Makna
Safari Politik Presiden Joko Widodo
Ikrar Nusa Bhakti ;
Peneliti Senior LIPI
|
MEDIA INDONESIA,
16 November 2016
DALAM delapan hari terakhir pascademonstrasi
besar pada 4 November 2016, Presiden Joko Widodo melakukan safari politik ke institusi-institusi
militer, Polri, dan lembaga-lembaga keagamaan Islam, seperti Nahdlatul Ulama
(NU), Muhammadyah, dan menemui tokoh-tokoh Islam yang berasal dari Jakarta
dan Banten. Tak cuma itu, Presiden juga menghadiri acara-acara yang dilakukan
partai-partai yang berbasis Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Pada setiap kunjungan ke Markas Besar Angkatan
Darat (Mabes AD), Markas Marinir, Mabes Polri, Markas Brimob, Markas
Kopassus, Kostrad, dan Paskhas, selain mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas peran TNI dalam menjaga Demonstrasi Damai 4 November
lalu, Presiden Jokowi terus menegaskan dalam susunan ketatanegaraan di
Indonesia, Presiden ialah panglima tertinggi yang setiap saat dapat
mengerahkan pasukan TNI dan Polri melalui Panglima TNI dan Kapolri.
Dalam kunjungannya ke ormas-ormas Islam,
selain mengungkapkan rasa terima kasih karena sudah menjaga kedamaian,
presiden berharap agar demonstrasi yang rencananya akan dilakukan pada 25
November 2016 tidak dilaksanakan lagi. Kalaupun terpaksa dilaksanakan,
jumlahnya jangan terlalu besar dan tidak menjurus kepada tindakan anarkistis
seperti yang terjadi pada 4 November selepas pukul 18.00, batas waktu
dibolehkannya demonstrasi.
Saat berkunjung ke acara PAN, presiden
bertanya hal yang terkait dengan Ahok dan pilkada Jakarta, juga menyangkut
posisi jabatan dia sebagai Presiden RI. Padahal sudah berkali-kali Presiden
menyatakan ia tak akan mengintervensi kasus penistaan agama yang dituduhkan
kalangan terhadap Gubernur DKI Jakarta tersebut. Presiden menyerahkan proses
tersebut kepada Polri seadil-adilnya. Pertanyaannya kemudian mengapa demo
besar terjadi? Mengapa pula Presiden harus melakukan safari politik ke berbagai
institusi militer, polisi, dan ormas-ormas Islam tersebut?
Makna politik
Demonstrasi besar-besaran yang disebut Aksi
Bela Islam pada 4 November 2016 tidaklah terjadi pada ruang hampa politik.
Berbagai kepentingan bercampur baur pada gerakan tersebut. Ada yang memiliki
kepentingan politik agar Ahok dibatalkan sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta,
ada yang ingin mengganti sistem demokrasi dan presidensial dengan sistem
kekhalifahan, ada yang ingin menjatuhkan Presiden Jokowi melalui parlemen
jalanan, ada pula yang memang sejujurnya ingin agar Ahok diproses polisi
dengan tuduhan penistaan agama.
Konferensi Pers yang memakan waktu lebih dari
1 jam yang dilakukan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2 November
2016, misalnya. Walaupun berbagai pihak di Partai Demokrat menyatakan itu
dilakukan Ketua Umum Partai Demokrat untuk menolak tuduhan bahwa dirinya
membiayai demo 4 November dan tak ada kaitannya dengan pilkada DKI Jakarta,
nuansa politiknya amat kental dengan pilkada DKI.
Simak kalimat Yudhoyono yang menyatakan, jika
pemerintah menolak tuntutan para pendemo, sampai lebaran kuda pun demo-demo
tersebut akan terus terjadi. Kalimat yang menyebutkan agar jangan biarkan
Indonesia terbakar akibat kasus penistaan agama ini juga pernyataan politik
yang amat keras. Tidaklah mengherankan jika sekelompok orang yang
mengatasnamakan Forum Alumni HMI melaporkan Yudhoyono ke Mabes Polri dengan
tuduhan provokasi atau menghasut massa. Jika saja putra sulung mantan
Presiden Yudhoyono tidak menjadi kandidat penantang Basuki Tjahaja Purnama
pada Pilkada DKI Jakarta 2017, belum tentu Yudhoyono akan membuat pernyataan
sekeras itu.
Satu hal yang juga mencengangkan, Wakil Ketua
DPR dari Fraksi PKS, Fahri Hamzah, secara berapi-api berpidato di depan
publik bahwa ada dua cara untuk menjatuhkan Presiden Jokowi, yaitu melalui
parlemen resmi di Senayan dan melalui parlemen jalanan. Pernyataan tersebut
menunjukkan betapa politikus itu tidak percaya pada proses demokrasi yang
memberikan peluang bagi pergantian kekuasaan melalui jalan damai pemilu yang
langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil.
Hal lain yang dilontarkan melalui media sosial
ialah isu bahwa Presiden Jokowi akan mengganti Panglima TNI Jenderal Gatot
Nurmantyo dan karena itu massa harus menjatuhkan Presiden Jokowi dan
mengangkat Panglima TNI menjadi Presiden RI. Hal itu amat absurd karena tidak
sesuai dengan asas demokrasi dan TNI sejak Mei 1998 sudah menyatakan diri
menarik diri dari politik praktis.
Safari Presiden Jokowi ialah upaya konsolidasi
kekuatan bahwa ia masih menjadi panglima tertinggi TNI dan Polri. Presiden
juga tidak ingin Indonesia yang bersatu ini tercerai berai akibat adu domba
politik terhadap umat Islam Indonesia demi kepentingan segelintir aktor
politik sipil dan mantan militer. Sebagai penjaga Pancasila, konstitusi
negara, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), TNI wajib menjalankan
tugas sesuai dengan politik negara.
Sebagai bayangkara negara, TNI diharapkan
tetap menjadi unit tunggal yang menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Polri
juga diharapkan dapat melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, tidak
terbatas pada mereka yang melakukan demo damai, tetapi rakyat Indonesia yang
tidak ikut demo. Para tokoh Islam moderat juga diharapkan dapat menjadi imam
para jemaah agar mencegah gerakan radikal untuk mengubah dasar negara dan
menjaga agar demo damai tidak berubah menjadi gerakan anarkistis yang
berujung pada tindakan makar.
Indonesia yang dibangun para bapak/ibu pendiri
bangsa jangan sampai hancur berkeping-keping akibat kepentingan kekuasaan
politik dan ekonomi segelintir orang yang mengadu domba umat Islam. Demokrasi
yang dibangun sejak Mei 1998 juga jangan sampai gagal dan kembali ke sistem
otoriter. Indonesia ialah negara berpenduduk Islam terbesar di dunia yang
selama ini menjadi contoh bagi berbagai negara bahwa antara Islam dan
demokrasi bisa saling mengisi dan mendukung. Mengapa kita harus membiarkan
adanya gagasan agar konflik di negara-negara Arab baik yang terkait dengan
ISIS/NIIS maupun Arab Spring masuk ke Indonesia dan memorak-porandakan negeri
yang amat kita cintai ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar