Alarm
Neraca Perdagangan
Muhammad Syarif Hidayatullah ;
Peneliti Wiratama Institute
|
KOMPAS, 16 November
2016
Melanjutkan tren 2016, neraca perdagangan
Indonesia kembali surplus. Pada September 2016, neraca perdagangan Indonesia
surplus 1.216 juta dollar AS. Angka tersebut merupakan surplus terbesar pada
tahun 2016, meningkat sekitar 900 juta dollar AS dibandingkan Agustus 2016.
Walaupun surplus terjadi, ekspor dan impor
mengalami kontraksi berturut-turut sebesar 1,84 persen (month-on-month/mom)
dan 8,78 persen (mom). Dibandingkan September 2015, ekspor ataupun impor
sama-sama mengalami penurunan, berturut- turut 0,59 persen dan 2,2 persen.
Dengan demikian, bisa dibilang kinerja ekspor dan impor Indonesia pada tahun
2016 relatif rendah. Hal ini terlihat pada kinerja periode Januari-September
2016, yaitu ekspor mengalami kontraksi 0,59 persen dibandingkan periode sama
tahun sebelumnya, sedangkan impor mengalami penurunan hingga 9,41 persen,
sedangkan impor mengalami penurunan 8,61 persen.
Data menunjukkan bahwa surplus neraca
perdagangan yang terjadi selama 9 bulan terakhir tidak menunjukkan perbaikan
dari sektor ekspor Indonesia. Surplus lebih disebabkan kontraksi pada impor
lebih besar dibandingkan dengan ekspor. Hal ini merupakan alarm bagi
Indonesia. Turunnya impor merupakan salah satu sinyal permasalahan
perekonomian. Impor pada umumnya pro siklikal karena impor elastis terhadap
pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
Neraca perdagangan dipengaruhi banyak faktor,
seperti kondisi perekonomian negara mitra, pertumbuhan ekonomi negara, kurs,
dan inflasi. Pertumbuhan PDB nasional yang tinggi biasanya akan menyebabkan
defisit karena impor elastis terhadap pertumbuhan PDB. Hal ini dapat terjadi
karena pertumbuhan PDB yang tinggi meningkatkan daya beli masyarakat, yang
pada akhirnya akan meningkatkan permintaan barang impor.
Faktor lain yang memengaruhi neraca
perdagangan adalah kurs. Umumnya, apabila nilai tukar kuat, ekspor akan turun
dan impor akan naik sehingga defisit akan semakin lebar. Kuatnya nilai tukar
membuat daya saing dari produk nasional menjadi turun karena harganya akan
lebih mahal.
Di sisi lain, kuatnya kurs membuat harga
barang impor akan semakin murah sehingga permintaannya akan meningkat.
Inflasi juga mengambil peran karena akan memengaruhi nilai riil dari mata
uang.
Sinyal kuat pelemahan
Ekspor migas Indonesia mengalami pukulan telak
pada periode September 2016. Ekspor migas mengalami kontraksi sebesar 6,79
persen (mom) dan 26,97 persen (year-on-year/yoy). Selama tahun 2016
(Januari-September), ekspor migas Indonesia turun 32 persen dibandingkan
periode yang sama tahun lalu.
Ekspor nonmigas Indonesia tidak jauh berbeda.
Pertumbuhan tahunannya (yoy) memang mengalami kenaikan 2,85 persen, tetapi
pertumbuhan bulanannya (mom) mengalami penurunan sebesar 1,35 persen dan
pertumbuhan selama tahun 2016 (Januari-September) turun 6,09 persen
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Impor mengalami penurunan yang lebih dalam
dibandingkan ekspor. Impor migas Indonesia mengalami kontraksi sebesar 8,88
persen (yoy) dan 2,97 persen (mom). Sementara kinerja selama 2016 juga jauh
dari harapan, mengalami penurunan 29 persen dibandingkan periode yang sama
tahun sebelumnya. Impor nonmigas juga mengalami penurunan 0,95 persen (yoy) dan
9,77 (mom). Selama 2016, impor nonmigas turun 4,10 persen dibandingkan
periode yang sama tahun sebelumnya.
Satu hal yang perlu menjadi perhatian dari
sisi impor adalah besarnya kontraksi pada impor bahan baku penolong industri
dan barang modal. Selama tahun 2016 (Januari-September), impor bahan baku
penolong industri dan barang modal mengalami penurunan berturut-turut sebesar
9,8 persen dan 12,66 persen. Hal ini patut menjadi catatan serius bagi
pemerintah karena merupakan sinyal lesunya industri di Indonesia.
Lesunya perekonomian global, turunnya
permintaan domestik, menyebabkan industri menahan investasi dan mengurangi
kapasitas produksi. Data lain yang menunjukkan tren ini adalah melambatnya
pertumbuhan inventori korporasi di Indonesia. Pada periode 2010-2013,
pertumbuhan inventori perusahaan di Indonesia 40-60 persen (yoy). Pada
kuartal II-2016, pertumbuhan inventori perusahaan hanya sekitar 5 persen.
Mendongkrak ekspor
Ekspor Indonesia masih tertekan karena
sejumlah faktor. Untuk mendongkrak kinerja ekspor bukanlah pekerjaan satu
malam. Ada dua langkah yang dapat dilakukan. Pertama, memperbaiki kinerja
industri, kedua melakukan diversifikasi.
Guna mendongkrak kinerja ekspor Indonesia
perlu melakukan reformasi struktural dan memperbaiki kinerja sektor industri.
Dalam jangka pendek dan menengah, pekerjaan utama pemerintah agar dapat
memperbaiki kinerja sektor industri adalah dengan memperbaiki daya saing.
Peringkat daya saing Indonesia, sebagaimana
yang tercantum pada Global Competitiveness Report (GCR), kembali mengalami
penurunan, dari peringkat ke-37 turun menjadi peringkat ke-41. Artinya,
selama dua tahun berturut-turut Indonesia mengalami penurunan peringkat.
Sejumlah parameter mengalami penurunan drastis yang akhirnya membuat
peringkat daya saing Indonesia turun.
Contohnya, peringkat pelayanan kesehatan yang
turun 20 peringkat menjadi peringkat ke-100, dan peringkat pemanfaatan
teknologi yang turun enam peringkat menjadi peringkat ke-91. Secara
keseluruhan, peringkat Indonesia masih di bawah Malaysia (25) dan Thailand
(38).
Meskipun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla telah
menjadikan percepatan pembangunan infrastruktur sebagai program prioritas
pemerintahannya, sejumlah indikator masih menunjukkan penurunan. Contohnya,
peringkat logistik Indonesia, mengalami penurunan dari peringkat ke-53 tahun
2014, menjadi 63 tahun 2016 (Bank Dunia, 2016). Salah satu indikator yang
mengalami penurunan terbesar adalah kualitas infrastruktur pendukung
logistik, yang pada tahun 2014 mencapai 2,92 turun menjadi 2,65 pada tahun
2016.
Laporan GCR juga menunjukkan tren serupa,
dengan peringkat infrastruktur Indonesia berada pada urutan ke-56 tahun 2014
dan posisi ke-60 pada 2016. Secara lebih detail, sejumlah parameter yang
membentuk peringkat infrastruktur juga mengalami penurunan. Seperti kualitas
jalan (turun tiga peringkat) dan kualitas pasokan listrik (turun lima
peringkat).
Indonesia butuh menggenjot pembangunan
infrastruktur guna mendorong pertumbuhan dan meningkatkan daya saing.
Anggaran pemerintah pusat untuk belanja modal memang meningkat tajam seiring
dikuranginya subsidi energi, tetapi kemampuan penyerapannya masih jauh dari
harapan. Realisasi belanja modal pada APBN 2015 hanya mencapai 78 persen.
Jika melihat data realisasi, memang terjadi
peningkatan hingga 46 persen dibandingkan tahun 2014, atau meningkat dari Rp
147 triliun menjadi Rp 215 triliun. Namun, peningkatan tajam ini lebih karena
realisasi belanja modal 2014 yang kelewat rendah, atau mengalami kontraksi
sebesar 18,33 persen dibandingkan realisasi 2013 yang mencapai Rp 180
triliun.
Jika dibandingkan tahun 2013, pertumbuhan
realisasi belanja modal 2015 hanya sebesar 19,4 persen. Angka ini pada
dasarnya cukup rendah, di bawah rata-rata pertumbuhan realisasi belanja
infrastruktur pada periode 2010- 2013 mencapai 25,2 persen. Untuk tahun ini,
hingga Juli 2016, realisasi belanja modal baru mencapai Rp 49 triliun, atau
baru mencapai 16 persen dari APBN Perubahan 2016. Realisasi ini lebih rendah
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 18,9 persen.
Langkah kedua adalah diversifikasi. Pemerintah
perlu melakukan diversifikasi dalam ekspor, baik pada sisi negara tujuan
maupun produk. Selama ini Indonesia mengandalkan ekspor ke sejumlah pasar
tradisional, seperti Amerika Serikat (12 persen), Tiongkok (10 persen), dan
Jepang (10 persen).
Padahal, kondisi perekonomian ketiga negara
tersebut yang masih jauh dari stabil membuat permintaan akan produk Indonesia
akan terus tertekan. Oleh sebab itu, Indonesia perlu mengembangkan pasar ke negara-negara
Amerika Latin dan Afrika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar