Langit
Makin Mendung
Okky Madasari ; Novelis;
Karya-karyanya adalah Entrok (2010), 86 (2011), Maryam (2012), Pasung Jiwa
(2013), Kerumunan Terakhir (2016)
|
JAWA POS, 06 November
2016
SAAT
ratusan ribu orang berdemonstrasi di Jakarta, saya memilih untuk membaca
ulang cerita pendek Kipandjikusmin Langit Makin Mendung yang terbit di
majalah Sastra pada 1968. Cerita pendek menggegerkan itu berkisah tentang
turunnya Muhammad dari langit ke sekitar Monas untuk mencari tahu kenapa
semakin sedikit umatnya yang masuk ke surga.
Langit
Makin Mendung, sebuah karya sastra yang lahir dari buah pikir dan buah
imajinasi pengarangnya, justru digugat ke pengadilan karena dianggap
menistakan agama. Menistakan Islam. H.B. Jassin, sang editor, menolak untuk
membuka identitas Kipandjikusmin dan merelakan dirinya untuk menanggung
hukuman yang dijatuhkan pengadilan. Majalah yang dia kelola pun diberedel dan
tak bisa terbit lagi. Semuanya hanya karena sebuah karya fiksi.
Sulit
untuk tidak mengaitkan apa yang terjadi pada Ahok dan aksi besar-besaran 4
November dengan apa yang terjadi pada cerita pendek Kipandjikusmin 48 tahun
lalu. Sama sulitnya untuk tidak mengingat apa yang menimpa Arswendo
Atmowiloto pada 1990. Arswendo harus dihukum lima tahun penjara hanya karena
jajak pendapat yang dibuatnya menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh pilihan
pembaca nomor 11, satu peringkat di bawah Arswendo yang menempati posisi
nomor 10.
Yang
terjadi pada Ahok tak ada bedanya dengan yang terjadi pada Kipandjikusmin dan
Arswendo. Yang sedikit membedakan hanyalah persoalan Ahok ini terkait dengan
politik, perebutan kekuasaan, dan upaya memenangkan pertarungan pilkada DKI
Jakarta. Asal muasal keributan dan aksi besar 4 November ini pun sudah jelas
kata-kata yang dilontarkan Ahok dalam konteks pilkada DKI Jakarta.
Yang
juga membedakan barangkali adalah posisi tiga orang itu. Ahok memiliki posisi
politik yang kuat, yang membuatnya tak mudah diadili massa, tak mudah diseret
ke pengadilan, menjadi tersangka, apalagi masuk penjara hanya karena urusan
sepele yang menjadi besar hanya karena mendapat embel-embel ’’penistaan
agama’’.
Seandainya ini bukan seorang Ahok, saya
yakin kasus ini akan dengan cepat diselesaikan kepolisian, Ahok diciduk dari
rumahnya, dipenjara sembari kasusnya disidang, lalu ujungnya dipenjara.
Setahun, tiga tahun, atau lima tahun. Tak perlu pemberitaan berkepanjangan,
tak perlu elite politik sibuk bermanuver sana-sini, tak perlu ribuan orang
turun ke jalanan.
Ya, semua ribut besar ini memang gara-gara
seorang Ahok yang tak bisa menjaga mulutnya dengan bijak. Tapi, lebih dari
sekadar persoalan Ahok, segala huru-hara ini adalah buah persoalan sistemik
dan fundamental bangsa ini yang terus memelihara kebodohan, kebebalan,
pikiran sempit, kemalasan berpikir, serta kebencian. Sialnya, itu semua
dilegitimiasi dalam sebuah perangkat undang-undang yang sah: Undang-Undang
Penodaan Agama.
Undang-Undang Penodaan Agama jelas sebuah
perangkap untuk akal sehat dan nurani kita. Ia bisa memenjarakan seorang
pengarang hanya karena imajinasi dan kreativitasnya. Ia menghukum orang hanya
karena membuat sebuah jajak pendapat. Dengan mudah pula ia akan menghukum
orang yang bicara tentang ayat Alquran sesuai pemahaman yang dimilikinya.
Dengan mudah pula Undang-Undang Penodaan Agama akan dipakai orang-orang yang
punya kepentingan untuk mencapai tujuannya.
Sebagai seorang pengarang, tentu saya bisa
membayangkan betapa dekatnya kesialan nasib yang menimpa karya Kipandjikusmin
dengan diri saya. Siapa yang bisa mengatur dan melarang imajinasi dan pikiran
seseorang? Bagaimana saya bisa membatasi imajinasi dan pikiran saya sendiri?
Kata-kata yang diucapkan Ahok sesungguhnya
juga bukan kata-kata yang tak pernah kita dengar dalam pergaulan kita
sehari-hari, baik hanya sedang bercanda maupun dalam perdebatan serius. Siapa
yang berhak menjadi hakim atas itu semua? Akankah semua harus dibawa ke
kantor polisi dan berakhir dengan penjara hanya karena aturan hukum memberi
kita ruang untuk melakukannya?
Kali ini kesialan menimpa seorang Ahok.
Lain waktu ia bisa menimpa kita. Sialnya, kita bukan seorang politikus dan
pejabat yang memiliki posisi tawar tinggi. Kita tak punya teman di kekuasaan
yang bisa mengatur polisi. Kita juga bukan pemilik media yang bisa mengatur
opini.
Menjunjung tinggi aturan hukum adalah
sebuah kewajiban. Tapi, berani mempertanyakan aturan yang tak lagi sesuai
dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan tentu jauh lebih dibutuhkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar