Bangsa
di Tubir Jurang
M Subhan SD ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 05 November
2016
Indonesia
dibangun di antara timbunan perbedaan. Dari serakan etnik, ras, kedaerahan,
agama, golongan, ideologi politik, berdirilah ”rumah besar” Indonesia. Sebuah
bangsa bineka, tetapi harmoni. Perbedaan adalah fakta obyektif. Perbedaan
perlu dihormati, tetapi pelecehan terhadap perbedaan adalah pikiran sempit.
Perbedaan agama, etnik, ras bukanlah sumber masalah. Sebab, semua itu adalah given, takdir.
Pada
masa lalu, perbedaan dan pertentangan antar-ideologi politik, antarkelompok
primordial, juga inter-ideologi politik dan inter-kelompok primordial; bukan
main dahsyatnya. Perbedaan antara kelompok Islam dan kebangsaan juga
meruncing tajam. Pada 1924, sejumlah tokoh Muslim memilih keluar dari Jong
Java, termasuk ketuanya Sjamsurijal, ketika usulan untuk pengajaran agama
Islam tidak disetujui. Berdasarkan cerita Agus Salim di Universitas Cornell
tahun 1953, tulis Deliar Noer (1994), Agus Salim mendorong agar mereka tak
patah hati. Lalu terbentuklah Jong Islamieten Bond.
Perpecahan
inter-agama pun tak kalah sengit. Pada 1952, Partai Masyumi yang kuat pun
gembos setelah perpecahan internal antara kelompok reformis dan kelompok
tradisional. Kelompok tradisional yang umumnya bernaung di bawah NU memilih
keluar dari Masyumi, 6 April 1952. Pemantiknya adalah perbedaan visi
menyangkut partisipasi dalam Kabinet Hatta, peran NU yang kecil, dan posisi
Menteri Agama yang tidak lagi menjadi jatah NU. Andai saja NU tidak keluar,
Masyumi dipastikan pesta besar merebut suara dalam Pemilu 1955.
Pada
masa demokrasi parlementer sekitar dekade 1950-an itu, gejolak politik memang
luar biasa. Partai-partai yang terfragmentasi dengan setiap ideologi bisa
saling menjatuhkan. Kabinet gonta-ganti begitu cepatnya. Sampai-sampai
kabinet tidak efektif bekerja. Politik aliran, meminjam istilah Herbert
Feith, memang sangat kental: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa,
Islam, sosialisme demokratis, komunisme.
Jadi,
perbedaan bahkan konflik keras pun itu sebetulnya sudah biasa dalam
perjalanan bangsa ini. Bedanya, pada masa lalu, perbedaan pandangan ataupun
konflik menjadi dinamika sebagai tahapan mencari solusi. Mereka bertentangan
keras, tetapi dalam pikiran dan jiwa mereka sudah terpatri bahwa hal itu
merupakan proses untuk menemukan atau meneguhkan rumah besar Indonesia. Semua
sekat primordial diaduk-aduk, tetapi untuk menemukan wujud keindonesiaan.
Namun,
sekarang identitas keindonesiaan mendapat tantangan. Di antara rumah besar
Indonesia, para penghuninya memperlihatkan ego. Identitas primordial
dikorek-korek. Ini bisa dilihat, misalnya dalam politik otonomi daerah. Sejak
otonomi dibelakukan 15 tahun silam, yang menguat justru munculnya sentimen
primordial. Putra daerah, sentimen etnik, silsilah kebangsawanan, misalnya,
malah menjadi keunggulan untuk meraih elektabilitas guna memenangi
pertarungan pilkada. Sadar atau tidak, praktik seperti itu menggerus rumah
besar Indonesia. Sekali isu primordial dilepas, ibarat burung, akan sulit
ditangkap lagi.
Tiba-tiba
pikiran ini disergap kekosongan: nasionalisme memudar. Nasionalisme hari ini
mungkin menjadi tema yang berat. Nasionalisme bukan lagi menjadi asupan jiwa
sehari-hari seperti udara yang dihirup setiap helaan napas. Nasionalisme
tergerus oleh globalisasi yang telah mengubah perilaku penduduk bumi.
Globalisasi membuat dunia tak berbatas lagi. Produk Barat (terutama Amerika
Serikat) menjadi tren global: makanan, mode, gaya hidup, industri hiburan,
dan lain-lain. Namun, muncul juga countertrend melalui nasionalisme kultural.
Bisa jadi Korea Selatan mampu menghipnotis miliaran penghuni dunia dengan
industri musik K-pop. Jepang juga pernah menghebohkan dengan mode gaya
Harajuku-nya.
Saat
ini, dunia semakin kosmopolitan. Kosmopolitanisme membuat dunia makin
homogen. Terlebih pada era rezim media sosial sekarang ini, penduduk dunia
semakin menyatu. Kata futurolog John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990),
homogenisasi yang tumbuh mengglobal, justru membuat kita semua akan berusaha
melestarikan identitas, apakah itu agama, kultur, kebangsaan, bahasa, dan
ras. Artinya nasionalisme mengalami gempuran hebat. Identitas keindonesiaan
terasa memudar.
Coba
saja tanyakan anak-anak generasi milenium sekarang ini, siapakah idola
mereka? Menemukan idola di negeri ini seperti mencari jarum di tumpukan
jerami. Para elite yang semestinya memberi keteladanan, justru lebih banyak
mempertontonkan perilaku cakar-cakaran dan korupsi. Benak generasi muda pun
lebih banyak terisi contoh-contoh buruk dan tercela. Masih adakah yang
mengingat HOS Cokroaminoto, Agus Salim, AM Sangaji, Soekarno, Hatta, Iwa
Kusumasumantri, Tan Malaka, Natsir, Ratulangi, dan sederet founding fathers lainnya? Untunglah
masih ada sejumlah sineas yang memfilmkan sejumlah tokoh bangsa, seakan oase
di tengah kegersangan keteladanan.
Merawat
Indonesia memang bukan pekerjaan mudah. Namun, merawat Indonesia adalah tugas
terhormat (noblesse oblige) kita
semua. Kebinekaan adalah anugerah yang dimiliki negeri ini. Jikalau sejarah
bangsa ini dipahami, komitmen kebersamaan pasti dipegang erat-erat. Namun,
jika ada pihak yang menista agama, mencaci etnik, atau memaki setiap perbedaan, itu artinya bangsa ini
berada di tubir jurang. Pilar-pilar bangsa makin merapuh.
Dua bulan lalu, saat melawat ke situs
bersejarah di Linggarjati, Kuningan, saya terenyak di depan poster Soekarno
yang ditempel di dinding. Di poster itu, terkait pro-kontra menyambut
perjanjian itu, terbaca jelas, ”Pro atau contra,
kita tetap bersatoe. Hindarkanlah perang saudara!” Jika kita—generasi
sekarang ini—gagal merawat bangsa, sungguh memalukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar