Korupsi
Anggaran Desa
Trisno Yulianto ;
Koordinator Kajian Transparansi
Anggaran Desa
(FORKATA) Magetan; Alumnus FISIP
Undip
|
KOMPAS, 17 November
2016
Praktik korupsi anggaran desa
semakin meningkat sejalan dengan membesarnya kucuran dana transfer pusat dan
daerah. Dana transfer dari pemerintah pusat, yakni dana desa, tahun 2016
sebesar Rp 46,7 triliun yang diberikan bagi sekitar 74.000 desa seluruh
Indonesia.
Setiap desa denganrumus
perhitungan anggaran mendapatkan kucuran dana desa (DD) rata-rata Rp 650 juta
per tahun. Sementara kucuran dana transfer daerah dalam wujud alokasi dana
desa (ADD) bervariasi besarannya. Di Jawa Tengah, besaran ADD setiap desa
rata-rata Rp 100 juta-Rp 400 juta per tahun.
Postur Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APBDes) dari sisi penerimaan hampir mencapai Rp 1 miliar, yang
bersumber dari DD, ADD, ataupun dana bagi hasil pajak daerah. Anggaran
sebesar itu mendorong perilaku penyimpangan anggaran oleh jajaran aparatur
desa, khususnya kepala desa. Alhasil, seperti diberitakan harian ini, praktik
korupsi DD dengan aktor kepala desa dan perangkat desa kurun 2015-2016
semakin sering terjadi dan beberapa menjadi kasus hukum yang disidang di
Pengadilan Tipikor (Kompas, 9/9).
Modus penyalahgunaan
Modus penyalahgunaaan APBDes,
khususnya DD ataupun ADD, bisa dibedakan menjadi beberapa kasus. Pertama,
pemangkasan anggaran publik untuk kepentingan perangkat pemerintahan desa.
Anggaran publik yang dipangkas adalah anggaran dalam APBDes yang
peruntukannya untuk mata anggaran pemberdayaan masyarakat dan pembangunan
desa. Pemangkasan anggaran tak memperhatikan skema APBDes atau mengabaikan
landasan ”ideal” anggaran, yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Desa.
Kedua, penjarahan anggaran
operasional pemerintahan desa. Penjarahan anggaran operasional pemerintahan
desa biasanya dilakukan kepala desa. Kepala desa yang dalam aturan
Permendagri No 113/2015 diposisikan sebagai pemegang kuasa pengelolaan
keuangan desa dengan sewenang- wenang menggunakan anggaran yang peruntukannya
untuk kepentingan membiayai administrasi program pemerintahan desa untuk
kepentingan memperkaya diri. Sebagai catatan, pos mata anggaran untuk
operasional pemerintahan desa— termasuk untuk penghasilan tetap kepala desa
dan perangkat desa—persentasenya cukup besar, yakni 30 persen dari DD dan
ADD.
Ketiga, permainan proyek
anggaran kegiatan. Aktor pelaku korupsi dan penyimpangan anggaran desa
(APBDes) mempermainkan proyek kegiatan pemberdayaan masyarakat dan
pembangunan fisik di desa. Modus yang digunakan, mengurangi volume anggaran
untuk butir-butir kegiatan atau melakukan efisiensi dalam plafon anggaran
yang tak sesuai perencanaan yang tertuang dalam APBDes ataupun Rencana Kerja
Pemerintah Desa (RKPDes).
Menyuburnya korupsi anggaran
desa disebabkan lemahnya kontrol dan pengawasan dari masyarakat. Masyarakat
desa belum memiliki kesadaran untuk ”melek” anggaran, termasuk mereka yang
menjadi bagian organisasi masyarakat sipil di desa, seperti Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Alhasil, kekuasaan kepala desa yang begitu
dominan dalam pengelolaan anggaran desa membuat fungsi BPD jadi lemah.
BPD seolah menjadi lembaga
stempel kebijakan perencanaan pembangunan dan penyusunan anggaran desa,
tetapi tak memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi sosial dan sanksi
administrasi pemerintahan. BPD dalam skema UU No 6/2015 seolah hanya menjadi
institusi partner pemerintah desa dan bukannya lembaga legislasi desa.
Sistem kelola anggaran
Korupsi atau penyalahgunaan
anggaran desa sebenarnya bisa ditelisik dalam dimensi paradigma kelola
anggaran desa. Paradigma kelola anggaran desa yang baik dan akuntabel adalah
yang memiliki karakter transformatif pro yuridis: patuh, taat, dan disiplin
sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan.
Acuannya teknis pelaksanaan adalah
Permendagri No 113/2015 mengenai Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa dan
Permendagri No 114/2015 tentang Pembangunan Desa. Dimensi transformatifnya
adalah dalam perencanaan anggaran desa yang melibatkan partisipasi masyarakat
desa dalam forum musyawarah pembangunan desa. Masyarakat juga diberi ruang
dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran desa.
Adapun paradigma kelola
anggaran yang cenderung tidak berkembang adalah berwatak
administratif-birokratis. Pengelolaan anggaran yang dilaksanakan kepala desa
dan aparatur pemerintah desa kebanyakan orientasinya text book. Dari alur
perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban disesuaikan dengan hal yang
bersifat teknis dan rigid, yang diatur dalam regulasi pemerintah pusat, baik
dalam peraturan pemerintah, permendagri, maupun permendesa.
Paling memprihatinkan adalah
paradigma kelola anggaran yang bersifat distortif-koruptif. Pengelolaan
anggaran oleh pemerintah desa—kepala desa dan aparatur desa—yang seolah
mematuhi ketentuan regulasi pengelolaan anggaran, tetapi sesungguhnya sekadar
artifisial, sekadar mematuhi tahapan pengajuan anggaran, penyusunan anggaran,
dan pelaporan pertanggungjawaban anggaran. Namun, dalam implementasi anggaran
justru terjadi penyimpangan secara sistematis dengan ditutupi dokumen ”aspal”
(asli tapi palsu). Kelincahan pelaku penyimpangan anggaran desa dalam
menyusun pertanggungjawaban administrasi keuangan desa semakin membantu
praktik korupsi DD.
Watak feodalisme kepemimpinan
kepala desa secara tak langsung menjadi faktor pendorong terjadinya korupsi
dan penyimpangan anggaran desa. Kepala desa yang ”feodal” menganggap
personalitas dirinya sebagai ”raja kecil” dalam struktur pemerintahan desa.
Menginterpretasikan otonomi desa dan hak asal-usul desa sesuai kepentingan pribadi
dan kelompok, bukannya masyarakat desa.
Untuk itulah, dalam rangka
mencegah korupsi anggaran desa dan mengembalikan marwah anggaran desa untuk
kepentingan masyarakat desa, dibutuhkan monitoring berbasis komunitas. Aktor
yang harus aktif berperan adalah organisasi kepemudaan, organisasi sosial
masyarakat, akademisi, dan media. Monitoring pengelolaan keuangan desa
diperlukan untuk mengeliminasi anggaran desa yang semakin besar dari indikasi
korupsi dan kebocoran. Monitoring berbasis komunitas adalah amanah konstitusi
agar visi pembangunan desa memuliakan martabat dan hak masyarakat desa.
Yang lebih penting dari
pembaruan paradigma anggaran desa dan monitoring masyarakat adalah
aktualisasi dari semangat: stop korupsi anggaran desa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar