuh kepada negara.
Berbagai faktor itu, tidak hanya meningkatkan
tensi politik, sosial, dan agama, tetapi juga kecemasan tentang masa depan
Indonesia yang bersatu. Tanpa harus membesar-besarkan masalah, jelas
tantangan dewasa ini untuk menjaga kesatuan Indonesia terlihat kian tidak
mudah.
Jelas bukan hanya kali ini Indonesia mengalami
ujian yang dapat mengarah pada rusaknya kesatuan dan persatuan bangsa dan
negara. JS Furnivall dalam Netherlands
East Indies: A Study of Plural Economy (1944) memprediksi, begitu Belanda
tidak lagi berkuasa di East Indies (Indonesia), kawasan sangat plural ini
bakal hancur berkeping-keping. Doomsday
scenario ini, menurut dia, tak lain karena absennya faktor pemersatu yang
mampu mengintegrasikan kawasan ini menjadi negara-bangsa tunggal.
Skenario kelabu tentang Indonesia juga merebak
ketika transisi demokrasi terjadi sejak 1998. Gelombang demokrasi membuat Uni
Soviet dan Eropa Timur berkeping-keping. Disintegrasi yang juga disebut
balkanisasi dengan segera diterapkan pakar asing tertentu kepada Indonesia
bahwa negara ini juga segera mengalami balkanisasi dalam proses transisi
demokrasi yang memunculkan sejumlah ekses disintegratif. Namun, Indonesia
bertahan. Karena itulah Indonesia hingga sekarang ini disebut ahli asing
sebagai ”mukjizat” atau ”keajaiban” (miracle).
Dalam perspektif orang dalam (from within), Indonesia sebagai
keajaiban, terkait banyak dengan tradisi sosial-budaya dan keagamaan yang
memberikan ruang untuk inklusivitas, akomodasi, kompromi, dan tole- ransi.
Realitas inilah yang membuat Indonesia tetap bersatu di tengah gejolak
politik, ekonomi, sosial-budaya, dan keagamaan.
Meskipun demikian, beberapa faktor
disintegratif—terutama terkait kontestasi politik, kesenjangan ekonomi, dan
isu SARA— juga bertahan. Isu-isu ini laten; dapat menyelinap ke bawah arus,
tetapi juga bisa menyeruak ke permukaan, seperti terlihat dalam beberapa
pekan terakhir.
Karena itu, adalah tugas suci (mission sacre) seluruh warga,
khususnya elite kepemimpinan—politik, sosial budaya, dan keagamaan—untuk
senantiasa menjaga dan merawat Indonesia. Salah satu cara terpenting adalah
memperkuat kembali tradisi dan perilaku saling menghormati, tepa salira atau
tenggang rasa, akomodasi, kompromi, dan toleransi. Semua itu mutlak dalam hal
eksistensial menyangkut keutuhan dan kesatuan negara-bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar