Kotak
Pandora dalam Kasus Ahok
Sampe L Purba ;
Pemerhati Sosial Politik; Alumnus
Lemhannas RI
|
MEDIA INDONESIA,
17 November 2016
BANGUNAN modern Indonesia
merdeka yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 didirikan di atas konsensus
dasar Pancasila yang bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika. Ada dua prinsip
dasar kebinekaan. Pertama, tercantum dalam Pembukaan UUD, yakni pemerintah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Air Indonesia. Prinsip
kedua, negara berdasar atas hukum, dan tiap-tiap warga negara bersamaan
kedudukannya di depan hukum. Esensi dari prinsip dasar di atas tidak mengenal
istilah mayoritas-minoritas atau diskriminasi berdasarkan SARA. Sistem
kenegaraan kita juga menganut prinsip demokrasi. Dalam konteks ini, number is
a matter. Produk UU yang dihasilkan merupakan cerminan mayoritas kehendak
rakyat melalui parlemen. Namun demikian, kebebasan parlemen membuat UU harus
tunduk sejalan serta dibatasi koridor dua prinsip pada konsensus dasar di
atas.
Logika hukum tidak selalu sama
dengan logika demokrasi sekalipun hukum ialah produk dari lembaga demokrasi. Aliansi
strategis permanen atau pragmatis, kompromi atau keseimbangan harmoni
mayoritas-minoritas merupakan ranah lembaga demokrasi, sementara tataran
hukum bergerak pada penegakan kebenaran, perlindungan, keadilan, dan
kepastian hukum. Produk hukum tidak boleh tunduk pada pembenaran berdasarkan
pendapat atau opini. Fiat justitia ruat
caelum, hukum harus tegak sekalipun langit runtuh. Demikianlah
keseimbangan kedua prinsip itu dirumuskan dalam sistem dan tata kenegaraan
kita.
Pasca 4 November
Konstelasi dinamika sosial dan
politik pascaunjuk kekuatan sekelompok massa pada 4 November 2016 di Ibu
Kota, yang dipertontonkan secara terbuka di hadapan seantero bangsa di pelataran
depan Istana Negara, diam-diam sedang mencari pendulum ekuilibrium baru dalam
lansekap episentris agenda para aktor politik. Kasus yang ditimpakan kepada
Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tampaknya
merupakan casus belli pemicu pembuka kotak pandora. Sendi-sendi berbangsa dan
bernegara kita pada dua prinsip di atas sedang dalam ujian. Hatred speech (kampanye kebencian)
dengan bebas berjumpalitan di ruang publik. Luka lama gejala yang sama pada
saat kampanye pilpres yang lalu terusik kembali. Fenomena ini tidak terlepas
dari semaian intoleransi dan persepsi ketidakadilan yang telah lama
berkembang.
Safari Presiden ke mainstream organisasi keagamaan dan
tokoh-tokoh masyarakat meminta mereka menenangkan umat serta mencegah demonstrasi
lanjutan patut diapresiasi. Safari Presiden tersebut merupakan komitmen kuat
untuk mengingatkan kembali bahwa seluruh elemen bangsa, termasuk tokoh-tokoh
informal dan nonformal juga harus menjadi bagian dari kekuatan moral yang
berperan untuk merekat soliditas kita sebagai bangsa dalam bingkai
kebinekaan.
Pesan 'penuntasan kasus' yang
dijanjikan Presiden hendaknya dipahami dan diterima secara cerdas dan bijak. Jangan
diinterpretasikan sebagai eufemisme bersayap kompromistis. Prinsip penegakan
hukum tidak boleh menuntut tumbal atau martir untuk demokrasi. Mobilisasi
massa harus dihindari. Dalam ilmu sosiologi, massa ialah ibarat lebah yang
telah keluar dari sarangnya dan hampir mustahil memprediksi eskalasinya. Inspeksi
Presiden ke satuan-satuan elite militer dan kepolisian juga merupakan langkah
yang bijak.
Presiden-sebagai Kepala Negara
dan Panglima Tertinggi-sangat firm bahwa TNI dan Polri ialah satuan merah
putih yang mempertahankan NKRI dengan kebinekaannya. TNI dan Polri ialah
instrumen negara yang lahir dari rakyat-tidak mungkin akan diminta berhadapan
dengan rakyat.
Langkah-langkah Presiden tersebut tidak perlu dipandang
sebagai langkah show of force
kepada lawan ataupun kawan, tetapi harus dipandang sebagai penegasan bahwa
TNI dan Polri merupakan tiang utama penjaga kebinekaan. Beliau ialah Presiden
yang diberi amanah, mandat penuh konstitusi dengan segala instrumennya untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Ancaman dan harapan
Panglima TNI belum lama ini
secara terbuka menyampaikan kekhawatiran atas masifnya potensi ancaman dari
luar dan dari dalam, yang dapat mengganggu keutuhan kita sebagai suatu
bangsa. Salah satu di antaranya ialah fundamentalisme dan radikalisme
berlabel agama. Indonesia potensial menjadi ladang terorisme yang subur
apabila tidak ada antisipasi dan penanganan yang tepat. Video pelatihan
anak-anak Indonesia di Suriah yang dipersiapkan menjadi pejuang khilafah,
yang sewaktu-waktu dapat digerakkan, membuat kita miris dan prihatin. Kawasan
Jolo di Filipina Selatan yang sangat dekat dengan Indonesia merupakan basis
organisasi itu di kawasan Asia Tenggara. Jelas ini merupakan ancaman nyata
kebinekaan kita.
Radikalisme apalagi terorisme
ialah perbuatan biadab di luar hukum. Karena itu, penanganannya harus tidak
berdasarkan hukum yang normatif. Melawan terorisme bukan dengan hukum pidana
antiterorisme. Hal ini karena hukum selalu bergerak pada tataran konvensional--criminal
justice system--seperti persiapan teror, peledakan atau pembunuhan harus
terjadi dulu barulah diikuti dengan proses penegakan hukum, seperti
penangkapan, penuntutan, pemidanaan, hingga deradikalisasi. Itu memang
kelihatan humanis, tetapi tidak efektif dan juga salah kaprah. Telat.
Terorisme ialah extra ordinary threat dan menjadi
ancaman peradaban. Terorisme hanya dapat dilawan dan dibungkam dengan contra terrorism: Mendeteksi,
mencegah, dan menghancurkan bahkan sebelum kegiatan teror itu berlangsung. Necessitas legem non habet- utilitas
untuk melindungi kepentingan negara harus dikedepankan, demikian pendapat
filsuf Santo Romano.
Rentetan peristiwa 4 November
tidak lagi merupakan wake up call bagi Presiden karena harus segera mengambil
langkah-langkah nyata dan deterministik. Semaian intoleransi yang dijejalkan
sejak dini dalam ruang-ruang tertutup ataupun media, serta seruan keagamaan
radikal dalam negeri harus dihentikan. Itu mencederai dan meracuni
keindonesiaan kita.
Ukurannya sangat jelas dan gamblang. Segala simpati
pemikiran, gerakan, dan tindakan yang bertentangan dengan semangat kebinekaan
dan Pancasila harus dibungkam dan dicabut sampai ke akar-akarnya.
Presiden perlu mengoptimalkan
basis dukungan politik besar yang masih dimiliki. Dukungan itu tidak taken for granted. Jangan biarkan ada social unrest and disobedience,
kegusaran dan pembangkangan publik sporadis. Apabila ini meluas, legitimasi
dukungan dapat tergerus dengan gradasi eskalasi lanjutan ke tertib sipil,
darurat sipil, dan seterusnya. Sesuatu yang disayangkan. Rakyat Indonesia
sebagai the silent majority,
pecinta damai dalam kebinekaan, yang merupakan kepribadian hakiki Indonesia,
tentu berharap dan percaya kepada Pak Presiden sebagai panglima tertinggi
seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar