Menggagas
Formasi Relasional Agama dan Demokrasi
Max Regus ;
Studi Doktoral di the Graduate
School of Humanities,
University of Tilburg, Belanda
|
MEDIA INDONESIA,
15 November 2016
DALAM beberapa hari terakhir, media massa
nasional memberitakan rangkaian kunjungan Presiden Jokowi ke sejumlah pihak.
Ini dilakukan, pertama, sebagai tanggapan atas aksi 4 November lalu. Kedua,
melakukan konsolidasi nasional-kebangsaan untuk isu tentang ketidakpastian
situasi sosial-politik beberapa hari ini (Media Indonesia 12/11). Satu bagian
dari proses ini merujuk pada serangkaian langkah Presiden Jokowi mengunjungi
kantor pusat beberapa organisasi utama Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah, yang dilengkapi dengan kehadiran beliau dalam Silaturahim
Nasional (Silatnas) Ulama Rakyat pada Sabtu (12/11).
Memang, pada hari-hari ini, hubungan agama dan
demokrasi (politik) menghadapi ‘sinisme’ akut. Di baliknya, ada asumsi
tentang kerusakan yang muncul dari kontestasi keduanya. Kita bisa melihat
jauh ke belakang lagi. Ketika Barat memperkenalkan sekularisme, ‘pemisahan
radikal’ urusan politik dan gereja (agama), ada satu pertanyaan yang tersisa.
Apa ‘merusak’ apa? Apakah agama merusak politik? Atau, politik yang
mencederai agama? Bagaimanapun, usaha ‘akademik-teoretis’ untuk mengikis
sinisme ini tetap menjadi ikhtiar banyak ilmuwan politik.
Bukan mitos belaka
Untuk isu ini, studi klasik Alexis de
Tocqueville, Democracy in America
(1835), tetap menjadi salah satu rujukan akademik penting. Dia menjelaskan
bagaimana agama, meskipun sering dianggap sebagai fenomena ‘pramodern’ dan
‘prademokrasi’, tetap didudukkan pada posisi penting dalam kerangka merawat
‘demokrasi modern’, terutama mengawetkan ‘kebebasan politik’. Bagi De
Tocqueville, kebebasan politik dalam demokrasi niscaya memerlukan landasan
moral.
Dalam sudut tinjauan De Tocqueville, dalam
studinya, Tocqueville on Christianity
and American Democracy (2016), Carson Holloway, pengajar ilmu politik
dari Universitas Omaha, Nebraska, AS, menyimpulkan ‘kebebasan politik’ justru
dapat saja dihancurkan sejumlah kecenderungan dalam demokrasi. Itu terjadi
ketika demokrasi melebihkan individualisme, mengutamakan politik
materialistis, dan memuluskan tirani mayoritas. Menurutnya, sekali lagi,
hanya agama yang terbukti berhasil mengatasi tendensi berbahaya ini. Secara
teoretis, agama mengajari orang tentang kewajiban personal dan panggilan
sosial untuk menghargai diri sendiri dan komunitasnya serentak menghormati
hak-hak orang lain.
Dengan itu, keyakinan akan posisi agama dalam
demokrasi bukan sekadar ‘mitos’. Sejarah pemikiran politik tidak pernah
secara penuh melupakan peran kunci agama. Bahkan, para ilmuwan politik Barat
membedah agama, tidak melulu dari sisi klaimnya tentang ‘keselamatan jiwa’,
tetapi juga memahami posisi agama dari perspektif kenegaraan (politik). Agama
secara ketat memiliki hubungan dengan konsep politik yang mengacu ke
perlindungan kebaikan bersama (bonum
commune).
Secara akademis, pemikir politik seperti
Edmund Burke dan John Locke percaya pemerintahan demokratis tidak dapat
dipertahankan dalam kondisi ‘ketiadaan peran agama’. Tentu saja, tetap dalam
konteks agama terutama mendorong perlindungan terhadap kebebasan yang
bertanggungjawab, juga nilai lain seperti keterbukaan dan kerelaan menghargai
perbedaan serta mengutamakan dialog dalam menyelesaikan ketegangan (konflik)
antarkelompok sosial.
Agama dan moral
demokrasi
Memang, sejak era pencerahan, masyarakat
modern melihat ‘agama’ sebagai hambatan bagi demokrasi. Dua strategi coba
diadopsi untuk mengatasi soal ini. Pertama, mendorong agama untuk
menyesuaikan diri dalam konteks demokratisasi. Kedua, membuka kemungkinan
bagi agama untuk memiliki otonomi, terutama dengan menurunkannya ke ranah
‘privat murni’; serentak mengeluarkan dan memisahkannya dari arena politik
kekuasaan.
Kenyataannya, pada kedua strategi ini,
kemudian, agama menjadi semakin tidak relevan bagi keadaban ruang publik.
Pada akhir abad ke-20, terlihat sejumlah kecenderungan historis, juga
konfigurasi politik yang berkorelasi dengan tatanan masyarakat modern, jatuh
ke dalam krisis radikal. Ini terdefinisikan secara telanjang pada kenyataan
demokrasi (politik) kehilangan basis konseptual di satu sisi, sementara agama
kehilangan identitas di sisi lainnya. Pertanyaan paling mendasar kemudian
ialah bagaimana demokrasi dan agama berevolusi bersama?
Di sini, sebuah skenario penting sedang
dimatangkan. Dari perspektif sosiologi politik, terbayangkan usaha memunculkan
‘strategi ketiga’ di tengah pergeseran konfigurasi masyarakat politik.
Strategi itu mengaitkan agama dalam kerangka sejarah yang ditandai dengan
diferensiasi cepat di bidang sosial, politik, dan kebudayaan. Agama, menurut
Graham Maddox dalam karyanya Religion
and the Rise of Democracy (2012), mesti menempatkan dirinya sebagai
penyedia nilai moral bagi demokrasi (politik).
Pada aras ini, agama dapat menunjukkan dirinya
sebagai satu entitas alternatif yang berkontribusi dalam pembangunan
masyarakat politik yang memiliki kualitas etik. Ini sekaligus menjadi
perlawanan konstruktif agama terhadap ruang publik yang terkurung
fundamentalisme agama di satu pihak dan sekularisme absolut di pihak lainnya.
Agama dapat mengukuhkan fundasi moral demokrasi. Dengan demikian, agama,
seperti yang diungkapkan Pierpaolo Donati, dalam Religion And Democracy in
the Post-Modern World: The Possibility of A ‘Religiously Qualified’ Public
Sphere (2001), dapat menajamkan panggilan untuk membangun ‘formasi relasional
konstruktif’ dengan demokrasi.
Demokrasi dan bahaya
kaum tiran
Kembali ke gagasan klasik De Tocqueville
(1835), agama perlu bekerja lebih konkret untuk mematangkan kebebasan politik
dalam demokrasi. Pertanyaan kita kemudian ialah langkah-langkah apa yang
mesti diambil untuk memperkuat hubungan timbal balik produktif antara agama
dan demokrasi. Tugas penting ini memerlukan ‘kenegarawanan yang bijaksana’,
hal yang semestinya ditunjukkan baik oleh elite agama maupun politik.
Namun, rupanya, usaha ini menghadapi bahaya
serius dalam kehadiran dari apa yang disebut dengan ‘kaum tiran’. Mereka yang
meminjam ‘jalan demokrasi’ untuk memuluskan fundamentalisme keagamaan di satu
pihak dan yang menjadikan ‘agama’ sebagai tunggangan kepentingan kekuasaan di
sisi sebelahnya. Presiden Jokowi, dalam kerisauan politis dan akademik ini,
memperlihatkan sebuah usaha gemilang, bukan saja mengingatkan posisi penting
sejumlah organisasi keagamaan pilar di Indonesia, tetapi juga merumuskan
kembali ‘formasi relasional konstruktif’ agama dan demokrasi (politik) di
kekinian Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar