Perekonomian
Kita, Baik Saja Tak Cukup
A Prasetyantoko ; Rektor
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
|
KOMPAS, 07 November
2016
Evaluasi
dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, khususnya bidang ekonomi,
secara umum baik. Indikasinya, pertumbuhan ekonomi masih berada di kisaran 5
persen, sementara angka kemiskinan menurun dan ukuran kesenjangan sosial
(rasio gini) juga membaik meski sedikit.
Masalahnya,
sekadar berkinerja baik saja tak lagi cukup. Good is not enough. Prinsip ini dimiliki para pekerja yang siap
menjadi pemenang. Untungnya, pemerintah kita memiliki semangat itu. Ini
penting karena potensi bangsa kita besar, tetapi skala persoalannya juga tak
kalah besar.
Ada
dua alasan pokok mengapa bertumpu pada kinerja ekonomi makro saja tak memadai
meski sudah dianggap baik. Pertama, perbaikan indikator makro terkadang tak
memotret realitas di lapangan. Kedua, kinerja makro sering berlawanan dengan
kondisi mikro. Indikator paling baik yang dijadikan acuan mengukur kinerja perekonomian
adalah penyerapan tenaga kerja karena berkorelasi langsung dengan tingkat
kesejahteraan riil masyarakat.
Tambahan
lapangan kerja tak bisa dicapai secara instan dan terkait dengan ketersediaan
modal, logistik, dan produktivitas tenaga kerja. Harus diakui, penyerapan
tenaga kerja masih menjadi isu sentral dalam perekonomian domestik kita.
Berdasarkan
data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada triwulan III-2016,
penyerapan tenaga kerja turun 22 persen dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
(Kompas, 1/11). Arah industri juga lebih condong padat modal ketimbang padat
karya. Selama sembilan bulan ini, perekonomian hanya mampu menyerap tenaga
kerja kurang dari 1 juta jiwa.
Sementara,
jumlah pengangguran terbuka menurut Badan Pusat Statistik (BPS) masih secara
konsisten berada di kisaran 7 persen selama empat tahun terakhir. Pada 2011,
jumlahnya 7,7 juta jiwa dan pada 2016 angkanya masih di atas 7,02 juta jiwa.
Jumlah penganggur stagnan karena menurunnya kualitas pertumbuhan. Seperti
catatan Kompas, pada 2004 setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap
450.000 tenaga kerja. Namun, pada periode 2012-2015 turun drastis di bawah
200.000 orang.
Rembuk
Nasional 2016 bidang ekonomi, industri, dan perbankan mengidentifikasi
perlunya mengembalikan peran sektor industri dalam perekonomian. Tema
reindustrialisasi dipilih para ekonom dan pelaku usaha bisa memberi opsi
jalan keluar.
Tema
ini selaras dengan harapan Presiden Joko Widodo yang tampak tak sabar dengan
pencapaian kinerja perekonomian. Di tengah revisi pertumbuhan global yang
berimplikasi pada target pertumbuhan domestik, Presiden tetap memasang target
pertumbuhan 2018 di atas 6 persen.
Di
mata teknokrat, target ini mungkin terlihat intuitif dan tanpa argumen
empiris yang memadai. Namun, tugas pemimpin memang harus bersikap intuitif
selain visioner. Intuisi turun dari penyederhanaan persoalan yang begitu
kompleks. Sementara visioner muncul dari kemampuan melihat dimensi masalah
yang belum muncul sekarang. Keduanya harus diramu menjadi arah kebijakan.
Tanpa intuisi dan sikap visioner, pemimpin hanya terjebak dalam retorika,
tanpa melakukan sesuatu yang riil.
Dialektika
Dalam
dinamika pencapaian sasaran pertumbuhan tersebut, ada dialektika antara
pemimpin, teknokrat, dan birokrat. Kelompok terakhir ini penting karena
merekalah yang akan menjalankan seluruh administrasi pemerintahan. Jika
mereka tak melaksanakan fungsinya dengan baik, tak akan ada kinerja apa pun.
Bagaimana
rekomendasi reindustrialisasi dari kacamata para pengusaha dan ekonom? Pertama,
pemerintah harus memiliki peta jalan yang jelas mengenai strategi industri.
Ini mencakup prioritas industri, lingkungan pendukung, dan pelaku utamanya.
Kedua,
membangun lingkungan industri yang mendukung, mulai dari perizinan hingga
ketersediaan akses keuangan yang memadai. Ketiga, menempatkan badan usaha
milik negara (BUMN) sebagai pelaku garda terdepan. BUMN punya tugas
melaksanakan pekerjaan yang tak disenangi pelaku swasta pada umumnya, tetapi
tetap dengan kalkulasi dan pendekatan profesional. Pemerintah menjadi
investornya.
Rancangan
strategi industri jauh lebih pelik karena melibatkan tiga level persoalan
sekaligus, yakni ekonomi makro, industri, dan perusahaan. Hasil akhir dari
pemetaan ini adalah identifikasi para pelaku usaha dengan kelompok
perusahaannya. Ini persis seperti merancang birokrasi hingga memilih siapa
yang harus duduk pada posisi sesuai rancangan tersebut.
Pada
level ini, persoalannya tak lagi seluruhnya teknokratis, tetapi juga politis.
Bahkan, sering ditengarai, proses ”pemilihan para pemenang” inilah yang
berujung pada perilaku perburuan rente ekonomi. Karena itu, landasan paling
penting dari seluruh strategi dan tata cara ini adalah birokrasi yang
berintegritas tinggi, selain kompeten.
Memang tidak ada jalan yang mudah, apalagi
pintas. Namun, hanya dengan kemampuan menggambarkan peta masalah, merumuskan
arah kebijakan, dan mengawal pelaksanaan, niscaya perubahan akan bisa
dirasakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar