Fundamentalisme
di Amerika
Budiarto Danujaya ;
Pengajar Filsafat Politik dan
Diskursus Ideologi
pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 16 November
2016
Akhirnya, kita mafhum betapa samar pemahaman
kita mengenai politik Amerika Serikat. Media massa terlalu sibuk mencatat
praktik dan pekik retorik mereka, terlalu khusyuk menghiraukan politik
”permukaan” mereka, sehingga luput memahami—pinjam istilah Slavoj Zizek
(2008)—”suplemen arus bawah yang karut” (obscene
underside supplement) dari realitas sosio-politik nyata mereka.
Kita kecele. Kepala kita dipenuhi retorika
ilusif mengenai bangsa AS sebagai pemercaya individualisme-normatif sehingga
lalu juga penggiat politik kebebasan dan keterbukaan, pluralisme, serta
demokrasi. Nyatanya, Donald Trump jualah yang akhirnya memenangi pemilihan
presiden pada 8 November lalu. Padahal, banyak pihak, dengan cemas dan gusar,
terus mencatat celotehan kampanyenya yang rasis, menyudutkan pemeluk Islam,
merendahkan kaum minoritas dan anti imigran, bias jender, bahkan isolasionis
dan proteksionis.
Sehubungan dengan paradoks ini, bagai disambar
petir kita mendengar penegasan Zizek hanya beberapa hari sebelum pilpres
bahwa seandainya warga AS, dia akan memilih Trump. Bagi filsuf, yang dijuluki
”Elvis teori budaya” saking populernya ini, Trump memang cenderung fasis.
Pemanggungannya saja, baginya, sudah lelucon.
Betapapun, dengan memungkinkan manusia semacam Trump menjadi calon presiden
saja, bagi Zizek, sudah bukti nyata betapa politik AS sekarang memang sudah
konyol. Seturutitu, baginya, kalaupun terbukti fatal nanti, kekonyolan ini
justru akan menyadarkan segenap pihak dalam politik AS, betapa mendesaknya
melakukan perubahan mendasar menuju politik yang lebih emansipatoris.
Hipermaskulin koboi
putih
Terlepas dari sinismenya yang kental, kita
menyaksikan kecemasan Zizek akan gelombang pasang politik kanan radikal di AS
yang berkecenderungan fasis itu, setidaknya telah terbukti memenangi pilpres.
Bagai hendak menertawakan lembaga-lembaga survei, pembalikan diametral hasil
gelombang pasang ini bahkan seolah tak tersidik siapa pun sampai ke
detik-detik terakhir menjelang pilpres.
Betapapun, kiranya perlu dicatat, sesungguhnya
gelombang pasang tersebut bukanlah gejala baru ataupun sepenuhnya tak
disadari. Setidaknya, William E Connolly, profesor ilmu politik terkemuka
dari Universitas Johns Hopkins, telah jauh hari mengingatkannya. Connolly
menggambarkannya sebagai gejala fundamentalisme hipermaskulin koboi (cowboy)
urban kulit putih.
Dalam The
Ethos of Pluralization (1995), tempat judul tulisan ini meminjam salah
satu judul babnya, Fundamentalism in America, Connolly memperlihatkan embrio
proses panjang terbentuknya gejala ini. Di satu sisi, perasaan dikhianati dan
dendam bersama kaum Gereja Baptis Selatan muncul setelah kekalahan dalam
perang saudara 1861-1865. Di sisi lain, dendam sosial dan hipermaskulinitas
terbentuk pada kalangan pekerja pria kulit putih utara lantaran politik
liberalisme kesejahteraan mulai akhir 1960-an cenderung meninggalkan
kepentingan mereka.
Sejumlah peristiwa sejak awal 1970-an, seperti
kekalahan di Vietnam, gerakan hak-hak sipil dan aksi afirmatif dalam ras dan
jender, perubahan program negara kesejahteraan menjadi Great Society, serta
peralihan paradigmatis pekerjaan industrial menjadi jasa, dengan berbagai
akibat masing-masing memukul beruntun mereka. Kesemuanya mengganggu
kesetimbangan ketersediaan-kebutuhan (supply- demand) lapangan kerja.
Ketersediaan lapangan kerja menciut sehingga
bukan hanya menipiskan rasa aman kerja, melainkan juga meningkatkan ancaman
pengangguran. Ini jelas mengacaukan idolatry kaum pekerja lelaki kulit putih
akan bayangan mereka sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab.
Bagi Connolly, kedua anasir sosiopolitik ini
mudah mengalami konvergensi lantaran persamaan sosok ”lawan”-nya. Inilah yang
terus dieksploitasi kalangan presiden konservatif, mulai dari Richard Nixon,
Ronald Reagan, sampai George Bush. Mereka cuma terus memoles lebih halus
retorika rasialis kebijakan terhadap kaum ”keteter” itu.
Sebagai contoh, kebijakan serangan terhadap
program sosial dari rezim kesejahteraan demokrat lalu dipoles jadi
”kecurangan kesejahteran”, ”kaum miskin yang bertanggung jawab”, atau
”ketakefisienan pemerintah”. Sementara Partai Republik, mereka sebut sendiri
sebagai partai ”orang Amerika yang normal”.
Maksud sofistikasi itu sangat gamblang. Mereka
merasa berhadapan dengan liyan (the
other) miskin yang tak bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri.
Liyan miskin ini hanya mengandalkan bantuan negara, dan karena itu curang
lantaran menimpakan bebannya kepada kaum kaya yang harus bayar pajak lebih
progresif. Sehubungan dengan itulah, mereka lalu juga dituding membuat
pemerintah tak efisien. Liyan
semacam ini, bagi mereka, tidak mencerminkan perilaku masyarakat AS yang
wajar.
Politik ketakutan
Dalam latar gelombang pasang fundamentalisme
hipermaskulin koboi urban berkulit putih inilah, kita lalu bisa sedikit lebih
memahami kemenangan ”mendadak” Trump, yang seolah tak nyambung dengan kecenderungan
diametral ramalan sejumlah survei ataupun amatan.
Tentu saja, juga banyak unsur Hillary Clinton
yang secara tak langsung ikut membuat Trump menang. Kita bisa menyebut mulai
perkara surel yang menggoyahkan kredibilitasnya, tudingan kecenderungannya
sebagai penjaga status quo, politik luar negerinya yang dikhawatirkan
telengas, ataupun kedekatannya dengan jejaring pengusaha besar serta
konglomerasi finansial dan pasar. Betapapun, kiranya gamblang, kemenangan
Trump bukanlah sebuah peristiwa keberuntungan, apalagi kebetulan.
Donald Trump, dengan sikap rasis, seksis,
isolasionis, dan proteksionis, serta dengan tingkah kasar, ceplas-ceplos, dan
konyol lain, yang semula bahkan dianggap membuatnya tak pantas menjadi sosok
publik, terbukti merupakan sosok metaforis dari pemampatan anasir arus bawah
yang karut dari sosiopolitik AS. Trump menang lantaran gelombang pasang
banyaknya para pihak yang mengira akan bisa terwakili aspirasinya.
Mereka adalah pihak yang cemas rasa aman
kerjanya akan tergerogoti, yang takut keamanan jiwanya sewaktu-waktu bisa
terancam, yang bingung para elitenya lebih mengurusi pelosok jauh ketimbang
nasib mereka sebagai warga negara, yang khawatir ”tetangga sebelah pagar”
atau ”tetamu dari seberang” akan mencuri kesempatan hidup layak keluarganya.
Jadi, mereka boleh jadi para pihak yang sudah lama merasa jenuh atas deraan
kecemasan akan keselamatan diri dan/atau kesulitan ekonomidalam
dasawarsa-dasawarsa belakangan.
Seturut itu, betapapun mengidap banyak anasir
politik kemarahan, barangkali gejala ini lebih merupakan sebentuk politik
ketakutan dalam berbagai wujud negatifnya. Terprovokasi sikap dan tingkah
Trump, barangkali banyak pihak geleng-geleng kepala seraya bergumam menyebut
kemenangannya sebagai irasional.
Namun, apa boleh buat, kemenangan itu absah
adanya. Itulah demokrasi sebagai sekadar permainan angka, yang juga terjadi
di mana-mana, termasuk di negeri kita. Oleh karena itu, barangkali, lalu yang
terpenting adalah kesadaran kita atas moral cerita dari peristiwa ini: berhati-hatilah
terhadap suplemen arus bawah yang karut dari sosiopolitik kita sendiri.
Tidakkah kita kerap kali merasa betapa di negeri ini juga terdapat sementara
pihak yang terkadang tersesat meniti di jalan yang bermiripan: diskriminatif,
rasis, dan bias jender? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar