Kerangka
Dasar Revisi UU Migas
Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti;
Pendiri ReforMiner Institute
|
KOMPAS, 05 November
2016
Menteri
ESDM Ignasius Jonan menyebut beberapa program yang akan menjadi prioritasnya.
Di antaranya yang terkait migas adalah penyelesaian revisi UU Nomor 22 Tahun
2001 tentang Migas.
Memang,
progres yang dicapai dalam proses revisi UU Migas yang sudah bergulir sejak
direkomendasikan Panitia Khusus Hak Angket BBM pada 2008 sangat lambat. Perbedaan
pandangan dan tarik-menarik kepentingan dari sejumlah pihak disebut sebagai
penyebab lambannya proses revisi tersebut.
Beberapa
isu utama yang selama ini cukup alot adalah yang menyangkut aspek penguasaan
dan pengusahaan, kelembagaan pengelolaan migas baik di hulu maupun hilir,
harga BBM dan gas dalam negeri, kepastian hukum dan kontrak pengusahaan
migas, serta pengaturan menyangkut perpajakan dan aspek fiskalnya.
Menyatukan
perbedaan pandangan dan kepentingan atas isu- isu di atas dan menuangkannya
ke dalam suatu ketentuan peraturan perundangan memang dan sudah tentu bukan
perkara mudah. Namun, jika prinsip- prinsip mendasar dari pengelolaan migas
yang diturunkan dari Pasal 33 UUD 1945 benar-benar dipahami dan digunakan
sebagai kerangka dasar di dalam merevisi UU Migas, perbedaan pandangan dan
tarik-menarik kepentingan itu sejatinya tetap dapat dijembatani secara
konstruktif.
Prinsip
konstitusional
Prinsip
konstitusional menjadi suatu keharusan untuk dijalankan. Mengabaikan prinsip-
prinsip konstitusional di dalam revisi UU Migas hanya akan menjadikan UU
Migas baru nanti (kembali) rawan gugatan dan menciptakan ketidakpastian
hukum, yang dimensi ataupun implikasinya sangat luas.
Putusan
Mahkamah Konstitusi No 36/PUU.X/2012 yang telah membatalkan 18 ketentuan yang
mengatur kedudukan, fungsi, dan tugas BP Migas dalam pengelolaan hulu migas
sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum tetap harus dijadikan rujukan
utama. Dua putusan MK sebelumnya, putusan No 002/PPU-I/2003 dan putusan No
20/PUU.V/2007 yang telah menetapkan pasal yang berkaitan dengan penetapan
harga migas di dalam negeri harus direvisi dan/atau dibatalkan, juga harus
dijadikan sebagai acuan utama.
Di
dalam aspek penguasaan dan pengusahaan, kerangka dasar yang harus dipegang
adalah bahwa sepanjang migas masih berupa kekayaan alam dan sebelum titik
penyerahan, masih harus dikuasai dan tetap merupakan milik negara. Sementara
ketika migas sudah menjadi komoditas atau ketika sudah menjadi produk
turunannya, tidak lagi harus dikuasai negara.
Dalam
hal ini yang masih harus dikuasai negara atau negara masih harus memiliki
kendali yang kuat adalah di dalam cabang produksinya, yaitu di tahapan
pengolahannya (industri kilang). Sementara untuk tahapan pengangkutan,
penyimpanan, dan niaga yang bukan merupakan bagian dari cabang produksi,
tetapi lebih merupakan bagian dari sistem distribusi tidak harus dikuasai
negara dan pengusahaannya dapat diselenggarakan melalui mekanisme persaingan
usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
Untuk
kegiatan usaha hulu migas, kerangka dasar yang harus dipenuhi adalah bahwa
hak kepemilikan atas kekayaan (mineral rights) harus di tangan negara,
sementara penyelenggaraan kegiatan usaha migas (mining rights) harus di
tangan pemerintah sebagai wakil negara. Penyelenggaraan kegiatan usaha migas
juga harus menggunakan prinsip ”sebesar-besar”-nya kemakmuran rakyat. Karena
itu, dalam pelaksanaannya, kegiatan usaha migas harus diserahkan kepada badan
usaha, yang dalam hal ini adalah badan usaha milik negara. Jika diperlukan,
BUMN dapat bekerja sama dengan pihak lain sepanjang memberikan manfaat
ekonomi lebih besar dan tidak menghilangkan kedaulatan negara.
Dalam
konteks ini, agar tidak rawan dan dipermasalahkan secara hukum, kedudukan SKK
Migas sebagai lembaga yang mewakili negara/pemerintah dalam pengelolaan dan
pengusahaan hulu migas, yang dibentuk hanya berdasarkan Perpres No 9/2013,
perlu diatur kembali karena masih belum sesuai dengan amanat konstitusi
sebagaimana putusan MK No 36/PUU.X/2012.
Kerangka
dasar menyangkut harga BBM dan gas di dalam negeri adalah bahwa pengaturan
dan penetapannya menjadi kewenangan pemerintah. Dalam teknis pengaturannya,
kewenangan itu mencakup penentuan acuan dan formulasi perhitungan harga,
penentuan sistem harga yang ditetapkan, dan penentuan masa pemberlakuan
harga. Penetapan harga juga harus didasarkan pada aspek keekonomian yang
wajar, berkeadilan, dengan tetap tidak mengabaikan perlindungan terhadap
golongan masyarakat yang tidak mampu.
Kepastian
hukum dan investasi
Prinsip
konsistensi penerapan aturan main untuk menjamin kepastian hukum juga harus
diterapkan di tingkatan yang lebih operasional. Di dalam pengusahaan,
kerangka dasar yang harus dijadikan pegangan bahwa revisi UU Migas harus
tetap dapat menjamin kontrak-kontrak pengusahaan yang sudah ada dihormati
hingga berakhir.
Terkait
bentuk kontrak, negara dapat menggunakan kontrak bagi hasil atau bentuk
lainnya yang menguntungkan negara. Jangka waktu kontrak dapat ditetapkan
untuk kurun waktu yang cukup menjamin pengembalian investasi, dan sesudahnya
dapat atau tidak diperpanjang dengan periode dan ketentuan peralihan yang
cukup dan jelas. Dalam hal ini, kewenangan memperpanjang atau mengakhiri
kontrak di tangan menteri ESDM.
Di
dalam masalah perpajakan, prinsip lex specialis dan assume and discharge
perlu diberlakukan kembali untuk industri hulu migas. Pengenaan perpajakan
untuk industri hulu migas harus konsisten mengacu ketentuan perpajakan yang
diatur dalam kontrak kerja sama atau ketentuan perpajakan yang berlaku pada
saat kontrak kerja sama ditandatangani dan tidak berubah-ubah di tengah
periode kontrak. Terhadap kontrak yang masih berlaku, kerangka dasar yang
diperlukan adalah bahwa revisi UU Migas dan peraturan pelaksana di bawahnya
harus berfungsi sebagai payung hukum untuk penerapan aturan perpajakan hulu
migas yang lebih konsisten.
Sesuai
filosofi kontrak bahwa semua aset operasi dan pengelolaan hulu migas adalah
milik negara, maka revisi UU Migas harus menegaskan bahwa pajak eksplorasi
dihapus dan beberapa pajak pada periode produksi, seperti Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) impor, bea masuk, PPN dalam negeri, dan Pajak Bumi Bangunan
(PBB), menjadi tanggungan pemerintah.
Revisi
UU Migas dan peraturan pelaksananya juga harus dapat menjadi payung hukum
bagi pemerintah untuk secara lebih fleksibel menerapkan beberapa skema
insentif yang kondusif bagi iklim investasi. Sejumlah insentif yang
diperlukan pada saat harga minyak rendah, seperti pemotongan atas pembebanan
biaya operasi fasilitas bersama dalam rangka pemanfaatan barang milik negara
di bidang hulu migas, penerapan sistem blok basis dalam pengembalian biaya
operasi, pemberian investment credit, DMO holiday, ataupun depresiasi yang
dipercepat, semestinya bisa difasilitasi payung hukum melalui revisi UU Migas
ini.
Kerangka
strategis
Seiring
perkembangan yang ada, revisi UU Migas juga semestinya ditempatkan dalam
kerangka untuk mengintegrasikan perubahan paradigma bahwa sumber energi
(termasuk migas di dalamnya) bukan lagi dititikberatkan untuk menjadi sumber
devisa negara, tetapi lebih sebagai modal dasar pembangunan untuk mewujudkan
kejayaan negara dan kemakmuran rakyat. Perubahan paradigma itu, yang di dalam
pemerintahan Jokowi- Kalla saat ini salah satunya dicerminkan dengan adanya
pergeseran nomenklatur Kementerian ESDM dari sebelumnya di bawah koordinasi
Kementerian Koordinator Perekonomian menjadi di bawah Kementerian Bidang
Kemaritiman, mesti diterjemahkan lebih lanjut di dalam implementasinya di
sektor migas melalui revisi UU Migas.
Revisi
UU Migas harus dapat jadi instrumen untuk mengakomodasi dan memberikan payung
hukum terhadap sejumlah ide dan rencana strategis sektor migas yang
berkembang beberapa waktu terakhir, seperti rencana pembentukan holding BUMN
Migas, pembentukan agregator gas dan badan penyangga BBM, pembentukan strategic
petroleum reserve, kebijakan alokasi dan harga gas, serta pembentukan dana
ketahanan energi.
Dengan demikian, UU Migas yang baru di satu
sisi harus kokoh dan konsisten dalam aspek konstitusional, di sisi lain juga
harus tetap ramah dan kondusif bagi iklim investasi. UU Migas baru juga harus
dapat jadi instrumen bagi Kementerian ESDM untuk secara nyata dan progresif
membantu mewujudkan visi dan misi pemerintahan Jokowi-Kalla di bidang energi,
di sektor migas khususnya, sebagaimana yang telah digariskan dalam Nawacita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar