Mempertanyakan
Konsistensi KPK
Siti Marwiyah ;
Dekan Fakultas Hukum
Universitas dr Soetomo Surabaya
|
JAWA POS, 03 November
2016
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) memang
secara umum mendapat apresiasi dari publik atas kinerjanya dalam pemberantasan
korupsi. Nyaris tiada hari tanpa pemberitaan mengenai dinamika kinerja KPK.
Dunia hukum menjadi tampak lebih hidup berkat
kinerja KPK yang gencar melakukan OTT (operasi tangkap tangan). Terdengar di
berbagai zona pemerintahan dan elemen publik mengenai ungkapan rasa takut
’’jangan-jangan ada KPK’’.
Meski begitu, masih ada banyak suara meragukan
kinerja KPK, khususnya dalam menegakkan prinsip transparansi dan egalitarian.
Apa memang benar KPK sudah masuk setiap lorong gelap di kalangan sejawatnya
yang diduga terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)?
Benarkah lorong-lorong gelap di dunia
peradilan, yang diduga masih banyak aparatnya yang mempermainkan hukum atau
terlibat menjadi pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime), yang
dimasukinya diikuti dengan langkah penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan?
Banyak elemen masyarakat yang meminta kepada
KPK, misalnya dalam kaitannya dengan kasus yang ditembakkan kepada Dahlan
Iskan. Mereka meminta KPK memeriksa kepala Kejaksaan Tinggi Jatim yang diduga
terkait dengan perkara hukum (legal case) kasus bansos di Sumatera Utara.
Desakan kepada
KPK itu selayaknya disikapi secara wajar. Pertama, KPK merupakan bagian dari
lembaga peradilan yang bersifat ad hoc, yang eksistensinya berlatar adanya
kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap institusi peradilan umum yang
mengidap penyakit serius.
Kondisi
lembaga peradilan, misalnya kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, yang tidak
sehat ditempatkan sebagai alasan rasional dan objektif yang membuat KPK
dihadirkan oleh negara ke jagat penegakan hukum Indonesia.
Jika lembaga
peradilan umum itu memang sehat, negara tentu tidak akan membentuk KPK dan
menghabiskan anggaran besar untuk menyediakan fasilitas dan menggaji
personelnya.
Kedua, KPK
terikat menjalankan prinsip konstitusionalitas dalam menyikapi atau menangani
perkara korupsi. Ketika terduga ada elemen peradilan umum yang terlibat
korupsi atau kejahatan berjenis penyalahgunaan jabatan, maka harus
ditanganinya secara egaliter.
Masalahnya, apakah
KPK benar-benar kapabel dalam menunjukkan sikap egalitariannya saat
dihadapkan dengan kasus yang melibatkan ’’sejawat’’ sendiri dari lingkungan
peradilan?
Memang
sebagian elemen publik menilai, KPK tergolong sudah egaliter dalam menjaring
siapa saja yang diduga terlibat korupsi. Namun, sebagian yang lain masih
meragukan kinerja elemen KPK. KPK diragukan mampu menjaga independensi dan
keseriusannya ketika yang akan dijadikan target operasi atau diperiksa adalah
tokoh yang berelasi dengan kekuasaaan startegis.
Sebagai
komparasi, salah satu kasus yang sudah sekian lama dituntut publik untuk
secepatnya diselesaikan KPK adalah pemeriksaan terhadap ’’orang-orang
penting’’ dalam dugaan kasus Hambalang, Century, Pelindo, dan sebagainya.
Terkait dengan kasus tersebut, KPK dinilai memperlakukan ’’mereka’’ lebih
istimewa jika dibandingkan dengan lainnya, yang sudah mendekam di tahanan.
Bukankah KPK
bisa dikategorikan inkonsistensi terhadap perintah konstitusi bilamana
kasus-kasus besar itu tidak diposisikan dalam kinerja istimewanya?
Dengan
menggunakan parameter kasus-kasus itu saja, jika mau jujur terhadap diri
sendiri, KPK seharusnya wajib merasa malu karena perannya menegakkan prinsip
egalitarianisme yuridis masih belum konsisten. Dalam menghadapi kasus tersebut,
KPK seperti terjangkit kehilangan atau kekurangan energi positif guna
menyelesaikan atau mendekonstruksi secara transparan dan objektif.
Sikap KPK itu
dikonklusi oleh publik sebagai perilaku yang mendistorsi dan cenderung
mendegradasi prinsip akuntabilitas yudisial berbasis egaliter. Sikap publik
demikian tidak bisa dianggap sebagai tindakan yang merendahkan atau
mendegradasi kredibilitas KPK, tetapi merupakan wujud perilaku kritis normal
masyarakat yang membaca pola politik penanganan kasus korupsi.
Publik
menilai, kalau KPK masih kental dengan dunia ’’main mata’’ atau tergoda political and economical engineering
bahwa kekuatan politik dan pilar-pilar neoprimordialisme masihlah kekuatan
yang berpengaruh dalam menentukan bekerjanya sistem hukum. Konstitusi
mengalami desakralisasi makna gara-gara dipolitisasinya prinsip
pertanggungjawaban yuridisnya yang ’’tidak kenal kasta’’.
Sudah beberapa
kali publik meminta KPK supaya setiap penjahat atau ’’terduga’’ pelaku
korupsi tidak diperlakukan istimewa, baik terduga maupun tersangka, dari
kalangan masyarakat sipil atau komunitas aparat.
Menurut Haidar
Maksum (2012), perlakuan istimewa atau pemberian imunitas hanya akan
memperluas atau memeratakan budaya penyalahgunaan amanat kekuasaan di
berbagai lini strategis. Lini yudisial menjadi paling gampang digunakan
sebagai tameng penyalahgunaan. Pasalnya, di lini tersebut terdapat norma
yuridis yang dengan gampang digunakan sebagai instrumen proteksi.
Nimran (2012)
yang melakukan riset tentang implementasi manajemen peradilan korupsi juga
menyebatakan bahwa peradilan korupsi di negeri ini masih sulit meyakinkan
publik ketika masih ada sejumlah kasus yang mendapat perlakuan istimewa.
Perlakuan tersebut mengakibatkan kecemburuan dan luka hati pencari keadilan.
Konsekuensi
itu relevan dengan konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, yang salah
satu prinsipnya adalah penegakan asas konstitusionalitas bertajuk equality
before the law atau asas siapa pun yang menjadi pelanggar norma yuridis wajib
mempertanggungjawabkan atau dipertanggungjawabkan secara hukum berbasis
egalitarianisme.
Memang selama
ini jagat yuridis kita menjadi sangat buram lebih disebabkan ketidakberdayaan
mereka dalam menerapkan norma egalitarian. Elemen peradilan yang mengkhianati
prinsip egalitarian telah membuat karut-marutnya jagat hukum. Mereka telah
membuat kesalahan besar karena memang sejatinya dirinya adalah pelaku utama
yang memainkan peran sangat vital bagi terwujudnya idealisme penegakan hukum
(law enforcement) dan keadilan.
Di tangannya,
negara sudah memercayakan bagaimana seharusnya idealisme yuridis benar-benar
menjadi empiris, atau bagaimana keadilan untuk semua (juctice for all) secara empirik menjadi ’’hak milik’’ seseorang,
masyarakat, atau negara (rakyat) secara demokratis yang seharusnya berhak
menerimanya tanpa dikecualikan atau diintervensi siapa pun.
Saat hak
pencari keadilan dieliminasi, sementara ’’orang-orang penting’’ masih
mendapat proteksi privilitas, di sinilah deskripsi riil degradasi negara
hukum. Pasalnya, ruh negara hukum terletak pada independensi badan-badan
peradilan. Kalau institusi peradilan masih tidak berdaya menghadapinya, itu
berarti institusi tersebut tak lebih dari institusi inferior.
Untuk
menghindari stigma inferioritas itu, KPK wajib mendorong diri sendiri sebagai
badan peradilan yang bisa kerja keras, kerja cepat, kerja cerdas, dan kerja
egaliter. KPK bisa menjadi pengimplementasi yang membuat norma hukum yang
bisa menjaring dengan kekuatan maksimalnya untuk memberangus ’’orang-orang
penting’’ yang berdasar bukti permulaan diindikasikan menyalahgunakan
kewenangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar