Korupsi
atas Nama Partai
Imam Anshori Saleh ;
Pengamat Hukum dan Peradilan;
Anggota DPR Periode 2004-2009
|
KOMPAS, 03 November
2016
Rasanya tidak ada partai politik di Indonesia
yang memerintahkan kadernya untuk melakukan tindak pidana korupsi untuk
disetor ke partainya. Yang ada, parpol tutup mata atas sumbangan kadernya
seberapa pun besarnya.
Parpol pada umumnya juga tidak pernah
mempertanyakan asal-usul kontribusi dari kadernya. Konon, parpol tidak boleh
berburuk sangka terhadap kadernya sendiri kendati jumlah yang disetor tidak
masuk akal. Biasanya, kader yang banyak memberikan kontribusi dana untuk
partai akan mendapat reward, misalnya akan mendapat prioritas kalau ada
lowongan jabatan di kelengkapan DPR, masuk panitia khusus yang menarik,
jabatan di internal partai, atau nomor bagus calon anggota legislatif dalam
pemilihan umum.
Dengan demikian, yang diungkapkan oleh Indra
Jaya—Kepala Bidang Pelaksana Jalan, Tata Ruang, dan Permukiman Provinsi
Sumatera Barat—sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta (Kompas, 11 Oktober 2016), merupakan hal yang biasa. Dalam
kesaksiannya, Indrajaya mengungkapkan bahwa uang Rp 500 juta yang diterima
anggota Komisi III DPR Putut Sudiarna tidak hanya sebagai imbalan agar dana
alokasi khusus (DAK) Provinsi Sumatera Barat dapat dicairkan, tetapi juga
untuk menyumbang Partai Demokrat.
Sumber dana partai
Tentu kasus seperti ini tidak hanya melanda
Partai Demokrat. Sebagian parpollainnya juga mengalami hal yang sama. Dengan
alasan karena besarnya biaya yang diperlukan untuk menggerakkan roda partai,
para kader partai di pusat ataupun daerah diimbau untuk memberikan kontribusi
dana. Parpol seolah-olah melegalkan pencarian dana dengan cara-cara yang
ilegal. Sikap permisif seperti inilah yang kemudian biasa dijadikan alasan
atau dimanfaatkan kader parpol di legislatif ataupun eksekutif untuk
mengorupsi uang negara.
Menurut UU Partai Politik, sumber keuangan
partai politik adalah iuran anggota, penyumbang, dan bantuan negara. Sejak warga
negara dibebaskan mendirikan partai politik menjelang Pemilu 1999 hingga
Pemilu 2009, belum ada satu partai politik pun berhasil mengumpulkan iuran
anggota. Kebanyakan dana datang dari para penyumbang, baik penyumbang
perseorangan maupun badan usaha. Namun, jika daftar penyumbang partai politik
dan daftar penyumbang dana kampanye yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum
(KPU) ditelusuri, jumlah dana yang dilaporkan tersebut tidak seberapa jika
dibandingkan dengan perkiraan biaya riil partai politik per tahun atau biaya
kampanye pada masa pemilu.
Selama ini, semua parpol di Indonesia
sebenarnya sudah memiliki sumber dana yang tetap. Dana itu antara lain dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), iuran anggota legislatif di DPR ataupun DPRD, dan
kontribusi dari calon-calon kepala daerah yang berkontestasi dalam pemilihan
kepala daerah. Selain itu, juga sumbangan dari pengusaha yang bersimpati
terhadap partai politik yang bersangkutan.
Jumlah iuran yang dikenai partai politik
terhadapanggota legislatif dan pejabat eksekutif bervariasi. Biasanya
menggunakan persentase dari gaji bersih yang diterima dari DPR dan DPD,
antara 15 persen dan 30 persen. Pejabat eksekutif seperti menteri dan para
kepala atau wakil kepala daerah biasanya tidak menggunakan persentase, tetapi
angka nominal tertentu, bergantung pada potensi ekonomi daerah.
Sumbangan dari para calon kepala/wakil kepala
daerah yang biasa disebut ”mahar” juga sering bermasalah. Sebab, tiap parpol
sering mematok jumlah sangat besar dan memberatkan calon kepala/wakil kepala
daerah. Apalagi bagi calon yang memerlukan banyak parpol untuk memenuhi
syarat, jumlah ”mahar” yang harus disetor sang calon kadang kala tidak masuk
akal, sangat besar.
Jumlah bantuan APBN untuk parpol berdasarkan
PP No 5/2009 jo PP No 83/2012 tentang Bantuan Kepada Partai Politik sebesar
Rp 108 per suara. Jumlah ini dinilai banyak pihak terlalu kecil. Sebagai
perbandingan, pada saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, saat itu
APBN memberikan sumbangan setiap suara yang diperoleh parpol sebesar Rp
1.000. Oleh karena itu, beberapa waktu terakhir muncul wacana ada keinginan
untuk menaikkan jumlah dana bantuan dari APBN terhadap partai politik. Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dan sejumlah lembaga swadaya
masyarakat menyetujui gagasan bantuan APBN terhadap parpol diperbesar.
Nilai strategis
bantuan
Tujuan bantuan keuangan partai politik adalah
menjaga kemandirian partai politik. Sebab, jika kebutuhan dana partai politik
lebih banyak dipenuhi para penyumbang, partai politik cenderung memperhatikan
kepentingan penyumbang daripada kepentingan anggota atau rakyat dalam
mengambil keputusan atau kebijakan.
Apabila hal itu terjadi, posisi dan fungsi
partai politik sebagai wahana memperjuangkan kepentingan anggota atau rakyat
menjadi tidak nyata. Di sinilah nilai strategis bantuan keuangan partai
politik dari negara agar mampu menjaga kemandirian partai politik demi
memperjuangkan kepentingan anggota dan rakyat (Didik Supriyanto dan Lia
Wulandari, 2012).
Di sisi lain, pemberian dana dari negara
terhadap parpol dimaksudkan agar para kader tidak mencari dana secara liar
dengan mengatasnamakan parpol. Rasanya tidak mungkin mereka nekat melakukan
tindak pidana korupsi hanya demi parpol tempat mereka bernaung.Pada diri
mereka sudah ada niat berbuat jahat dan kebetulan ada peluang yang dibukakan
oleh parpol.
Seperti yang sering ”dinyanyikan” oleh M
Nazaruddin, mantan anggota DPR dari Partai Demokrat, kader dan parpol secara
simbiose mutualisme sama-sama memiliki andil dalam tindak pidana korupsi itu.
Andai pengadilan kita sudah menerapkan dengan baik ketentuan kejahatan
korporasi, kader, maupun pimpinan partai sama-sama dapat dijatuhi pidana.
Mandeknya pembicaraan tentang besaran bantuan
negara terhadap parpol saat ini kemungkinan karena berkaitan defisitnya APBN
kita. Namun, dengan semakin sering terungkapnya korupsi oleh kader partai
atas nama kepentingan parpol, kiranya pembicaraan masalah itu menjadi semakin
relevan. Yang penting dan mesti menjadi perhatian, pemberian bantuan itu
harus disertai dengan aturan yang ketat tentang tata kelola, transparansi,
dan pengawasan penggunaan dana. Jangan sampai terjadi subsidi dari negara
yang sudah diperbesar itu yang justrudikorup para kader parpol. Walaupun,
memang, dengan cara-cara itu belum ada jaminan bahwa subsidi dari negara akan
dapat menghentikan korupsi untuk dan atas nama partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar