Membongkar
Suap Pemilihan Rektor PTN
Agus Riewanto ;
Doktor Ilmu Hukum, Pengajar
Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret,
Surakarta
|
KOMPAS, 03 November
2016
Dalam acara ”Anticorruption Summit” II di UGM,
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menyatakan ada indikasi tak
akuntabel dalam pemilihan rektor di beberapa perguruan tinggi negeri (Kompas,
25/10).
Terkait dengan itu, anggota Ombudsman RI,
Ahmad Alamsyah Saragih, menyatakan, setidaknya tujuh PTN di Sumatera, Jawa, dan
Sulawesi yang terindikasi ada praktik suapdalam pemilihan rektor. Permainan
suap melibatkan elite partai politik serta petinggi Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Uang suap bervariasi, mulai dari Rp 1,5
miliar sampai Rp 5 miliar. Bahkan, di tiga PTN sudah terjadi penyerahan uang.
Sungguh tragis! PT adalah institusi yang
teramat penting karena melalui pendidikan yang diselenggarakannya akan
melahirkan generasi muda berkualitas yang akan berkompetisi di arena global
sekaligus menjadi manusia berintegritas (intelektual dan moral). Itulah
sebabnya PT merupakan institusi penyumbang utama maju-mundurnya peradaban
bangsa. Namun, kini, ia telah diracuni oleh perilaku suap dalam pemilihan
rektor.
Fakta suap dalam pemilihan rektor ini
menunjukkan PTN telah jadi arena transaksi politik kekuasaan yang sangat
membahayakan pembumian asas demokrasi. Sebab, selama ini PTN dianggap salah
satu institusi percontohan yang diharapkan mampu menjalankan substansi
demokrasi dalam tata kelola kepemimpinannya. Salah satunya adalah pemilihan
rektor. Dengan fakta suap ini, sakralitas PTN telah pudar dan langgamnya tak
berbeda dengan institusi lainnya dalam memilih pemimpinnya yang menghalalkan
praktik suap untuk mendapatkan kekuasaan.
Salah satu sebab praktik suap dalam pemilihan
rektor adalah karenaPeraturan Menristek dan Dikti No 1/2015 tentang
Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada PTN. Dalam Pasal 7
disebutkan: dalam penentuan rektor, menteri memiliki 35 persen hak suara dari
total pemilih. Adapun senat memiliki 65 persen hak suara, dan setiap anggota
senat punya hak suara yang sama. Peraturan Menristek dan Dikti ini adalah
bentuk intervensi sistemik pada otonomi politik di PTN.
Dalam praktiknya, saham suara 35 persen
Kemristek dan Dikti ini acap kali dijadikan amunisi sakti untuk dijadikan
sebagai alat mendukung calon-calon rektor yang dapat melayani kepentingan dan
keinginan sang menteri.
Tak pelak lagi, siapa pun yang jadi calon
rektor harus mendekat dengan sang menteri untuk mendapatkan ”restu” dalam
pemilihan rektor. Politik restu ini acap kali membuat sang calon rektor
dipaksa menggunakan jejaring politik kekuasaan parpol dan tokoh-tokoh
tertentu agar dapat terpilih menjadi rektor. Di sinilah dugaan permainan
dimulai, dengan menggelontorkan uang suap dan kekuatan pengaruh politik, yang
akhirnya bisa menekan menteri menjatuhkan dukungan pada calon yang mendekat.
Korupsi favoritisme
Praktik ini, menurut DW Chapman (2005),
merupakan korupsi dalam kategori favoritisme (favoritism), yakni perilaku culas dalam membuat keputusan dan
kebijakan untuk mengarahkan dan mempromosikan seseorang dalam jabatan-jabatan
tertentu sesuai dengan imbalan dan jasa yang dikehendaki. Favoritisme
merupakan penyakit kronis birokrasi, yang menyebabkanrelasi yang tak sehat.
Seperti dinyatakan R Klitgaard (1988) dalam bukunya, Controlling Corruption, ia berupa relasi timpang dalam
pengelolaan birokrasi(principal-agent relation), di mana sang menteri sebagai
principal dan sang rektor sebagai agent.
Dalam relasi principal-agentini akan
menghasilkan hubungan bisnis jangka panjang, berupa monopoli sangprincipal
untuk meminta balas jasa kepada agent. Pada relasi ini, konkretnya acap kali
dipergunakan untuk meminta fee proyek-proyek di PTN atau setidaknya agar sang
agent dapat mengarahkan lokasi proyek di PTN kepada keluarga atau kolega sang
principal. Bahkan, acap kali proyek-proyek di PTN dimonopoli politisi yang
berjuang menjadi tim sukses rektor saat berjuang meraih 35 persen suara dari
menteri.
Korupsi dalam bentuk favoritisme ini tak bisa
dianggap biasa karena PTN seharusnya menjadi penyelamat dan agen anti korupsi
justru jadi ladang baru korupsi bagi petualang dan calo-calo politik. Dapat
dibayangkan jika semua kebijakan pengadaan barang dan jasa di PTN dibangun
dalam sistem ijon dan kolutif di antara principal-agent, dipastikan tata
kelola birokrasi PTN tak akuntabel dan transparan. Itulah sebabnya korupsi
dalam bentuk suap pemilihan rektor ini perlu dikuak dan dibongkar jejaringnya
agar tak mentradisi di PTN.
Adalah tugas Ombudsman RI, KPK, serta
Kemristek dan Dikti bersama-sama memanggul tugas melakukan penyelidikan
secara terbuka terhadap dugaan adanya praktik suap ini. Dapat dimulai dengan
melakukan verifikasi ulang terhadap proses pemilihan rektor di sejumlah PTN
yang diduga melakukan suap.
Saatnya pemilihan rektor PTN dilepaskan dari
gurita politik ”restu” Kemristek dan Dikti dengan mencabutPeraturan Menristek
dan Dikti No 1/2015, yang memberi mandat otoritas menteri memiliki saham 35
persen suara dalam pemilihan rektor. Seharusnya pemilihan rektor tak
diintervensi pemerintah pusat dan memberikan ruang otonomi politik pada PTN
secara luas untuk memilih dan menentukan sendiri dosen-dosen terbaiknya untuk
memimpin PTN.
Jika Kemristek dan Dikti ingin mengambil peran
dalam pemilihan rektor cukup dalam bentuk menetapkan tata tertib pemilihan.
Proses pemilihan dan penentuannya dilakukan secara otonom. Intervensi menteri
pada PTN tidak selayaknya ada di level kepemilikan saham 35 persen suara,
tetapi dapat juga diwujudkan dalam bentuk pengawasan ketat saat pemilihan
rektor agar dapat berlangsung secara transparan, akuntabel, dan demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar