Menggugat
Makna Negara
Suparto Wijoyo ;
Koordinator Magister Sains
Hukum dan Pembangunan,
Sekolah Pascasarjana Universitas
Airlangga
|
JAWA POS, 01 November
2016
HARI-hari ini publik tersentak hebat atas
penahanan Dahlan Iskan. Sebuah realitas atas nama hukum yang tidak terjangkau
dalam imajinasi seliar apa pun, mengingat dalam bahasa Suroboyoan, Dahlan gak
potongan menilep uang (aset) negara. Mafhumlah kemudian reaksi yang terjadi
semakin menggumpal dari beragam kalangan yang spontan, tanpa tendensi, tanpa
pretensi, apalagi ambisi.
Kasus itu memberikan warna baru pada jagat
penegakan hukum yang hipotetis dan rentang waktu ke depan sangat memukau
diikuti. Kerinduan atas gagasan Dahlan yang selama ini tampil dalam kolom New
Hope disambut gempita dengan rubrik Momentum Dahlan. Jangan sampai penjara
membuat New Hope menjadi No Hope, mengingat pikiran tidak dapat dipenjarakan.
Kekagetan atas penahanan itu setarikan napas
dengan peristiwa banjir bandang yang menendang Bandung. Derita 1.884 pengungsi
karena banjir di kawasan Baleendah dan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, sontak
melengkapi penderitaan korban air bah di Pasteur, Kota Bandung; Kemang,
Jakarta; Garut; Sumedang; Sampang; maupun Sidoarjo. Peristiwa dengan lelehan
air mata yang terus berulang menjadi tradisi yang kian mencekam membawa serta
tanda tanya: di mana negara?
Eksistensi negara dengan struktur
pemerintahannya yang menurut UUD 1945 diberi amanat melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah digugat.
Gelegak kejadian atraktif tersebut semakin
menyempurnakan kegelisahan atas langkah privatisasi (swastanisasi) pelayanan
publik yang telah diambil pemerintah dengan contoh mutakhir di sektor
perhubungan. Pungli di jembatan timbang dipandang sebagai sumbu permasalahan
yang memberikan justifikasi agar urusan pelayanan publik diswastakan.
Berisik pungli jembatan timbang seakan
memantik deret hitung menjalarnya praktik pungli dari lorong gedung Kemenhub
yang membuat presiden berang. Kasus perpunglian di Kemenhub itu melahirkan
sejarah hukum baru dengan terbitnya Peraturan Presiden No 87 Tahun 2016
tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar tanggal 21 Oktober 2016.
Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa
swastanisasi public-services di Kemenhub merupakan pilihan untuk membangun layanan
yang bersih. Hajat pelayanan publik yang bersentuhan dengan birokrasi selama
ini dipotret tidak luput dari pungli. Bahkan, secara sosio-kultural, pungli
diamini menjadi bagian inti dalam bingkai ’’sedekah layanan’’.
Presiden memahami apa yang dirasakan rakyat
dan bertindak dengan membentuk Saber Pungli. Tetapi, bisakah konstelasi
perpunglian yang merajalela di rimba birokrasi itu menjadi alasan untuk
memprivatisasi sektor primer pelayanan publik?
Privatisasi pemenuhan kebutuhan dasar rakyat
harus dipikirkan dengan matang. Ingat peribahasa ’’buruk muka cermin
dibelah’’. Kalau ada pegawai birokrasi yang tertangkap melakukan pungli,
apakah kemudian segmen kementerian atau lembaga itu harus diprivatisasi?
Masih kurangkah sektor publik yang diswastakan?
Kuasa negara terhadap rakyat dalam bidang infokom, pertanian, kehutanan,
perkebunan, lingkungan, pertambangan, konveksi, energi, migas, dan garam yang
bermuara pada sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan atau urusan
akomodasi-konsumsi-transportasi, belum cukupkah peran swastanya?
Langkah swastanisasi yang tidak terkendali
pasti mengguncang dan mengkhawatirkan. Pembenahan birokrasi pelayanan harus
dilakukan dengan pertimbangan yang komprehensif.
Apalagi dalam dekade terakhir ini, kata
Roberdt C. Guel, guncangan ekonomi dunia telah bersentuhan dengan
problematika: produksi, pembiayaan, monopoli, kompetisi, ekonomi yang
berorientasi profit, gross domestic product, inflation, unemployment, resesi,
depresi, aggregate demand and aggregate supply, perdagangan internasional,
economic growth and development, natural resources, energy price, sampai pada
isu the economics of terrorism dan the economic impact of casino gambling.
Kondisi tersebut menyentuh arti penting
negara. Dan Dahlan merasakan tugas berat ’’bagaimana menyayangi’’ agenda
negara dalam mem-BUMD-kan sektornya, yang selanjutnya justru menerima
ganjaran atas nama hukum negara.
W. Friedmann dalam bukunya yang fenomenal, The
State and The Rule of Law in a Mixed Economy (1971), menjelaskan empat fungsi
negara, yakni sebagai regulator, provider, entrepreneur, dan wasit atau
penengah atas segala gesekan. Mencermati perkembangan negara dalam memerankan
fungsi sebagai institusi pembuat regulasi, mengontrol dan menyediakan layanan
serta memwirausahakan dirinya, tampak menyentuh batas demarkasi pesan agung
UUD 1945.
NKRI bukan sekadar pemerintah, tetapi negara
dengan tata kelola yang wajib hadir dengan membuka ruang sosial yang
berkeadilan. Kekayaan alam yang dikuasai negara dipersembahkan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat sebagaimana amanat pasal 33 UUD 1945.
Komitmen konstitusional harus diambil dalam
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan poros keseimbangan kepentingan
ekonomi, sosial, dan lingkungan yang adil. Inilah substansi yang harus dirawat
sebagai peranti penting pelayanan publik di setiap pengambilan kebijakan
negara kesejahteraan.
Pada lingkup perlindungan warga, negara tidak
boleh menyerahkan ’’saham kedaulatannya’’ untuk dikelola dengan profit
oriented. Negara bukan alat untuk mencari keuntungan semata seperti perseroan
terbatas, tetapi menjadi kendaraan menyejahterakan rakyat dengan membentuk
pemerintahan.
Tolong alenia keempat Pembukaan UUD 1945 dan
seluruh risalah pembahasan pasal-pasal UUD 1945 dalam sidang-sidang BPUPKI
dibaca betul agar keberadaan negara ini tetap dalam koridor kehendak aslinya.
Kalaulah birokrasi sedemikian larutnya dalam perpunglian, mari dibenahi dan
bukan mempercepat langkah memperserokan Indonesia.
Adapun yang terlanjur diprivatisasi,
kerugiannya adalah kerugian negara ataukah kerugian korporasinya? Di ruang
penuh tafsir antara negara dan korporasi itulah, Dahlan pernah bertakhta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar