Haruskah
Rektor Akademisi
Budi Santosa ;
Guru Besar Teknik Industri ITS
|
KOMPAS, 05 November
2016
Pemerintah
lewat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengharapkan ada
beberapa perguruan tinggi negeri, terutama PTN berbadan hukum, masuk ke dalam
500 besar universitas kelas dunia.
Harapan
ini tentu tidak berlebihan karena tetangga kita—Malaysia, Singapura, dan
Thailand—mampu mewujudkan itu. Kita tahu bahwa sumber daya manusia kita tidak
kalah dalam hal kecerdasan dan kualitas akademik. Maka, harapan pemerintah
sangat masuk akal. Hal ini tentu menimbulkan tantangan tersendiri bagi PTN
badan hukum (BH) untuk bisa memenuhinya. Salah satu faktor penting menjadikan
suatu PTN sukses adalah faktor pimpinan, yaitu rektor.
Selama
ini belum pernah ada rektor PTN berasal dari kalangan luar akademis. Bahkan,
hampir semuarektor berasal dari internal PTN itu sendiri. Walaupun dulu
sempat ada calon rektor PT BHMN dari kalangan wirausaha, tetapi ternyata
fanatisme sempit masih belum merelakan pimpinan kampus berasal dari luar.
Membaca
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 1 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Peraturan Menristek dan Dikti No 1/2015 tentang
Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi
Negeri disebutkan bahwa persyaratan rektor harus pegawai negeri sipil,
berpendidikan doktor, dan jabatan minimal lektor kepala. Di PTN BH, dari
beberapa penelusuran pada statuta dari empat PTN BH besar ternyata malah ada
yang mensyaratkan rektor harus dari internal universitasnya sendiri.
Hal-hal
ini rasanya perlu dipikirkan ulang demi kemajuan PT kita. Sebab, lembaga
pendidikan tinggi mestinya cukup terbuka untuk menerima orang dari kalangan
eksternal yang memiliki potensi untuk membawa kemajuan.
Dua
aliran
Seperti
pernah disinggung di Opini Kompas tentang ancaman rektor asing (Kompas,
18/6/2016), ada dua aliran besar dalam posisi dan syarat jabatan rektor di
dunia. Di Eropa dan Australia serta negara-negara Asia, rektor adalah
akademisi. Mereka disyaratkan seorang yang berkarier sebagai dosen. Di Eropa
dan Australia sudah berjalan tradisi itu puluhan bahkan ratusan tahun. Pada
praktiknya, terutama di negara-negaraAsia—seperti Korea Selatan atau
Indonesia—pemilihan rektor sering berlangsung panas, penuh dengan ketegangan
dan sarat politisasi.
Bahkan,
masalah itu tidak selesaihingga pemilihan rektor berikutnya. Produktivitas
sebagai akademisi akhirnya terganggu hal- hal di luar masalah akademis.
Alhasil, output utama sebuah universitas berupa karya-karya ilmiah, baik
pemikiran, paper, algoritma, dan produk fisik, tidak menjadi perhatian utama.
Berbeda
dengan Eropa, Australia, atau Asia, Amerika Serikat dan Kanadamenganggap
rektor adalah seorangmanajer. Dengan begitu, tidak ada syarat seorang rektorharus
akademisi, apalagi dengan jabatan akademik lektor kepala atau guru besar.Tak
ada juga syarat harus berpendidikan doktor. Aspek-aspek manajerial, seperti
kemampuan memimpin, menggerakkan sumber daya, menggali dana, mengambil
keputusan cepat dan tepat, membangun jaringan, serta mengambil risiko,adalah
hal-hal penting bagirektor.
Di
negara penganut aliran pertama, terbukti rektor mampu memajukan universitas
yang dipimpinnya. Begitupun di praktik aliran yang kedua,secara empiris mutu
pendidikannya tidak kalah. Yang perlu dicatat, di negara penganut aliran
pertama yang mampu membawa universitasnya menjadi universitas kelas
dunia,mereka didukung para administrator dan staf yang profesional. Pekerjaan
administratif pimpinan bisa sangat minim karena terbantu dukungan staf
non-akademis yang memadai. Paling gampang dilihat adalah staf di tingkat
departemen atau program studi. Di Australia atau di Eropa hanya diperlukan
dua atau tiga staf non-akademik di satu jurusan.
Sementara
di universitas-universitas negeri di Indonesia, pada satu jurusan bisa punya
sampai 20 staf non-akademis. Maka, ketika salah satu asesor ASEAN University
Network Quality Assurance dari sebuah negara ASEAN menyaksikan jumlah
karyawan di sebuahjurusan di PTN, dia sangat kaget: apa saja yangdikerjakan?
Namun,
itulah kenyataannya. Bahkan, tak hanya di level program studi, itu terjadi
hingga di fakultas dan biro atau bagian. Begitu banyak karyawan di sana,
tetapi tidak jelas apa output-nya.
Sebagai
tambahan, karakter dasar manajer dan akademisi pada dasarnya sangat
berbeda.Di satu sisi akademisi biasanya hati-hati, cenderung tak berani
mengambil risiko, jarang ada langkah-langkah terobosan, jarang bekerja dalam
kondisi di bawah tekanan, lebih banyak berpikir analitik daripada sebagai
pemecah masalah, melakukan rutinitas, tidak pandai menggerakkan sumber daya.
Berbalikan dengan karakter seorang manajer yang berani mengambil risiko,
mengambil keputusan cepat, bekerja multitasking
dan di bawah tekanan, melakukan hal-hal yang tak rutin. Untuk itu, jika
dicari akademisi yang sekaligus mampu menjadi manajer yang baik akan sulit
didapatkan. Mungkin pernah ada dalam sejarah, seorang akademisi yang sukses
menjadi rektor karena kemampuan manajerial yang bagus. Namun, pada kebanyakan
kasus, hal itu sulit ditemukan.
Dengan
alasan di atas, rasanya perlu dicoba mengangkat rektor yang bukan akademisi.
Kita ambil orang luar universitas yang sukses memimpin lembaga atau
perusahaan dan juga punya pemahaman yang baik mengenai pendidikan. Tentu ide
ini tak ingin mematikan karier para akademisi yang ingin mencapai jabatan
struktural puncak di universitas. Kita harus berpikir secara luas dan jangka
panjang demi kemajuan pendidikan tinggi kita. Kalau ada yang berkemampuan
super, akademisi sekaligus manajer tentu tetap dimungkinkan.
Seseorang
yang bukan akademisi yang punya kemampuan manajerial tinggi diharapkan akan
lebih mampu membangun dan mengembangkan universitas. Dalam hal ini, misi
universitas harus disiapkan PT lewat organ senat atau senat dan majelis wali
amanah. Rektor tugasnya menerjemahkan rencana strategis ke dalam rencana
operasional dan mengeksekusinya. Jadi, rektor masih bisa dikontrol dalam hal
arah kebijakan dan pengembangan akademik. Namun, bagaimana mengelola sumber
daya universitas untuk mencapai target-target yang ditetapkan menjadi tugas
dan tanggung jawab seorang rektor.
Kembali
jadi akademisi
Pikiran
sempit bahwa jabatan rektor adalah hak insan akademis mestinya bisa
dikesampingkan.Akademisi ada baiknya konsentrasi di bidang pengajaran, penelitian,
dan pengabdian masyarakat. Tri dharma PT inilah fokus utama akademisi. Lebih
baik akademisi berkonsentrasi mengembangkan ilmu, menjalani lecturer exchange
dengan universitas di luar negeri, jadi pembicara ilmiah di forum-forum
bergengsi.
Kebanggaan
seorang dosen sebagai akademisi mestinya ada pada karya publikasi, buku,
pemikiran, dan karya bermanfaat yang lain, atau sebagai kepala laboratorium
yang mampu melahirkan karya-karya berkualitas berbasis ilmu pengetahuan dan
teknologi,bukan pada karier struktural di universitas.Sedapat mungkin jabatan
rektor hingga ke bawah yang merupakan ranah non-akademis dipegang
profesional. Ini tidak akan mudah karena selama ini sudah telanjur orang
lebih menghargai akademisi yang memegang jabatan struktural daripada akademisi
yang mengembangkan laboratorium.
Pemerintah
atau universitas perlu memberikan paket imbalan gaji yang menarik bagi
profesional yang ingin berkiprah di universitas. Rektor juga perlu diberi
cukup keleluasaan untuk memilih pejabat di bawahnya yang bisa membantu dia
bekerja.Kalau ini bisa dilakukan, mungkin kita akan lebih cepat mencapai
harapan masuk dalam 500 besar universitas kelas dunia.
Di masa depan bahkan bisa dicoba menteri
pendidikan (dan kebudayaan) tidak harus berasal dari akademisi, seperti
halnya menteri pertahanan tidak harus seorang tentara. Praktik seperti itu
biasa terjadi di negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar