Membangkitkan
Tradisi Besar Kemaritiman
Restu Gunawan ; Sekretaris
Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia;
Saat ini Kasubdit Diplomasi
Budaya Dalam Negeri Ditjen Kebudayaan, Kemdikbud
|
KOMPAS, 07 November
2016
Dua
tahun sudah pelaksanaan program besar bangsa Indonesia tentang pembangunan
poros maritim. Begitu pentingnya program ini sehingga perlu dibentuk
Kementerian Koordinator Kemaritiman, yang selama dua tahun menterinya sudah
berganti tiga kali pula. Ini menunjukkan target besar dari program ini belum
memenuhi harapan pemerintah.
Program-program
besar sudah dimulai, misalnya pembangunan pelabuhan berskala internasional,
transportasi antarpulau dan kawasan, percepatan bongkar muat pelabuhan, dan
lain sebagainya. Pembangunan infrastruktur maritim yang dilakukan secara
terus-menerus, yang merupakan bagian dari tradisi kecil (little tradition), sangatlah penting. Namun, untuk memperkuat
”tradisi kecil” tersebut perlu didukung oleh penguatan pembangunan tradisi
besar (great tradition) kemaritiman
yang lebih mengedepankan alam pikir dan perilaku sehingga akan terbentuk
karakter kemaritiman bangsa Indonesia.
Tradisi
besar inilah yang disingkirkan oleh pemerintah kolonial ketika ”membangun”
kekuatan maritim di Indonesia. Pada masa kolonial, Belanda berhasil
menghancurkan tatanan budaya besar kemaritiman bangsa Indonesia.
Belanda
memang membangun pelabuhan-pelabuhan besar dan kapal-kapal yang menghubungkan
antarpulau di Kepulauan Nusantara. Namun, pada saat bersamaan, Belanda
mematikan pula tradisi kemaritiman bangsa Indonesia, dengan membuat sejumlah
peraturan dan perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal yang mereka taklukkan
lewat peperangan.
Sebutlah
perjanjian Bongaya (1667) yang melarang nelayan Bugis-Makassar melakukan
pelayaran di luar pulau-pulau sekitar Makassar, kecuali ada izin dari
penguasa kolonial. Hal ini tentu mematikan tradisi besar kemaritiman orang
laut Bugis-Makassar.
Juga
perjanjian raja-raja Mataram dengan Belanda tentang pengelolaan pantai utara
Jawa, yang telah menghancurkan pula tradisi melaut orang Jawa. Padahal, jauh
sebelum Belanda menguasai Nusantara, mereka sudah terbiasa melakukan
pelayaran antarwilayah. Bahkan, sejarah pun mencatat betapa kekuatan
”angkatan perang” Kerajaan Demak di bawah pimpinan Adipati Unus—saat ini sang
pangeran masih berusia 17 tahun—pernah melakukan penyerangan ke Malaka pada
awal abad ke-16.
Tradisi
besar kemaritiman Indonesia sudah ada sejak bangsa- bangsa di Kepulauan
Indonesia melakukan interaksi dengan bangsa-bangsa lain di dunia jauh sebelum
Belanda datang. Para pelaut Indonesia telah mengarungi lautan dari Tiongkok
hingga India, bahkan sampai ke Afrika pada awal milenium pertama.
Dalam
catatan Tome Pires (Suma Oriental), misalnya, dikatakan bahwa Malaka adalah
pelabuhan terbesar dan teramai pada abad ke-15 dengan penduduk sekitar
190.000 orang. Para pedagang berdatangan dari Jawa, Sumatera, Sulawesi,
Persia, India, dan Tiongkok.
Begitu
juga Samodra Pasai (Ferlac) telah menjadi kerajaan yang cukup maju pada abad
ke-12, catat Ibnu Battuta dalam bukunya. Begitu juga I Tsing yang mencatat
pada abad ke-7 bahwa Chili Foshi (Sriwijaya di Sumatera) dengan ibu kotanya
di Foshi merupakan pusat pembelajaran agama Buddha yang sangat maju setelah
Nalanda di India. Bahkan, I Tsing menyarankan agar para biksu sebelum belajar
ke India belajar terlebih dahulu di Foshi.
Pertanyaan
besar yang muncul: bagaimana membangkitkan kembali tradisi besar kemaritiman
Indonesia tersebut yang sudah terkubur dalam tradisi agraris yang setengah
hati pula?
Sejarah
dan poros maritim
Begitu
pentingnya laut, sampai-sampai ada pandangan bahwa pada masa mendatang
kehidupan sesungguhnya akan ditentukan oleh siapa yang mampu ”menguasai”
laut. Kesadaran semacam ini yang sudah dibangun sejak dulu, misalnya oleh
Inggris Raya, lewat untaian kata penuh semangat bahwa: ”Barang siapa
menguasai gelombang, dialah yang akan menguasai perdagangan. Barang siapa
menguasai perdagangan, dialah yang akan menguasai dunia!”
Maka,
tak berlebihan jika komunitas sejarawan di Indonesia dalam Konferensi
Nasional Sejarah X, 7-9 November 2016, khusus mengusung tema ”Budaya Bahari
dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Perspektif Sejarah”. Lewat tema yang
diangkat ini, tentu sasaran yang ingin dituju adalah untuk memperkuat
landasan dalam pembangunan poros maritim Indonesia.
Sejarah
sebagai proses belajar membuktikan bahwa negara yang menguasai laut telah
melahirkan bangsa yang maju dan sejahtera. Apalagi diyakini bahwa pada masa
mendatang kehidupan berada di laut. Aktivitas pelayaran berperan menghubungkan
pulau-pulau dan mengintegrasikan bagian-bagian benua melalui kawasan-kawasan
lautnya. Meskipun pertumbuhan angkutan udara dan pengangkutan darat semakin
besar, sebagian besar perdagangan dunia masih akan bertumpu pada pelayaran di
laut. Hampir 80 persen perdagangan dunia melalui laut.
Begitu
pentingnya laut, maka pembangunan ”tradisi besar kemaritiman” dapat dilakukan
melalui berbagai cara. Pendidikan vokasi yang sekarang digiatkan oleh
pemerintah tentu butuh sumbangan kebudayaan dalam membangkitkan memori
tentang kejayaan di laut. Rasa bangga terhadap budaya ini akan memberikan
rasa percaya diri bagi anak-anak didik.
Selain
itu, sudah saatnya siswa diajak untuk mengenali budaya bahari melalui
tembang, nyanyian, tradisi kelautan, dan juga teknologi kelautan yang semakin
berkembang. Untuk itulah, mengutip apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo,
sudah terlalu lama kita memunggungi laut, kini saatnya laut ditempatkan
sebagai halaman depan rumah Indonesia. Kita berharap konferensi sejarah kali
ini memberikan sumbangan penting dalam memperkuat pendidikan vokasi dan
karakter bangsa, yaitu bangsa pelaut.
Jika
Seminar Sejarah Nasional tahun 1957 menghasilkan sebuah pandangan baru
tentang sejarah Indonesia dari Neerlando Sentris ke Indonesia Sentris, hal
ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu ikatan kuat dalam membangun
nasionalisme melalui sejarah nasional yang kuat. Dari pandangan inilah muncul
gelar pahlawan nasional yang dasarnya adalah tokoh yang dulunya melawan
Belanda sehingga dianggap pemberontak diangkat menjadi pahlawan nasional.
Gelar pahlawan nasional dicetuskan pertama kali pada tahun 1959 diberikan
kepada Abdul Muis. Selain itu, juga adanya perubahan terhadap buku-buku teks
sejarah yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai aktor dalam gerak dinamika
bangsa Indonesia.
Mengapa
Seminar Sejarah Nasional 1957 berhasil meletakkan arah baru pembangunan
karakter bangsa? Hal itu tak lain karena seminar diselenggarakan dalam
suasana bangsa Indonesia tengah mengalami semangat baru dan suasana politik
liberal yang revolusioner dan menyala- nyala.
Untuk itulah, dalam suasana politik saat
ini yang sangat mendukung, terutama jika dikaitkan dengan Nawacita dan arah
baru pembangunan Pemerintah Indonesia, sejarah pun punya peran yang sangat
besar. Sudah selayaknya jika konferensi ini dapat meletakkan dasar-dasar
pembangunan karakter bangsa dan mendukung pembangunan poros maritim,
khususnya dalam membangkitkan ”tradisi besar kemaritiman” Indonesia, yang
sudah lama tenggelam dalam persaingannya dengan budaya agraris yang setengah
hati pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar