Dahlan
dan Survei Mafia Hukum
Abdul Wahid ;
Wakil direktur I bidang
akademik Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang;
Pengurus Pusat Asosiasi
Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara
|
JAWA POS, 02 November
2016
ADA kata mutiara hukum yang berbunyi ’’Ab
honesto virum bonum nihil deterret’’ yang artinya tak ada yang menakutkan
(menggetarkan) orang baik yang melaksanakan kewajiban/tugasnya dengan jujur.
Kata mutiara itu sebagai ajakan kepada setiap
aparat penegak hukum untuk mewujudkan etik bernama kejujuran. Kalau kejujuran
dilaksanakan, dampaknya akan sangat besar terhadap konstruksi dunia hukum.
Profesi penegak hukum akan menjadi profesi yang mulia jika kejujuran
ditegakkan.
Secara a contrario, marwah profesi penegak
hukum menjadi tereduksi dan bahkan terdegradasi ketika kejujuran gagal
ditegakkan. Wajah dunia hukum menjadi bopeng karena kejujuran yang
dipermainkan.
Kondisi dunia hukum di Indonesia yang masih
sengkarut di sana-sini juga disebabkan banyaknya elemen penegak hukum yang
terseret menegasikan kejujuran. Sistem peradilan pidana (criminal justice
system) memang dijalankannya. Namun, di balik panggung peradilan itu, banyak
oknum yang bermain dengan menerima suap, gratifikasi, atau melakukan berbagai
jenis korupsi.
Karni Ilyas menyoroti bahwa menegakkan hukum
di Indonesia memang sama sulitnya dengan menegakkan benang basah. Penegakan
hukum yang ada baru sebatas seolah-olah. Maksudnya, seolah-olah ada penegakan
hukum, padahal tidak. Seolah-olah ada demokrasi, padahal tidak. Seolah-olah
ada keadilan sosial, padahal tidak.
Kata ’’seolah-olah’’ yang disampaikan Karni
Ilyas itu menunjukkan bahwa ada kondisi undercover yang bisa terbaca dalam
ranah penyelenggaraan criminal justice system. Artinya, terdapat beragam praktik
ketidakjujuran, misalnya dalam menentukan seseorang yang berkedudukan sebagai
saksi atau tersangka.
Banyak orang yang semestinya ditetapkan
sebagai tersangka tetapi dibiarkan atau dialienasikan dari proses peradilan,
atau tidak disentuh aparat. Mereka terindikasi memiliki daya imunitas atau
sejumlah hak privilitas yang membuat aparat merasa ciut nyali untuk
menjeratnya.
Dalam pemeriksaan terhadap Dahlan Iskan,
jujurkah penyidik menetapkan tersangka kepada Dahlan tanpa adanya intervensi
dari pihak mana pun? Atau, tidak adakah pihak tertentu yang memberi sponsor
untuk menempatkan Dahlan sebagai target? Kalau memang ditengarai ada problem
yuridis, mengapa bukan 10 tahun lalu, sesaat terjadinya kasus penjualan aset
BUMD, Dahlan diperiksa?
Beberapa pertanyaan tersebut logis diajukan.
Sebab, kejujuran di jagat yuridis negeri ini masih menjadi barang langka.
Mencari aparat yang benar-benar jujur dalam menjalankan kewenangan atau
kewajibannya tidaklah gampang.
Bukan hanya itu, seseorang yang berlaku jujur bisa
jadi atau sering kali menjadi korban, seperti disingkirkan atau dijauhkan
dari ranah sekelompok orang yang melakukan persekongkolan.
Tidak sedikit ditemukan suatu praktik hukum
(law in action) yang seolah menunjukkan kebenaran yang sebangun dengan dukungan
temuan fakta hukum. Padahal, senyatanya, ada rekayasa hukum (legal
engineering) yang dilakukan dan dikembangkannya.
Itulah yang pernah diingatkan pakar hukum
Islam Yusuf Qardhawi bahwa memegang teguh kebenaran dan kejujuran sekarang
ini ibarat memegang bara api yang bisa membuat seseorang yang memegangnya
terbakar dan hangus.
Seperti disampaikan Qardhawi itu, tidak
sedikit elemen strategis bangsa, di antaranya dalam ranah yudisial, yang
tidak memegang teguh kejujuran. Kejujuran ditempatkan sebagai ’’monster’’
yang membuatnya takut menegakkan kesejatian kebenaran. Kejujuran juga disebut
sebagai ’’racun’’ yang bisa menghabisi (membunuh) karirnya.
Bopengnya dunia peradilan itu dapat terbaca
dalam sekian ragam survei yang secara umum menyebutkan bahwa dunia peradilan
Indonesia masih jauh dari kata sehat. Dunia peradilan masih terjangkit
penyakit serius yang mengakibatkan pencari keadilan rentan kehilangan
ekspektasinya.
Berdasar survei JSI (Jaringan Survei
Indonesia), sejak Juli 2009 hingga Oktober 2011, kepuasan publik terhadap
penegakan hukum semakin turun. Hanya 31,1 persen yang menyatakan penegakan
hukum di Indonesia sudah baik dan sangat baik. Mayoritas publik merasakan
penegakan hukum tidak mengalami kemajuan dan buruk serta sangat buruk.
Publik juga menyoroti peran lima lembaga hukum
lainnya, yakni MK, MA, KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Dari lima lembaga
tersebut, semua memiliki tingkat ketidakpercayaan di atas 30 persen. Artinya,
hampir sepertiga penduduk Indonesia memiliki ketidakpercayaan terhadap
lembaga-lembaga hukum yang ada.
Survei JSI di atas seolah menguatkan survei
LSI (Lingkaran Survei Indonesia) sebelumnya. Berdasar survei LSI, mayoritas
publik (55 persen) menilai adanya banyak praktik mafia hukum di lembaga
hukum. Hanya 17,4 persen yang menilai jumlah mafia hukum kecil dan 1,2 persen
saja yang menilai tidak ada sama sekali mafia hukum di lembaga hukum.
Ketidakpercayaan publik pada lembaga dan aparat hukum cukup tinggi.
Mayoritas publik menilai aparat hukum bisa
disuap dengan sejumlah uang untuk memenangkan sebuah perkara hukum. Mayoritas
publik (48,3 persen) menilai aparat hukum yang bisa disuap sangatlah banyak.
Sebanyak 26,2 persen menyatakan jumlahnya sedikit dan hanya 1,7 persen yang
mengatakan aparat hukum bersih dan tidak bisa disuap.
Laporan LBH Jakarta (Agustus 2016) menyebutkan
bahwa kondisi peradilan di bawah Mahkamah Agung juga semakin memprihatinkan.
Reformasi peradilan yang diharapkan masih jalan di tempat karena nyatanya tak
membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Kekuasaan kehakiman Indonesia belum
merdeka dari suap, korupsi, kolusi, nepotisme, dan maladministrasi.
Kepercayaan masyarakat terhadap peradilan berada di titik nadir.
Selain laporan LBH Jakarta itu, salah satu
media ibu kota pada 21 Juli 2016 menyebut secara khusus perbaikan kejaksaan.
Dalam laporannya disebutkan bahwa reformasi kejaksaan yang dimulai pada 2005
juga berjalan semakin lambat.
Beberapa
survei baik yang berdata lama maupun baru itu setidaknya dapat dijadikan
referensi bahwa mendekonstruksi ’’virus’’ di dunia peradilan (kepolisian,
kejaksaan, dan kehakiman) tidaklah mudah. Penyakit moral
hazard masih
benar-benar menjadi bagian dari kultur sakit yang masih menghegemoninya.
Moral
hazard atau
pengalienasian kejujuran masih menjadi semacam ’’virus’’ menyenangkan yang
dinikmati oleh para oknum yang dalam lingkaran mafia hukum. Mereka jadikan
’’virus’’ itu sebagai jalan mengamankan dan menyamankan profesinya.
Sungguh
ironis, para penjaga gawang bekerjanya criminal justice system justru terlibat dan mengawetkan
mafia hukum. Jagat sakral yang seharusnya dijaga dengan integritas moral dan
sikap imparsialitas ternyata dirusak sendiri oleh pilar-pilarnya yang
terseret jadi segmentasi mafioso.
Praktik
tersebut tentu saja sangat melukai kalangan pencari keadilan (justiabelen). Masyarakat
yang menggantungkan hukum bisa dan harus tegak di tangan aparat penegak hukum
ternyata masih ’’diselingkuhi’’-nya yang mengakibatkan para pencari keadilan
kehilangan hak sakral dan fundamentalnya untuk diperlakukan secara
berkeadilan, egalitarian, dan berkeadaban.
Hakristuti
Krisnowo mengingatkan bahwa penegakan hukum sangat sulit diwujudkan di negeri
ini apabila tak ada komitmen dari semua pihak. Pemimpin negara harus
menjadikan hukum sebagai panglima, bukan lagi sebagai alat para penguasa.
Pesan
itu mengingatkan setiap aparat penegak hukum supaya khitah terhadap doktrin
kejujuran dalam penegakan hukum berorientasi keadilan, dan bukan
penyelenggaraan criminal
justice system yang
berpola diskriminasi dan demagogisme (kebohongan/kepalsuan). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar